Sabtu, 28 Maret 2009

Wallace, Gorontalo, Sulawesi, dan Kita

Gorontalo disebut-sebut. Tema pembicaraan tentang "Wallace di Pulau yang Kaya: Akankah Burung Maleo bertahan 150 Tahun dari Sekarang?". Bermula dari sebuah diskusi rutin di KITLV, Rabu, 25 Maret 2009, jam 15.30. Adalah Marc Argeloo, penulis buku Belanda berjudul "Maleo" (2001) yang menyebut-nyebut Gorontalo sekian kali. Taman Nasional Dumoga Bone, perjalan dia keliling Sulawesi dan Maluku, mengikuti jejak Wallace, dan bekerja untuk program konservasi di beberapa tempat di Indonesia. Kebetulan hanya saya orang Indonesia yg hadir, mungkin yg lain pada sibuk, atau karena temanya kurang populer. Dengan sadar saya bangga dan sesekali tersenyum mendengar presentasi Marc Argeloo ini. Wajar, kampung saya disebut-sebut. Saya hadir jelas karena temanya "Wallace". Saya ada ikatan emosional dan akademik dengan Kota Ternate, tempat di mana disertasi saya sedang ditentukan nasibnya. Wallace adalah orang pertama yg menyebut Ternate sebagai sebuah "kota" (8 Januari 1858). Dia punya bekas rumah, lengkap dengan peta dan gambarnya di pulau ini, dan Wallace menulis paper yg kemudian sangat terkenal itu, "Ternate Paper" (1858).

Alfred Russel Wallace (1823-1913) cukup sibuk pulang-pergi mengunjungi Sulawesi antara 1856-1859, dan dia sempat menulis dengan antusias bahwa Sulawesi sebagai salah satu "daratan purba" di dunia. Dia lahir dari keluarga kelas bawah di Inggris, dan tidak memperoleh pendidikan tinggi yg hebat pada jamannya. Tak heran kalau nama Charles Darwin kemudian jauh lebih besar dari Wallace, meskipun dua orang ini SAMA hebatnya. Tapi, tentu saja banyak hal yang membedakan keduanya. Wallace jauh lebih bisa memahami dimensi2 spritual atau "supranatural" yang dinamis dalam proses "seleksi alam", "asal-usul semesta" dan "manusia". Dia sangat cinta bekerja di lapangan dan gigih menemukan bukti2 nyata, dan yang tak kalah pentingnya, Wallace sebenarnya berasal dari "kalangan orang biasa" di England.

Gorontalo memang tidak sempat dikunjungi Wallace. Di Sulawesi dia lebih banyak di daerah Minahasa dan Makassar. Tapi saya yakin benar bahwa Wallace pasti baca dan tahu tentang Gorontalo. Dia membaca dan mengetahui progress kerja Naturalis Belanda bernama Von Rosenberg yang menulis buku khusus tentang Gorontalo "Reistogten in de afdeeling Gorontalo, gedaan op last der Nederlandsch Indische" (1865). Wallace menyebut itu dalam "The Malay Archipelago" (bab XVIII, hal.247, Natural History of Celebes). 

Catatan ini hendak menyegarkan beberapa hal yang (mungkin?) bisa kita catat dan renungkan dari kerja besar Wallace di Nusantara, khususnya di Sulawesi, untuk kita bisa bercermin tentang kita, teristimewa KITA di Gorontalo!

Mungkin tidak perlu ada orang seperti Alfred Russel Wallace di Gorontalo. Atau justru kita butuh orang, atau beberapa orang, yang melebihi semangat kerja dan dedikasi keilmuan seperti dia. Wallace bekerja di bidangnya dengan persistensi tinggi, dan tepat berada di titik sejarah yang benar karena dia memilih pekerjaan "aneh" itu dengan komitmen dan konsistensi. Kekayaan fauna Indonesia hampir seluruhnya sudah di-cover oleh Wallace (dengan 310 contoh mamalia, 100 contoh reptil, 8.050 contoh burung, 13.400 insekta dan 125.660 contoh "sejarah alam"). INI jelas prestasi dunia. Untuk dunia burung misalnya, menurut temuan Wallace, ada sekitar 191 spesies burung di Sulawesi. Saat ini, KITA bisa bertanya, sudah berapa jenis burung yang pernah kita lihat di sekitar kita, di Gorontalo, di Sulawesi bahkan. Mungkin yang sempat kita lihat hanyalah yg di kebung binatang (?). 

Selama ini kita kenah istilah "garis Wallacea", yang tentu cukup rumit kisahnya. Teman2 Biolog dan Botanis, atau Naturalis, bisa berkisah lebih jauh tentang hal ini. Tapi, bagi yg cukup awam seperti saya, semuanya tetap masih bisa kita bayangkan dan cermati dalam "The Malay Archipelago" (1869). Wallace menulis buku ini selama 6 tahun, setelah dia pulang ke England tahun 1862. Buku ini selalu diterbitkan kembali, dan cukup mudah diperoleh di bandara-bandara besar (mungkin juga ada di bandara Gorontalo?, kalau tidak salah ada "counter buku" di sana?), mungkin juga di toko2 buku lainnya. Atau, dan ini yg lebih pasti, buku ini mestinya rata-rata dimiliki oleh para sarjana Biologi atau MIPA, dan wartawan, atau aktivis NGOs SDA. 

Wallace adalah figur "naturalis pengembara". Dia berbeda dengan Darwin yang sangat terdidik dan penuh fasilitas sebagai ilmuan "kelas menengah". Modal besar Wallace, seperti disegarkan oleh Marc Argeloo, tiada lain adalah "motivasi besar"nya utk menjelajah pulau2 di Nusantara. Bahkan dalam keadaan sakit sekalipun, sepertinya demam keras yg dialaminya di Ternate, Wallace tetap bekerja keras, mengembara mengumpulkan burung2, kupu2, dan binatang2 lainnya. Dia bahkan rela membayar anak-anak kecil (di Makassar) kalau mereka membawakan contoh insekta atau kupu2, atau burung untuknya. Tapi Wallace tidak bekerja sendiri. Dia membawa teman dari England dan selalu dibantu oleh "mitra lokal" dia, seperti Ali di Maluku. 

Dengan membaca bukunya, KITA bisa bercermin untuk sebuah etos hidup besar, yang gigih dan cinta dengan "kerja lapangan", --dan inilah yang mestinya harus dimiliki kalangan sarjana KITA— dalam membangun pengetahuan dan menciptakan sesuatu utk manusia dan semesta...Persisten si!

Tentang KITA

Hal lain yang bisa kita pelajari adalah tentang hakikat sebuah "karya pengetahuan dan perubahan". Kualitas sebuah karya, tidak peduli apakah itu lahir di dunia Barat, atau di Timur. Atau dikerjakan di tengah-tengah fasilitas megah, uang besar dan citra akademik yg melangit. Ini tidak harus, dan tidak selamanya benar. Dari sebuah pulau kecil, di Ternate, sepulang dari Jailolo atau Bacan di Pulau Halmahera tahun 1858 Wallace menulis surat atau paper yg berisi temuan penting dalam sains tentang "seleksi alam" (Februari 1858, "Ternate Paper"). 

Peradaban, secara sederhana, bisa ditemukan dalam perjumpaannya yg dinamis antara domain "alam" (nature) dan "manusia" (culture). Apa pun yg dicapai manusia sangat tergantung pada apa yg alam sediakan kepada dia, dan apa yg manusia perbuat untuk alam semesta. Dan, INI yg utama, tentang sang DIA, yang menciptakan segalanya...

Burung Maleo dan SDA di Gorontalo bisa menjadi titik masuk yang mendesak kita perbincangkan guna melihat lebih jauh potret perkembangan peradaban Gorontalo di abad ini dan di abad mendatang. Tentang tema ini, rasanya banyak kawan2 di Gorontalo yg bisa lebih jauh berbagi pengalaman dan agenda....(Ada Pak Rosyid Azhar, Bung Dany Rogi, Pak Aga Dako, teman2 kampus, media, LSM, dsttttt). Juga sahabat2 yg lain, dan beberapa senior Gorontalo yg enerjik! 

Kalau tidak salah, tahun depan, 2010, adalah tahun terakhir dasawarsa pertama abad XXI. Lalu, bagaimana progres peradaban Gorontalo tengah dikerjakan agendanya? KITA harus punya kejernihan pemahaman yang memadai. Saya rasa, perdebatan dan renungan2 mendalam tentang prinsip-prinsip peradaban ini nyaris belum digerakkan di Gorontalo secara mendalam, luas dan terukur. Mungkin INI yg perlu kita pikirkan. Katakanlah tahun 2010 BISA menjadi "tahun merenung" dan "bekerja" bagi peradaban Gorontalo. Tahun di mana tentang hutan kita, danau Limboto, landscape alam kita, daya dukung SDA dan tema2 "inovatif" dan "humanis" serius lainnya dikerjakan dan dipahami secara bersama, sungguh2, kritis, jujur, dan setara. Sebab, biasanya, perbincangan2 ideal di daerah, munculnya manusia2 unggul, gagasan2 besar dan titah-titah masa lalu, romantisme demokrasi raja-raja, mulai bermunculan ketika momen politik datang, seperti Pemilu, atau momen persaingan elitis semisal Pilkada. Sehabis itu, yang terjadi adalah sebuah "sunyi-senyap" kolektif, setiap orang cenderung berada bertahan pada "zona aman" masing-masing. Semua jadi hambar ditelan ritual2 para orang sekolahan (seminar lokal-internasional , penerbitan buku, expo, dkk) dan elitisme yg birokratis (melalui dominasi media dan ritual tepuk2 tangan).

Memang, sejarah bisa jadi tempat kita berkaca. Oleh Von Rosenberg (1865) dicatat bahwa seorang Raja Bone di wilayah Gorontalo (sebuah kerajaan di sekitar Suwawa atau Bone Bolango?) telah menerapkan sistem konservasi lokal yg memadai, dengan membatasi pencarian telur Maleo untuk diperdagangkan oleh penduduk setempat, dengan harga 12-15 sen. Itu pun sudah ditentukan wilayah pencariannya secara terbatas. Dia memilih orang2 tertentu yg jumlahnya sangat terbatas pula utk menjual telur "Maleo" di Pasar. Konon, telur Maleo ini cukup enak dan rasanya sangat unik. Tentu saja Raja Bone (sekitar 1865) itu tidak perlu kita persepsi apakah paham atau tidak tentang konservasi. Atau pernah belajar khusus Biologi atau Zoologi, ekologi, atau konservasi SDA. Sudah pasti juga dia bukan aktivis NGOs. Yang terang dia meneguhkan sebuah respek besar kepada dimensi "keseimbangan" alam dalam menjalankan kekuasaan, dan terutama dalam menciptakan sistem kesejahteraan rakyatnya di tingkat lokal. Sekarang, mestinya kita jauh lebih persisten dari Radja yg hidup di abad 19 itu.

Gerakan2 konservasi, "konsesi hutan" yang otonom digarap oleh komunitas rakyat atau NGO menjadi agenda utama ke depan. Kita butuh sikap bersama, komitmen yg jujur dan sungguh2 dr pemerintah lokal. Dan bukan sekadar basa-basi baliho, laporan pembangunan berjilid-jilid dan upacara. Potret yg jujur, yg intens dan yg terbuka terhadap progres lapangan harus dicapai dengan kesungguhan. 

Maleo yg bertelur di bulang2 terang, antara jam 9-10 malam, kemudian terbang kembali ke hutan menjelang subuh, dan pemburu telur pun (biasanya) berdatangan di jam-jam tersebut. Makin baru telur Maleo makin baik nilainya, dan disenangi di pasaran. Maleo lebih banyak bertelur di pesisir pantai dan sebagian di daratan. Kini, Maleo masih mengalami "pemusnahan" yg serius (?). Jalan2 makin intensif di bangun mengelilingi pantai, perambahan hutan, pengumpul rotan, pertambangan dan bisnis telur Maleo ikut memperparah keadaan habitat asli Sulawesi ini. Sayangnya, karena kita tak lagi (punya?) seorang Radja Bone yang cukup arif-bijaksana dan punya "kearifan lokal" yg mumpuni seperti dicatat Von Rosenberg (1865). Yang mungkin kita saksikan saat ini dimana-mana adalah sebuah pesta besar akan kedangkalan berpikir dan dominannya peran "raja-raja baru" yg lahir dari rahim otonomi daerah dan daulat kuasa partai-partai.

Refleksi

KITA, saat ini, tampaknya percaya bahwa INISIATIF dan pencerahan tampaknya harus dikerjakan berbarengan di Gorontalo. Bahkan (barangkali) harus ditambahkan dengan elemen kekuasaan dan materi. Meski begitu, kalau kita harus memilih, saya rasa yg jauh lebih utama adalah inisiatif. Karena terkadang "pencerahan" dan "kemajuan" demikian mudah dirangkul dan diselimuti dengan indah oleh janji-janji, citra yg melangit, topeng2 kepentingan sesaat, kamuflase intelektual dan moral ganda.