Sabtu, 12 Desember 2009

Unilever Hentikan Pasokan Minyak Sawit Indonesia

Den Haag (ANTARA News) - Perusahaan raksasa makanan dan kosmetika Inggris-Belanda, Unilever, Jumat menyatakan, pihaknya memutuskan hubungan dengan pemasok minyak sawit Indonesia yang dituduh oleh organisasi lingkungan Greenpeace menghancurkan hutan hujan tropis.

"Greenpeace mengklaim berasal dari alam yang tidak dapat kami abaikan. Unilever berkomitmen untuk sumber daya berkelanjutan. Oleh karena itu, kami telah memberitahu PT Smart (bagian Sinar Mas grup) bahwa kami tidak memiliki pilihan lain kecuali menangguhkan pembelian berjangka minyak kelapa sawit kami," kata Marc Engel, pejabat pengadaan utama Unilever dalam pernyataan seperti dikutip AFP.

Unilever mengatakan tuduhan tersebut diterbitkan oleh Greenpeace pada pekan ini yang mengecam praktik lingkungan Sinar Mas.

"Akibatnya Unilever telah memutuskan untuk segera mengambil tindakan," ia menambahkan.

Unilever hanya akan mempertimbangkan kembali keputusan itu jika PT Smart bisa "menyediakan verifikasi bukti bahwa tak satu pun perkebunan mereka turut berperan dalam perusakan hutan bernilai konservasi tinggi dan perluasan ke lahan gambut," kata Unilever.

PT Smart memasok Unilever dengan lima persen dari kebutuhan minyak kelapa sawit.
Pihaknya menggunakan minyak kelapa dalam pembuatan margarin, sup, es krim dan saus serta produk-produk kecantikan.

Indonesia mengatakan akan meningkatkan produksi minyak sawit mentah (CPO) lebih dari dua kali lipat menjadi 40 juta ton pada 2020 melalui peningkatan hasil dan perluasan perkebunan.

Rencana tersebut telah ditentang oleh kelompok-kelompok lingkungan, yang mengatakan hutan Indonesia penyerap karbon sangat penting dalam memerangi perubahan iklim dan sumber keanekaragaman hayati tidak tergantikan. (*)
Sumber : antara.com

Politisi Ketok Magic

DI Jakarta dan sekitarnya pernah bermunculan bengkel mobil dengan papan nama: ketok magic.Biasanya ruang praktiknya tertutup, tidak menunjukkan bengkel yang bekerja secara transparan dan profesional.

Katanya, bengkel ketok magic ini bisa memperbaiki mobil yang penyok sehabis tertabrak atau menabrak, diselesaikan dalam waktu cepat,dengan menggunakan tenaga dalam yang pemilik mobil tidak boleh melihat prosesnya. Bengkel ini pernah menjamur, tetapi lama-lama berguguran karena tidak mampu menunjukkan bukti hasil sebagaimana yang diiklankan. Anehnya banyak pemilik mobil tertarik mencobanya karena tak ada salahnya mencoba. Lebih dari itu masyarakat kita memang senang terhadap hal-hal magicyang sulit dicerna nalar sehat.

Negara Ibarat Mobil

Sekali-sekali mari menganalogikan negara dengan mobil.Fungsi utamanya mengangkut penumpang dan barang dengan nyaman dan aman sampai ke tujuan. Kemudian, bagaimana kalau negara atau pemerintahan ini ibarat mobil yang penyok-penyok dan berbagai ragam onderdilnya rusak, aus, dan kendur sehingga jalannya sempoyongan dan membahayakan penumpang?

Tidak usah khawatir, di negeri ini banyak politisi ketok magic. Banyak politisi yang murah janji bisa membereskan berbagai problem bangsa. Bahkan sekarang ini ditambahi lagi dengan sumpah kalau ada masyarakat yang tidak percaya akan kompetensi dan akuntabilitas kerjanya. Lihat dan perhatikan saja setiap menjelang pilkada dan pemilu, semua calon menawarkan janji untuk mengubah bangsa ini menjadi maju, ekonomi membaik, keamanan stabil, pendidikan gratis, korupsi hilang, dan sekian janjijanji lain kalau saja nantinya terpilih. Namun kultur budaya kita ini memang unik.

Meski papan namanya Indonesia adalah negara modern yang menjunjung tinggi asas demokrasi dan keterbukaan,mental tradisional yang bersifat feodalistis dan senang pada wangsit masih berkembang subur dalam masyarakat. Seperti bengkel ketok magic, ketika dihadapkan pada sekian banyak problem dan skandal kasus dalam kehidupan bernegara, penyelesaiannya sering tertutup, diselesaikan di belakang tembok. Rakyat tidak perlu tahu prosesnya. Cukup disuguhi laporan akhir yang menyatakan beres, tak ada masalah. Ibarat mobil, dari wajah luar sudah mulus dan pelanggan menganggapnya sudah selesai semua, mobil tinggal jalan kembali.

Namun,menurut beberapa cerita, yang namanya bengkel ketok magicitu pada kenyataannya tidak sehebat iklannya. Keberhasilannya hanya bersifat sesaat. Mereka menggunakan peralatan dan pendekatan tertentu dalam memperbaiki mobil, tetapi tetap tidak secanggih bengkel-bengkel yang profesional dan prosesnya transparan di mana pemilik mobil bebas untuk melihat prosesnya. Karena hasilnya tidak bagus dan kalah dari bengkel profesional,sekarang bengkel ketok magic semakin tidak populer.Kepercayaan masyarakat menurun. Maaf, rasanya memang keterlaluan kalau politisi kita diibaratkan bengkel ketok magic.

Namun ada juga benarnya karena beberapa alasan.Pertama,ibarat mobil, bentuk,sistem,dan mekanisme pemerintahan kita sudah masuk pada era modern,tetapi pendekatannya masih tradisional. Pendekatan perkoncoan, pertimbangan suku dan profesi keagamaan masih menjadi pertimbangan dalam proses politik untuk menduduki sebuah jabatan politik yang memerlukan kompetensi, bukan sekadar popularitas dan perkoncoan. Kedua, mekanisme penyelesaian masalah di berbagai tingkatan cenderung tertutup dan tidak rasional. Bahkan para makelar kasus (markus) dan makelar jabatan (marjab) tetap berkeliaran.

Yang namanya promosi jabatan dan penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) selalu terjadi penyimpangan. Adalah rahasia umum bahwa untuk bisa lulus CPNS seseorang mesti membayar jutaan rupiah. Ketiga, karena penyelesaiannya hanya di permukaan, suatu saat persoalan serupa atau lebih besar lagi akan muncul.Keempat, ibarat bengkel ketok magic,dalam rekrutmen jabatan publik yang strategis, tidak ada standardisasi dan proses seleksi yang transparan dan akuntabel, tetapi melalui mekanisme di belakang tembok.

Demikianlah, karena kurang menghargai profesionalisme, ongkos politik dan birokrasi di Indonesia amat mahal, tetapi hasilnya sangat tidak seimbang.Bayangkan saja, berapa triliun biaya pilkada dan pemilu yang mesti dikeluarkan baik oleh pemerintah, partai politik maupun warga masyarakat, tetapi proses dan hasil pembangunan untuk menyejahterakan rakyat masih jauh? Kadang muncul pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban, apa yang tidak dimiliki bangsa ini? Semuanya ada.Alamnya kayaraya. Perguruan tinggi berjumlah ribuan. Ilmuwan dan intelektual alumni dalam dan luar negeri selalu bertambah.

Dukungan anggaran pembangunan, meski sifatnya utang luar negeri,masih mengalir. Jumlah politisi bejibun dan kalau bicara para politisi itu hebathebat. Belum lagi para pengacara, mereka ahli debat semua. Demikianlah, masih banyak kekayaan bangsa ini.Namun, lagilagi, apanya yang salah sehingga bangsa ini masih saja terpuruk? Ibarat mobil,mengapa jalannya sangat lamban dan sering mogok, padahal harga dan ongkos perbaikannya sangat besar? Kita sangat berharap,siapa pun yang tampil sebagai politisi dan pemimpin bangsa ini,di level mana pun,mesti jujur, cakap, dan memiliki dedikasi tinggi untuk memajukan rakyat.

Kalau seorang pemimpin jiwanya jujur, ikhlas, cinta rakyat, dan mau belajar, rasanya tidak perlu khawatir akan jatuh atau dijatuhkan dari jabatannya.Dia tidak merasa di bawah sehingga takut terinjak, tidak juga merasa berada di ketinggian sehingga takut jatuh. Dia akan menyatu dengan hati dan desah rakyatnya.(*)

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/289679/38/
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Selasa, 03 November 2009

Negeri Para Bedebah

Negeri Para Bedebah
Karya Adhie Masardi

Ada satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat Musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala

Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah
Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah

Di negeri para bedebah
Orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi,
Dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan

Kamis, 27 Agustus 2009

Tanaka: Indonesia (ITS) Harus Punya Jurusan Earthquake Engineering

Kobe, ITS Online - Pengalaman adalah guru terbaik. Walaupun itu adalah sebuah kata bijak yang dikenal luas di Indonesia, tapi agaknya, Jepang yang lebih banyak mengamalkannya. Salah satunya adalah peristiwa Gempa Kobe yang terjadi pada tanggal 17 Januari 1995 berkekuatan 7,3 Skala Richter. Korban meninggal dari gempa yang berlangsung selama 20 detik mencapai 6.434 orang. Gempa yang dikenal dengan Great Hanshin Earthquake ini adalah bencana yang paling besar sepanjang sejarah modern Jepang.

Prof Yasuo Tanaka memberikan cerita tentang gempa itu kepada tim Go-ITS, Selasa (25/8). Ia masih merasa tidak percaya terhadap bencana ini. “Kejadiannya sekitar pukul enam pagi. Sangat tidak terduga,” ujar guru besar Kobe University (KU) bidang Geoteknik ini.

Ia pun memperlihatkan bagaimana kondisi jalan layang Hanshin Ekspress Way yang tergeletak melintang di jalan utama yang berada di bawahnya. Padahal konstruksi jalan layang itu sudah memenuhi standar gempa saat itu. Kala itu, Kobe hancur lebur dan kerugian material mencapai 100 trilyun dollar. Tapi ia justru mengaku tidak begitu berkonsentrasi tentang berapa kerugian infrastruktur yang ditanggung Jepang. “Kunci utamanya bukanlah pada infrastruktur. Tapi pada sosial, pendidikan dan budaya,” tambah Chief of Research Center for Urban Safety and Security KU ini.

Tanaka pun menunjukkan gambar distribusi gempa bumi di dunia. Di sana ditunjukkan bahwa Indonesia dan Jepang adalah dua negara yang menjadi tempat bertemunya banyak lempengan besar. “Gempa Kobe terjadi akibat pergeseran lempeng Pasifik, Filipina, dan Eurasia,” ujarnya.

Ia pun menanyakan apakah ITS memiliki jurusan yang khusus berkonsentrasi tentang masalah gempa. Sebagian anggota tim Go-ITS menjawab sudah masuk dalam Teknik Sipil. Tapi menurut Tanaka, harus ada jurusan yang khusus berkonsentrasi di bidang itu mengingat Indonesia sangat rawan akan gempa. “Sepertinya ITS harus tambah jurusan baru yaitu Earthquake Engineering,” jelasnya.

Menurutnya, ada beberapa pelajaran yang diambil dari peristiwa ini. Ia membaginya dalam tiga bagian antara lain pelajaran dari sisi keilmuan, sosial, dan pendidikan. “Untuk menangani bencana, kita butuh semua elemen bukan hanya engineer,” ungkapnya.

Sesaat setelah kejadian, Jepang seperti tersentak. Mereka mempelajari mekanisme kerusakan yang ditimbulkan dari Gempa Kobe. Dari pengalaman inilah mereka membangun sebuah sistem yang sudah terkomputerisasi dan terintegrasi. Ketika mereka membangun gedung, mereka akan memiliki data yang lengkap tentang prediksi gerakan tanah di tempat itu. Bahkan bukan hanya pada daerah lokal, semua data di berbagai daerah dapat diakses dengan cepat. Mereka juga membangun pusat simulasi gempa. Dari sanalah data-data valid didapatkan. “Ini kemajuan dari gempa Hanshin, Kami dapat mengetahui jenis gempa apa yang terjadi nanti,” tambahnya.

Pelajaran lain yang bias didapat adalah tentang peraturan konstruksi bangunan di Jepang. Konstruksi bangunan dibedakan menjadi dua, level 1 dan level 2. Konstruksi bangunan level 1 harus tahan terhadap gempa dalam skala normal. Sementara bangunan level 2 harus tahan terhadap gempa dalam skala besar. Level 2 digunakan untuk bangunan tinggi agar tidak menimbulkan korban ketika ada gempa. Atau dalam kejadian lain, bisa jadi bangunan itu runtuh, tapi bongkahannya tidak membahayakan manusia. “Sama ketika kita membangun sekolah,” tutur Tanaka. Bangunan sekolah memang sangat beresiko. Selain bangunannya yang tinggi, disana juga berdiam banyak manusia.

Pelajaran kedua lebih bersifat sosial namun sangat penting. Segera setelah gempa Jepang sadar bahwa selama ini mereka tidak memiliki koordinasi yang baik antara pusat dan daerah. Lalu dikeluarkanlah peraturan tentang solidaritas bantuan keuangan terhadap korban bencana pada tahun 1998, dalam hal ini bantuan material untuk rekonstruksi bangunan. “Hubungan sosial meningkat ketika bencana ini (Gempa Kobe, Red). Bahkan 80 % korban selamat karena mendapat pertolongan segera dari keluarga dan tetangga mereka,” lanjutnya.

Terakhir, Tanaka merasa bahwa orang Jepang sangat membutuhkan pendidikan bencana. Tujuan utamanya untuk mencegah jatuhnya korban tewas. “Kami sudah menyebar panduan dalam bentuk buku atau CD kepada seluruh pelajar sekolah,” tutupnya. (bah/mtb)

Rabu, 26 Agustus 2009

Mencintai dengan Sempurna

Kotasantri.com Penulis : agus triningsih


Malam menjelang tidur, kembali sebuah SMS dari seorang sahabat membuatku merenung.

"Kita hidup bukanlah mencari seseorang yang sempurna untuk kita cintai, namun kita belajar untuk mencintai orang yang tidak sempurna dengan sempurna."

Kalimat yang begitu sederhana, tapi tidak sesederhana maknanya. Ku eja setiap kata-katanya dengan perlahan, lalu ku coba untuk memahami maknanya. Dan, ada tetes-tetes yang tak terbendung dari tiap sudut mataku. Entah, oleh sebab apa aku harus menangis seketika itu.
Yang pasti, aku merasakan tamparan keras pada hatiku.

Hingga kini, aku tetap menyakini bahwa segala sesuatu terjadi pasti dengan izinNya, dan BUKAN tanpa maksud.

Kali ini Allah mengajariku satu hal melalui seorang teman, lewat SMS-nya tadi. Bukan tanpa sebab Allah menggerakkan jari ukhti-ku itu untuk mengirimkan SMS tersebut. Ia mengirim tanpa ada obrolan apa pun tentang tema itu sebelumnya. Tidak satu jam yang lalu, tidak satu hari yang lalu, tidak satu minggu yang lalu, tidak pula satu tahun yang lalu.

Ketika di tanya mengapa ia mengirimkannya untuk saya, hanya satu kalimat sederhana yang diungkapkan olehnya, ”Ketika saya membacanya dari sebuah web muslim, saya langsung teringat ukhti. Saya kutip dan saya simpan dalam draft SMS. Dan malam ini, saya SMS-kan hanya ke satu nomor tujuan.”

”Just it.”

Percayakah Anda?

Malam itu, sebelum menerima SMS darinya, saya sedang asyik dan serius membuat konsep rumah tangga yang ideal untuk saya di masa depan. Paling tidak, untuk 3 tahun pertama di kehidupan kami ke depan. Saya mencoba membuat planing-planing ke depan. Bagaimana saya, suami saya, keluarga besar kami, konsep pendidikan anak-anak, aktifitas saya berikutnya, dan bla.. bla.. bla.. Ya, saya sedang belajar bermimpi, dan lalu berikhtiar semaksimal mungkin untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu.

Saya merencanakannya sendiri, tanpa calon suami saya. Mengapa? Karena sampai kini ”dia” masih abstrak dan masih menjadi misteri bagi saya. Mungkin bagi Anda, saya melakukan hal yang sia-sia? Atau mungkin lucu? Atau hanya membuang waktu saja? Tapi bagi saya, tidak! Kehidupan sangat penting untuk direncanakan, jauh hari sebelumnya, karena perencanaan adalah bagian dari kesuksesan. Bukankah begitu? Dan malam itu, Allah langsung menegur saya lewat sebuah SMS.

Anda tahu kenapa?

Karena saya mengharapkan kesempurnaan atas segala sesuatunya. Termasuk atas seseorang yang akan saya cintai di kemudian hari. Saat itu, saya membuang jauh "ketidaksempurnaan". Meski saya sadar sepenuhnya, memang kita tidak akan menemukan mahlukNya yang sempurna.

Malam itu juga, Allah mengingatkan saya pada ketiga laki-laki shaleh yang luar biasa. Mereka TIDAK SEMPURNA secara fisik, tapi akhlak, keshalehan, dan perjuangan hidupnya membuat setiap orang berdecak kagum atasnya. Mereka adalah orang-orang yang dekat dengan saya. Teman sekaligus abang bagi saya. Saudara seiman yang sangat layak untuk ditauladani bagi saya dan siapa pun juga.

Bukankah mereka layak untuk mendapatkan istri yang sempurna? Jika kemudian satu dari sekian juta lelaki shaleh datang dan berniat untuk menggenapkan separuh agamanya. Tentu sangat tidak adil jika saya menolaknya hanya karena fisiknya yang TAK sempurna. Tapi menerimanya juga bukan perkara yang mudah. Butuh keberanian, butuh kesabaran, butuh kekuatan hati dan jiwa. Dan hanya wanita-wanita ”hebat ” yang sanggup dan Allah pilih khusus untuknya.

Dan Allah menegur saya untuk mulai belajar memahami, untuk bisa menyiapkan hati manakala kondisi itu dihadapkan pada saya. Saya juga harus berani membuat planing-planing alternatif sesuai kondisional dan kapabilitas mereka.

Saya yakin, setiap kita memahami bahwa Allah menilai kita bukan karena penampilan luarnya, tapi Allah menilai pada hati kita. Sekali lagi, tidak seharusnya fisik menjadi takaran bagi kita. Tapi setiap kita masih harus belajar ikhlas untuk menerima ketidaksempurnaan. Belajar! Ya, belajar.

Teringat salah seorang jama'ah pengajian Aa Gym. Jika tidak salah namanya ”Ato”. Beliau adalah seorang yang cacat fisik. Bahkan ia mengalami kesulitan berkomunikasi. Untuk pergi ke Daarut Tauhiid, beliau harus beberapa kali naik turun angkot dan tetap butuh gendongan orang lain. Tapi itu semua tak menyurutkan motivasinya untuk berburu majelis ilmu. Ikhlas menjalani hidup, begitulah sosoknya. Kini Ato telah mendapatkan bidadari dunianya. Seorang akhwat shalehah dan sempurna, kini selalu mendampinginya dalam suka dan duka, bersama mengarungi samudera kehidupan. Itulah anugerah yang Allah berikan untuknya.

Satu lagi. Pasti kita semua mengenalnya, Ucok Ali Baba. Seorang entertainer yang juga cacat secara fisik, tapi memiliki istri yang sempurna.

Istri Ato dan juga istri Ucok adalah wanita-wanita luar biasa yang mampu mencintai laki-laki yang tidak sempurna dengan cara yang sangat sempurna.

Belajar menerima dan memahami, mungkin hanya itu kata-kata yang terbaik untuk saya dan juga Anda saat ini. Belajar mencintai segala sesuatu yang tak sempurna dengan sempurna.

Tarif Dasar Listrik Bakal Naik

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah memberi lampu hijau kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk menambah margin usahanya di tahun depan. Untuk mewujudkan rencana tersebut, Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyetujui adanya kenaikkan tarif dasar listrik (TDL).

"Kenaikan TDL akan berlanjut hingga tarif PLN mencapai harga keekonomian," ujar Meneg BUMN, Sofyan Djalil sesuai buka puasa di kantor Kementrian Negara BUMN, Selasa (25/08) malam.

Sofyan mengatakan, kenaikan margin usaha itu untuk meningkatkan kemampuan PLN dalam berutang kepada pemerintah. Saat ini, kemampuan PLN untuk berutang kepada pemerintah masih rendah, sehingga harus ada kenaikan margin usaha.

Ia mencontohkan, biaya produksi PLN 100 kemudian dijual ke masyarakat dengan harga 80. Sedangkan pemerintah harus mensubsidi sebesar 20. Artinya PLN tidak mendapatkan keuntungan. Sehingga kemampuan meminjam PLN juga akan berkurang.

Sekretaris Meneg BUMN, Said Didu, mengamini komentar atasannya itu. Menurutnya, margin PLN harus dinaikkan. Namun tidak berarti margin PLN naik lantas keuntungan PLN bertambah. Margin itu hanya supaya PLN bisa berutang untuk menggantikan utang pemerintah yang diberikan kepada PLN.

Sofyan menambahkan, apabila harga dinaikkan maka subsidi terhadap PLN bisa dicabut. Karena selama harga belum dinaikkan, pemerintah harus tetap memberikan subsidi kepada PLN. Pemerintah berencana untuk menaikkan tarif listrik secara pelan-pelan. "TDL tidak pernah naik sejak 2004 lalu padahal biaya produksi naik. Akibatnya biaya produksi PLN naik terus," lanjut Sofyan.

Pemerintah menginginkan dalam rencana jangka panjangnya subsidi listrik hanya dinikmati oleh orang miskin. Kalau sekarang, kebanyakan subsidi listrik dinikmati oleh orang kaya. "Belum tau kapan realisasinya. Ini kan kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah sejak tahun 2004, tarif itu dibekukan dan tidak ada kenaikan karena pemerintah menyadari harga beli masyarakat," jelas Sofyan.

Dengan harga minyak dunia yang melambung tinggi, menurut Sofyan subsidi harus dikurangi karena akan membuat subsidi membengkak. Sofyan menjelaskan untuk membuat listrik 1 KWH menggunakan diesel membutuhkan biaya produksi Rp 3.100. Padahal PLN hanya menjual sebesar Rp 700. Sehingga setiap 1 KWH, pemerintah mensubsidi sebesar Rp 2.400.

Menurut Sofyan dengan kenaikan margin PLN maka akan ada pembiayaan dari pasar untuk pembangunan. PLN bisa mendapatkan pinjaman dari pasar termasuk obligasi. "Sehingga PLN bisa membangun kebutuhan listrik dalam negeri dengan pembiayaan dari pasar," tegas Sofyan.

Sementara itu wakil direktur PLN, Rudiantara menyatakan hingga semester pertama tahun ini konsumsi listrik naik 1 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Kebanyakan terjadi di segmen rumah tangga, jasa, dan bisnis.

Pertumbuhan 1 persen itu tidak mendongkrak kinerja keuangan PLN secara signifikan. "Apalagi tidak ada kebijakan harga yang drastis karena tidak ada kenaikan harga," ujar Rudiantara. (Fitri Nur Arifenie/Kontan)

Selasa, 11 Agustus 2009

Memudarnya Politik Aliran

Selama sekian dekade, peta politik di Indonesia sulit dilepaskan dari diskursus politik aliran. Inti dari politik aliran yang diteoritisasi Clifford Geertz pada 1950-an ini adalah adanya kesamaan ideologis yang ditransformasikan ke dalam pola integrasi sosial yang komprehensif.

Menurut asumsi politik aliran, kelompok abangan yang diidentifikasi sebagai penganut Muslim kurang taat cenderung memilih partai nasionalis. Sedangkan kelompok santri, dipercaya akan menyalurkan suaranya pada partai Islam. Partai Islam sendiri tidak monolitik. Pemilih NU, menurut teori ini, lebih nyaman memilih partai yang dekat dengan NU. Sebaliknya, pendukung Muhammadiyah dan organisasi modernis lain cenderung memilih partai yang berlatar belakang Islam modernis.

Pertanyaannya, apakah politik aliran masih relevan untuk menjelaskan pemilu pasca-Orde Baru?
Jika kita masih percaya politik aliran masih bekerja di tingkat grass root, seharusnya kita 'risau' terhadap fakta penurunan suara partai Islam pada Pemilu 1999, 2004, dan 2009 jika dibandingkan dengan Pemilu 1955. Gabungan partai Islam pada Pemilu 1955 sebesar 43.7 persen, sedangkan total suara partai-partai nasionalis sebanyak 51.7 persen.

Pada Pemilu 1999, total suara partai Islam (PKB, PPP, PAN, PK, PKNU) anjlok menjadi 36.8 persen. Pada Pemilu 2004 lalu, suara partai Islam naik menjadi 38.1 persen. Perlu dicatat, total suara ini masih memasukkan PAN dan PKB. Jika PAN dan PKB dikeluarkan dari partai Islam, suara partai Islam lebih sedikit. Pada Pileg 2009 yang baru lalu, agregat partai Islam anjlok lagi menjadi sekitar 25 persen.

Fakta anjloknya suara partai Islam menunjukkan makin kurang relevannya penjelasan politik aliran untuk melihat perilaku pemilih kita. Padahal, data longitudinal Lembaga Survei Indonesia (LSI) sejak 2003 sekarang, juga survei Mershon Ohio State University dan UI (1999) dan PPIM (2001-2002) menunjukkan meningkatnya ketaatan Muslim Indonesia.

Data kuantitatif ini melengkapi riset antropologis Woodward (1989) dan Pranowo (2001), yang menemukan runtuhnya politik aliran dan munculnya santrinisasi abangan. Poinnya, meningkatnya religiusitas kaum Muslim, termasuk kalangan abangan, tidak lantas diikuti dengan naiknya suara partai Islam. Padahal, kalau kita konsisten mengikuti politik aliran, meningkatnya ketaatan beragama tersebut seharusnya termanifestasi dalam pilihan mereka ke partai Islam.

Political centrism
Apa yang membuat pemilih Muslim yang makin taat itu untuk lebih memilih partai nasionalis, ketimbang partai Islam?
Ada tiga sebab: Pertama, partai-partai nasionalis sukses melakukan paradigm shift dari positioning partai yang awalnya dicap kurang ramah terhadap agenda politik Muslim, menjadi lebih reseptif terhadap aspirasi umat. Misalnya, dukungan Golkar dan Demokrat terhadap RUU Sisdiknas dan Pornografi merupakan 'investasi politik' yang berhasil menarik simpati pemilih Islam.

Secara umum, partai-partai Islam juga makin ke tengah (political centrism), mengambil ceruk pasar pemilih Muslim, tanpa menanggalkan captive market tradisional mereka. Porsi terbesar pemilih memang berdiam di 'tengah' sesuai dengan kurva normal yang biasa dikenal dalam statistik. Selain menyasar isu-isu yang 'Islami', Demokrat dan Golkar juga membentuk organ-organ sayap yang khusus menggarap pemilih Muslim. Bahkan, PDIP pun membentuk Baitul Muslimin Indonesia.

Kedua, pemilih Muslim kita juga makin rasional. Mereka sekarang lebih tertarik dengan isu-isu nonagama, terutama masalah ekonomi, ketimbang isu-isu keagamaan. Sebaliknya, partai Islam dianggap kurang peduli terhadap isu-isu ekonomi dan terlalu sibuk berdebat soal isu-isu simbolis.

Rekomendasi bagi partai Islam jika ingin meningkatkan supremasinya, tidak ada cara lain, kecuali menerapkan kaidah ushuliyah: muhafazhat ‘ala al-qadim al-shalih wa akhdz ‘ala al-jadid al-ashlah. Kaidah itu berarti partai Islam harus melakukan ijtihad politik untuk meraup captive market pemilih baru dengan menjual isu-isu nonagama, tapi tetap memelihara pangsa pasar tradisionalnya. Partai Islam harus lebih piawai memainkan isu-isu agama dan meningkatkan kompetensi dan kapasitasnya agar bisa dipercaya publik menangani problem-problem sosial ekonomi.

Ketiga, terjadinya krisis kepemimpinan umat. Di saat politik elektoral kita makin dipengaruhi tokohisme yang demikian kuat, partai Islam kurang mampu menjual pemimpin-pemimpin yang memiliki magnet yang cukup kuat untuk menarik pemilih. Pemilu 2009 diwarnai dominasi pemimpin nasionalis, seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati, sementara partai Islam gagal menawarkan pemimpin alternatif pasca 'menurunnya' pamor Amien Rais dan Abdurrahman Wahid.

Patronasi politik
Pilpres 2009 juga menunjukkan kurang bertuahnya 'tausiyah politik' pemimpin Islam dari jalur kultural. Dukungan terbuka maupun diam-diam dari elite-elite NU dan Muhammadiyah untuk capres tertentu, terbukti tidak diikuti oleh jamaah kedua ormas itu. Exit Poll LSI pada 8 Juli lalu menunjukkan 64 persen pemilih NU dan 58 persen pemilih Muhammadiyah memilih pasangan SBY-Boediono. Padahal, SBY dan Boediono tidak memiliki Islamic credential, berbeda dengan capres lain yang memiliki garis keturunan NU dan Muhammadiyah sekaligus.

Selain menunjukkan makin memudarnya pengaruh politik aliran, hasil pilpres menurut rekapitulasi KPU tersebut menunjukkan lunturnya patronasi keagamaan. Pemilih NU dan Muhammadiyah makin otonom dalam menentukan pilihan politiknya. Peran elite agama sebagai political broker (perantara politik) makin berkurang.

Dalam masyarakat yang sedang berubah dari masyarakat tradisional ke modern, dengan sendirinya peran dan fungsi ulama mengalami perubahan dari expansion ke contraction. Secara sosio-antropologis, perubahan peran ulama ini biasanya dilihat dari polimorfik ke arah monomorfik, atau dari yang multifungsional ke monofungsional. Ini disebabkan perubahan struktur sosial yang didorong oleh tuntutan spesialisasi dan diferensiasi dalam masyarakat. Atau, meminjam istilah Almond dan Powell: structural differentiation and cultural secularization. Dulu, galib ditemui ulama yang diserahi 'mandat' bukan saja pada masalah keagamaan saja, tapi juga pada bidang politik, pertanian, perdagangan, kesehatan, dan ketertiban masyarakat. Namun, kini peran ulama mengalami pembidangan, untuk tidak menyebut pereduksian. Ulama cenderung diposisikan menangani urusan agama saja.

Pada saat yang sama, umat di bawah langsung dapat mengakses informasi tanpa harus melalui proses seleksi sosial. Dulu, akses umat terhadap sumber informasi terbatas dan diperantarai oleh ulama. Dulu, ulama menjadi pemegang tafsir atas dunia luar. Kini, umat langsung bisa mengakses informasi dari luar dan menafsirkannya sesuai dengan pilihan otonomnya. Inilah konteks sosial yang menjadi sebab melunturnya pengaruh politik aliran dan patron-klien.

URL Source: http://www.republika.co.id/koran/24/67905/Memudarnya_Politik_Aliran

Burhanuddin Muhtadi
(Peneliti Lembaga Survei Indonesia)
Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga negara kembali menjadi topik pembicaraan pascaberedarnya testimoni Ketua nonaktif KPK Antasari Azhar.


Sejumlah pengamat berpendapat KPK sedang mengalami serangan dan pelemahan, terutama karena kedudukannya sebagai superbody atau lembaga super.

Mispersepsi

Banyak yang beranggapan bahwa KPK merupakan lembaga super karena tidak adanya mekanisme check and balances. Padahal, setiap lembaga negara tidak mungkin independen tanpa sistem check and balances.

Bila ditilik dari kelembagaan, KPK sebenarnya bukanlah lembaga super. Kalaupun dimispersepsikan sebagai lembaga super, hal itu lebih karena KPK memiliki kewenangan yang diemban polisi dan kejaksaan sekaligus. Kewenangan satu atap ini adalah kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Kewenangan KPK dalam konteks demikian tidaklah super bila dibandingkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU melebihi KPK karena bertindak sebagai investigator, penuntut, dan pemutus sekaligus.

Bahkan, apabila putusannya diajukan keberatan ke pengadilan negeri dan Mahkamah Agung, KPPU menjadi pihak dalam perkara. Sebagai pihak, KPPU akan leluasa melakukan pembelaan atas putusannya.

Di negeri ini lembaga yudikatif yang lebih rendah tak akan melakukan pembelaan sendiri terhadap putusan yang dibuatnya di hadapan lembaga yudikatif yang lebih tinggi.

Kewenangan demikian, dari kacamata hukum, merupakan super. Namun, kewenangan yang dimiliki KPPU tidak mendapat perhatian masyarakat karena perkara yang ditangani bukan perkara yang langsung bersentuhan dengan masyarakat dan sanksinya bukan sanksi pidana.

Sementara untuk KPK tetap ada mekanisme check and balances. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat meminta pertanggungjawaban KPK atas kegiatannya secara umum. Secara keuangan, KPK akuntabel terhadap Badan Pemeriksa Keuangan. Pengadilan pun dapat menggugurkan dakwaan jaksa penuntut umum KPK meski hingga saat ini belum pernah ada.

Bahkan, pers dan masyarakat dapat melakukan kontrol sosial terhadap KPK.

Para personel dari KPK pun tidak memiliki kekebalan hukum. Mereka yang diduga melakukan kejahatan dapat dilakukan proses hukum. Ketua KPK nonaktif Antasari adalah contoh nyata, selain seorang oknum polisi yang bekerja untuk KPK.

Faktor super

Kalaupun KPK disebut sebagai super, bisa jadi bersumber dari tiga faktor.

Pertama, kewenangan yang terkait dengan proses hukum. Kewenangan ini, antara lain, adalah kewenangannya untuk melakukan ”penjebakan”, melakukan penyadapan, dan tidak dapat mengeluarkan SP3.

Kewenangan demikian mengingatkan masyarakat pada kewenangan yang dimiliki Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan instansi yang terlibat dalam pemberantasan tindak pidana subversi pada masa lampau.

Meski demikian, KPK tentu berbeda dengan Kopkamtib. KPK tetap dapat dikontrol. Bahkan, pengadilan dapat menolak atau tidak mengabulkan apa yang menjadi keinginan KPK.

Kedua, kalaupun KPK dianggap super, hal itu karena personel yang mengisi komisi ini. Harus diakui, personel KPK—baik pimpinan maupun staf—direkrut dengan sistem berbeda dari instansi penegak hukum lainnya.

Polisi dan jaksa yang diperbantukan ke KPK adalah pilihan dan terbaik. Pimpinan KPK pun direkrut dengan sistem yang terbuka dan melalui proses yang panjang.

Perlu dipahami sumber daya manusia yang prima amat penting dalam penegakan hukum. Mereka harus pandai sehingga tidak terombang-ambing dalam menegakkan hukum. Inilah yang patut dicontoh dari KPK untuk kepolisian, kejaksaan, dan kekuasaan kehakiman.

Ketiga, dari segi kesejahteraan juga dapat dikatakan super bila dibandingkan kesejahteraan dari instansi hukum pada umumnya. Tanpa kesejahteraan yang super, sulit dibayangkan KPK dapat melakukan tugasnya memberantas korupsi secara efektif.

Integritas

Dalam penegakan hukum yang tegas, diperlukan manusia yang berintegritas. Integritas akan berkorelasi erat dengan kesejahteraan. Penegakan hukum bisa tumpul karena tidak adanya integritas.

Karena itu, pemberian kesejahteraan yang memadai pada instansi penegak hukum harus menjadi prioritas pemerintah. Sulit diterima logika sehat, aparat penegak hukum yang mendapatkan kesejahteraan minim dari negara bisa memiliki sejumlah kemewahan.

Masyarakat harus memahami bahwa berbagai faktor super yang dimiliki KPK diberikan karena untuk memberantas korupsi diperlukan lembaga yang memiliki kewenangan, personel, dan sistem penggajian yang tidak biasa.

Korupsi telah dianggap sebagai suatu kejahatan luar biasa sehingga penanganannya pun harus luar biasa.

KPK harus tetap eksis selama kebutuhan untuk itu masih ada. Meski demikian, harus diakui kewenangan super memang rentan untuk disalahgunakan dan disalahtafsirkan oleh mereka yang mengembannya. Di sinilah semua personel KPK harus betul- betul dapat memaknai tugasnya.

Kamis, 06 Agustus 2009

Hukum Nisfu Sya'ban

Nisfu Sya’ban berarti pertengahan bulan sya’ban. Adapun didalam sejarah kaum muslimin ada yang berpendapat bahwa pada saat itu terjadi pemindahan kiblat kaum muslimin dari baitul maqdis kearah masjidil haram, seperti yang diungkapkan Al Qurthubi didalam menafsirkan firman Allah swt :

سَيَقُولُ السُّفَهَاء مِنَ النَّاسِ مَا وَلاَّهُمْ عَن قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُواْ عَلَيْهَا قُل لِّلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَن يَشَاء إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ


Artinya : “Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka Telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus". (QS. Al Baqoroh : 142)

Al Qurthubi mengatakan bahwa telah terjadi perbedaan waktu tentang pemindahan kiblat setelah kedatangannya saw ke Madinah. Ada yang mengatakan bahwa pemindahan itu terjadi setelah 16 atau 17 bulan, sebagaimana disebutkan didalam (shahih) Bukhori. Sedangkan Daruquthni meriwayatkan dari al Barro yang mengatakan,”Kami melaksanakan shalat bersama Rasulullah saw setelah kedatangannya ke Madinah selama 16 bulan menghadap Baitul Maqdis, lalu Allah swt mengetahui keinginan nabi-Nya, maka turunlah firman-Nya,”Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit.”. Didalam riwayat ini disebutkan 16 bulan, tanpa ada keraguan tentangnya.

Imam Malik meriwayatkan dari Yahya bin Said dari Said bin al Musayyib bahwa pemindahan itu terjadi dua bulan sebelum peperangan badar. Ibrahim bin Ishaq mengatakan bahwa itu terjadi di bulan Rajab tahun ke-2 H.

Abu Hatim al Bistiy mengatakan bahwa kaum muslimin melaksanakan shalat menghadap Baitul Maqdis selama 17 bulan 3 hari. Kedatangan Rasul saw ke Madinah adalah pada hari senin, di malam ke 12 dari bulan Rabi’ul Awal. Lalu Allah swt memerintahkannya untuk menghadap ke arah ka’bah pada hari selasa di pertengahan bulan sya’ban. (Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an jilid I hal 554)

Kemudian apakah Nabi saw melakukan ibadah-ibadah tertentu didalam malam nisfu sya’ban ? terdapat riwayat bahwa Rasulullah saw banyak melakukan puasa didalam bulan sya’ban, seperti yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim dari Aisyah berkata,”Tidaklah aku melihat Rasulullah saw menyempurnakan puasa satu bulan kecuali bulan Ramadhan. Dan aku menyaksikan bulan yang paling banyak beliau saw berpuasa (selain ramadhan, pen) adalah sya’ban. Beliau saw berpuasa (selama) bulan sya’ban kecuali hanya sedikit (hari saja yang beliau tidak berpuasa, pen).”

Adapun shalat malam maka sessungguhnya Rasulullah saw banyak melakukannya pada setiap bulan. Shalat malamnya pada pertengahan bulan sama dengan shalat malamnya pada malam-malam lainnya. Hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah didalam Sunannya dengan sanad yang lemah,”Apabila malam nisfu sya’ban maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya.

Sesungguhnya Allah swt turun hingga langit dunia pada saat tenggelam matahari dan mengatakan,”Ketahuilah wahai orang yang memohon ampunan maka Aku telah mengampuninya. Ketahuilah wahai orang yang meminta rezeki Aku berikan rezeki, ketahuilah wahai orang yang sedang terkena musibah maka Aku selamatkan, ketahuilah ini ketahuilah itu hingga terbit fajar.”

Syeikh ‘Athiyah Saqar mengatakan,”Walaupun hadits-hadits itu lemah namun bisa dipakai dalam hal keutamaan amal.” Itu semua dilakukan dengan sendiri-sendiri dan tidak dilakukan secara berjama’ah (bersama-sama).

Al Qasthalani menyebutkan didalam kitabnya “al Mawahib Liddiniyah” juz II hal 259 bahwa para tabi’in dari ahli Syam, seperti Khalid bin Ma’dan dan Makhul bersungguh-sungguh dengan ibadah pada malam nisfu sya’ban. Manusia kemudian mengikuti mereka dalam mengagungkan malam itu. Disebutkan pula bahwa yang sampai kepada mereka adalah berita-berita israiliyat. Tatkala hal ini tersebar maka terjadilah perselisihan di masyarakat dan diantara mereka ada yang menerimanya.

Ada juga para ulama yang mengingkari, yaitu para ulama dari Hijaz, seperti Atho’, Ibnu Abi Malikah serta para fuqoha Ahli Madinah sebagaimana dinukil dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, ini adalah pendapat para ulama Maliki dan yang lainnya, mereka mengatakan bahwa hal itu adalah bid’ah.

Kemudian al Qasthalani mengatakan bahwa para ulama Syam telah berselisih tentang menghidupkan malam itu kedalam dua pendapat. Pertama : Dianjurkan untuk menghidupkan malam itu dengan berjama’ah di masjid. Khalid bin Ma’dan, Luqman bin ‘Amir dan yang lainnya mengenakan pakaian terbaiknya, menggunakan wangi-wangian dan menghidupkan malamnya di masjid. Hal ini disetujui oleh Ishaq bin Rohawaih. Dia mengatakan bahwa menghidupkan malam itu di masjid dengan cara berjama’ah tidaklah bid’ah, dinukil dari Harab al Karmaniy didalam kitab Masa’ilnya. Kedua : Dimakruhkan berkumpul di masjid untuk melaksanakan shalat, berdoa akan tetapi tidak dimakruhkan apabila seseorang melaksanakan shalat sendirian, ini adalah pendapat al Auza’i seorang imam dan orang faqih dari Ahli Syam.

Tidak diketahui pendapat Imam Ahmad tentang malam nisfu sya’ban ini, terdapat dua riwayat darinya tentang anjuran melakukan shalat pada malam itu. Dua riwayat itu adalah tentang melakukan shalat di dua malam hari raya. Satu riwayat tidak menganjurkan untuk melakukannya dengan berjama’ah. Hal itu dikarenakan tidaklah berasal dari Nabi saw maupun para sahabatnya. Dan satu riwayat yang menganjurkannya berdasarkan perbuatan Abdurrahman bin Zaid al Aswad dan dia dari kalangan tabi’in.

Demikian pula didalam melakukan shalat dimalam nisfu sya’ban tidaklah sedikit pun berasal dari Nabi saw maupun para sahabatnya. Perbuatan ini berasal dari sekelompok tabi’in khususnya para fuqaha Ahli Syam. (Fatawa al Azhar juz X hal 31)

Sementara itu al Hafizh ibnu Rajab mengatakan bahwa perkataan ini adalah aneh dan lemah karena segala sesuatu yang tidak berasal dari dalil-dalil syar’i yang menyatakan bahwa hal itu disyariatkan maka tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk menceritakannya didalam agama Allah baik dilakukan sendirian maupun berjama’ah, sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan berdasarkan keumuman sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang mengamalkan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak.” Juga dalil-dalil lain yang menunjukkan pelarangan bid’ah dan meminta agar waspada terhadapnya.

Didalam kitab “al Mausu’ah al Fiqhiyah” juz II hal 254 disebutkan bahwa jumhur ulama memakruhkan berkumpul untuk menghidupkan malam nisfu sya’ban, ini adalah pendapat para ulama Hanafi dan Maliki. Dan mereka menegaskan bahwa berkumpul untuk itu adalah sautu perbuatan bid’ah menurut para imam yang melarangnya, yaitu ‘Atho bin Abi Robah dan Ibnu Malikah.

Sementara itu al Auza’i berpendapat berkumpul di masjid-masjid untuk melaksanakan shalat (menghidupkan malam nisfu sya’ban, pen) adalah makruh karena menghidupkan malam itu tidaklah berasal dari Rasul saw dan tidak juga dilakukan oleh seorang pun dari sahabatnya.

Sementara itu Khalid bin Ma’dan dan Luqman bin ‘Amir serta Ishaq bin Rohawaih menganjurkan untuk menghidupkan malam itu dengan berjama’ah.”

Dengan demikian diperbolehkan bagi seorang muslim untuk menghidupkan malam nisfu sya’ban dengan berbagai bentuk ibadah seperti shalat, berdzikir maupun berdoa kepada Allah swt yang dilakukan secara sendiri-sendiri. Adapun apabila hal itu dilakukan dengan brjama’ah maka telah terjadi perselisihan dikalangan para ulama seperti penjelasan diatas.

Hendaklah ketika seseorang menghidupkan malam nisfu sya’ban dengan ibadah-ibadah diatas tetap semata-mata karena Allah dan tidak melakukannya dengan cara-cara yang tidak diperintahkan oleh Rasul-Nya saw. Janganlah seseorang melakukan shalat dimalam itu dengan niat panjang umur, bertambah rezeki dan yang lainnya karena hal ini tidak ada dasarnya akan tetapi niatkanlah semata-mata karena Allah dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Begitu pula dengan dzikir-dzikir dan doa-doa yang dipanjatkan hendaklah tidak bertentangan dengan dalil-dalil shahih didalam aqidah dan hukum.

Dan hendaklah setiap muslim menyikapi permasalahan ini dengan bijak tanpa harus menentang atau bahkan menyalahkan pendapat yang lainnya karena bagaimanapun permasalahan ini masih diperselisihkan oleh para ulama meskipun hanya dilakukan oleh para tabi’in.

Wallahu A’lam

Kamis, 30 Juli 2009

Ekonomi Berbasiskan Hasil

Oleh: Rhenald Kasali 

  
TAK lama setelah mengisi sesi inspirasi bagi sekitar 750 orang mahasiswa calon wirausaha di kota Manado yang digelar Bank Mandiri,seorang usahawan senior menyatakan kekagumannya terhadap kemajuan ekonomi di kota ini. 

Manado sudah kembali bersih dan tertib. Setelah sukses melaksanakan konferensi kelautan tingkat dunia, sebentar lagi akan dilaksanakan kegiatan Sail Bunaken. Jumlah hotel berbintang empat dan lima pun meningkat pesat. Kalau dulu cuma ada tiga sampai empat hotel berbintang, kini di mana-mana ditemui hotel berbintang yang ternyata selalu penuh. 

Manado telah berubah, merebut posisinya sebagai kota konferensi yang sejajar dengan Jakarta, Bali,Yogyakarta, dan Bandung. Meski harga tiket pesawat menuju kota ini masih mahal—karena jarak tempuhnya yang panjang— peminatnya tidak surut. 

Setiap kali kita menyaksikan ketertiban suatu kota dan kemajuan perekonomiannya, selalu kita bertanya siapa pemimpinnya? Siapa wali kotanya, dan siapa gubernurnya? Tetapi setiap kali kita hendak membanggakan mereka, kita selalu menemukan kegetiran karena salah satu dari mereka telah ditangkap karena perkara korupsi. Apa yang sebenarnya tengah terjadi di negara ini? 

Process-Based Economy 

Setiap negara yang baru memulai take-off selalu saja confused membedakan antara process-based economy dan result-based economy. Mereka yang merindukan ketertiban dan kepastian sudah pasti akan memilih yang pertama, sedangkan mereka yang merindukan prestasi (hasil) memilih yang kedua. 

Pertarungan antara kedua mazhab itu dalam ilmu manajemen sebenarnya sudah lama terjadi, namun bunyinya halus sekali. Maklumlah, di negara-negara maju dikotomi antara keduanya sudah tidak jadi masalah dalam kehidupan sehari-hari. Di negaranegara maju itu, konteks masyarakat dan hukumnya sudah sangat tertib dan transparan. Semua kegiatan jelas arahnya dan jelas hasilnya. 

Di lingkungan yang tertib itu segala sesuatu dapat diramalkan (predictable). Jarang terjadi keputusan-keputusan atau kejadian-kejadian yang mengejutkan dan banyak hal telah menjadi rutin.Mereka telah berhasil menggunting banyak benang kusut (red tapes) atau proses yang berlikuliku. Belenggu-belenggu telah dibebaskan dan pelaku-pelaku usaha merasakan manfaat dari kepatuhan. 

Demikian juga aparat birokrasinya. Mereka semua bekerja bersemangat dan senang karena semuanya jelas dan mudah ditelusuri. Maka bila semua proses itu diikuti dan prosesnya benar, hasilnya pun bagus, benar, dan sesuai yang diharapkan. 

Hal seperti itu tampaknya tidak terjadi di sini. Lagi-lagi kita copy-paste, menjiplak konsep, tetapi kita lupa bahwa prasyaratprasyaratnya berbeda sama sekali. Kita tentu tidak bisa melakukan copy-paste suatu program kalau operating system-nya tidak sama. 

Chaotic Society 

Setiap kali hendak menerapkan suatu konsep, penting bagi para pemimpin menerjemah kan konteksnya. Konteks itu adalah iklim yang menjelaskan prasyarat-prasyarat yang diperlukan agar konsep itu bisa berjalan dengan baik. Tanaman kopi yang tumbuh subur di dataran tinggi Takengon, Aceh, tidak secara otomatis dapat tumbuh subur di dataran rendah pesisir Ibu Kota. 

Demikian pula dengan konsep-konsep manajemen. Bagi para praktisi bisnis yang berpengalaman, Indonesia dengan jelas dapat dilihat sebagai komunitas yang nyaris tanpa keteraturan. Apalagi kalau Anda membandingkannya secara langsung dengan kondisi usaha di negara-negara yang mengembangkan konsep-konsep manajemen.Terasa sekali kontras keduanya.

Di negeri ini ada banyakhalyangsulitkitaduga, banyak surprise yang ditemui. Bahkan di jalan bebas hambatan (tol) yang secara rutin Anda lewati sekalipun, Anda tidak bisa menebak berapa lama jarak tempuh yang akan Anda lewati.Hari ini bisa ditempuh dalam temposetengahjam,besoktiba-tiba bisa menjadi 2 jam atau stuck sama sekali. 

Demikian pula dengan penerapan aturan,kebijakan atasan, pengangkatan pejabat, dan proses yang harus dilewati untuk mengikuti suatu ketentuan.Bahkan ada pendapat umum yang menyatakan bahwa hanya orang-orang bodoh yang taat peraturan.Atau dengarlah ungkapan ini, ”Kalau dia taat peraturan, hasilnya tidak akan sebaik ini.” 

Walau situasinya chaos, ada cukup banyak orang yang menikmatinya. Mereka yang menikmati situasi itu dapat memanfaatkan ketidakteraturan untuk bersembunyi dan membeli peraturan. Hukum dan ketentuan yang dipakai adalah hukum celah, yaitu mencari peluang dari ketentuan yang berbelit-belit atau prosedur yang tidak konsisten. 

Hal seperti ini tentu tidak dapat dibiarkan berlaku terus-menerus karena sangat menjebak. Anda mungkinsekarangmerasadiuntungkan, tapi sesungguhnya tidak karena tidak ada yang bisa dipegang. Sebaliknya,dalam dunia usaha, dalam jangka panjang kita memang akan diuntungkan karena memiliki pelaku-pelaku usaha yang lebih adaptif, lugas, fleksibel, dan tahan banting. 

Sekali mereka sukses di sini,mereka akan mudah hidup di mancanegara. Sebaliknya, potensi ini akan sangat menyulitkan usahawan dan profesional dari negara-negara yang tertib, stabil,predictable,dan rutin. Itulah dilema berwirausaha dan memimpindisuatu chaoticsociety,di satu pihak menjadi ketidakteraturan dan ketidaktertiban, di lain pihak desain perekonomiannya dirumuskan dengan model yang diterapkan di negara-negara yang mudah diatur dan tertib. 

Mengorbankan Hasil 

Mendebatkan proses dengan hasil ibarat mendebatkan prinsip dasar ekonomi di tingkat persiapan Fakultas Ekonomi, yaitu mendebatkan antara konsep efisiensi dan konsep efektivitas. Efisiensi sangat mengedepan kan penghematan (biaya), yaitu bagaimana mencapai hasil dengan biaya yang serendah-rendahnya. 

Sebaliknya, efektivitas mengedepankan hasil, yaitu bagaimana mencapai hasil yang sebesar-besarnya. Masalahnya, keduanya tidak bisa secara otomatis kita gabungkan menjadi kalimat seperti ini ”mencapai hasil yang sebesarbesarnya dengan biaya yang serendah- rendahnya.”

Demikian pulalah dengan dikotomi proses-hasil dalam chaotic society.Jarang sekali ditemui perekonomian berbasiskan proses yang berhasil mencapai hasil maksimum atau sebaliknya. Banyak kita temui birokrasi yang prosesnya bagus dengan kinerja yang buruk. Sebaliknya, mereka yang berkinerja bagus (seperti para wali kota dan gubernur), tapi mereka kini menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi atau kejaksaan tinggi. Atau minimal mempunyai banyak catatan merah di lembaga-lembaga pengawasan keuangan. 

Apakah yang perlu dilakukan? 

Kita jelas tak menginginkan proses yang baik namun hasilnya buruk atau sebaliknya. Ini jelas merupakan PR penting bagi para pembuat kebijakan, pemimpinpemimpin BUMN, dan pemerintahan daerah. Saya kira, hal mendesak yang perlu dilakukan saat ini adalah mendesain ulang semua proses kebijakan dan peraturan agar semua benang-benang kusut bisa dibuang dan para pemimpin bisa bekerja dengan tenang dan tertib.Kalau ini bisa kita kerjakan,langkah berikutnya baru kita desain bangunan baru organisasi usaha, yaitu struktur yang lebih organik,yang lebih hidup agar mampu bekerja dengan optimal.(*) 

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/258730/



RHENALD KASALI 
Ketua Program MM UI

Orientasi Pembangunan

Orientasi Pembangunan 
   
Oleh: Ivan A Hadar 

  
Selama kampanye, pasangan SBY-Boediono setidaknya melontarkan 15 janji. Kini pasangan ini sudah dinyatakan memenangi Pilpres 2009.


Janji-janji itu antara lain pertumbuhan ekonomi, penurunan angka kemiskinan dan pengangguran, perbaikan pendidikan, infrastruktur, kesehatan, dan ketersediaan energi. Juga ada janji swasembada pangan, pemeliharaan lingkungan, penguatan pertahanan dan keamanan, reformasi birokrasi, pemberantasan korupsi, penguatan otonomi daerah, penegakan HAM, dan peningkatan peran Indonesia di dunia internasional.

Selama masa kampanye, menguat pula perdebatan ideologi (ekonomi) yang diusung para capres-cawapres. Selain ”baru”, hal ini dirasa perlu untuk mencari kejelasan orientasi pembangunan lima tahun ke depan. Harus diakui, sejak Reformasi, pembangunan dibiarkan mengalir tanpa orientasi.

Krisis teori

Orientasi jangka pendek dan pragmatis elite era Reformasi juga mempersulit pencapaian konsensus bersama sebagai basis pencarian teoretis atas orientasi pembangunan. Sebenarnya, ”krisis teori” (Beck, 2000) disinyalir telah menjadi fenomena global sejak runtuhnya negara-negara komunis. Selain tiadanya alternatif bagi kapitalisme dan kini didominasi genre neoliberal, secara sederhana krisis teori juga disebabkan empat hal.

Pertama, sebagai teori, modernisasi ataupun dependensia tidak perlu menganalisis diferensiasi di ”Dunia Ketiga”. Padahal, perbedaan antara empat ”Macan Asia” dengan negara kapitalis penghasil minyak dan negara agraris di Afrika amat signifikan. Tidak mungkin memasukkan semua negara dalam kategori ”Dunia Ketiga”. Asumsi tentang kesamaan struktur sosial-ekonomi di periferi dan berbagai teori tentang prasyarat pembangunan dianggap usang dan tidak sesuai kenyataan.

Kedua, dalam perdebatan tentang negara industri baru, ditemukan hal berikut. Meski akhir-akhir ini sempat dilanda krisis, menanjaknya Korea Selatan dalam 30 tahun dan mampu bersaing dengan negara-negara industri maju tidak dapat diterangkan dengan teori yang ada. Menurut teori dependensia, pengintegrasian sebuah negara ke pasar dunia hanya ”memicu keterbelakangan”.

Ternyata, Korea Selatan menghasilkan aneka kemajuan. Fenomena yang tak bisa diterangkan teori modernisasi, yang semula menyebut ”Etika Konfusius” sebagai penyebab keterbelakangan, lalu—setelah mengamati keberhasilan Empat Macan Asia—berbalik menyebut etika itu sebagai prasyarat keberhasilan. Hal sama juga terjadi pada asumsi ekonomi pembangunan klasik: awalnya mempropagandakan bahwa reduksi peran negara berdampak positif bagi pembangunan, lalu menyebut intervensi negara sebagai prasyarat percepatan pertumbuhan ekonomi.

Ketiga, aneka tampilan krisis ekologi menunjukkan keterbatasan model pembangunan industrial, baik yang mengacu paham sosialisme dalam tradisi Marx dan Lenin maupun paham neoklasik menurut Smith dan Ricardo atau neo-Keynesian.

Keempat, kegagalan teori adalah kandasnya segala bentuk utopia dan model berbagai teori pembangunan. Teori pembangunan tidak hanya mencoba menerangkan (under) development, tetapi juga memberi rancangan sosial-politik serta strategi pembangunan. Namun, baik model sosialistis ala Kuba atau Nikaragua maupun model neoklasik ala Cile atau ”jalan alternatif” seperti Ujama di Tanzania, menurut pengkritik teori Ulrich Menzel (2001), tidak membawa perbaikan nyata bagi kebanyakan penduduk.

Selama ini, krisis teori memengaruhi diskusi kebijakan pembangunan. Dalam kaitan itu, perlu dibedakan dua level diskusi, level teori dan level politik praktis. Dalam level teori, ditandai hilangnya dogmatisme. Kini, selain ekonom neoklasik dengan kepercayaan butanya kepada pasar bebas yang diyakini mampu mengatur segalanya, tak seorang pun mengaku memegang kebenaran mutlak. Jika dulu semua terpaku dikotomi metropol-periferi, atau masyarakat modern-tradisional, kini dimungkinkan analisis lebih beragam. Kompleksitas (under) development hanya bisa digambarkan secara utuh setelah menelusuri sejarah kolonial sebuah negara, menganalisis dampak pasar global dan pengaruh aneka faktor lokal.

Pluralisme teori

Kini, studi dengan pendekatan pluralisme teori mulai banyak dipraktikkan, menghasilkan asumsi yang lebih mendekati kenyataan atau situasi masyarakat.

Emoh teori dan pluralisme teori mengandung bahaya. Semua yang berbau ideologi ditinggalkan sehingga tanpa sadar, kita tak mempunyai pegangan. Yang dilakukan sekadar mengibarkan bendera kecil di pusaran wind of change seusai Perang Dingin. Padahal, angin yang berembus berasal dari arah neoliberal. Dengan begitu, meski harus diakui ada banyak elemen yang mubazir dan salah dalam teori-teori itu, banyak pula yang berguna selain neoliberal.

Contoh konsep heterogenitas struktural. Dalam era globalisasi, hal ini masih penting dan diperlukan guna memahami fenomena keterbelakangan. Konsep ini bisa menerangkan, mengapa berbagai megapolitan negara berkembang sering lebih terkait pasar dunia ketimbang hinterland-nya. Juga konsep modernisasi yang mendiskusikan landreform sebagai persyaratan pembangunan mempunyai nilai pencerahan tinggi. Yang diperlukan adalah mencocokkan aneka teori dan strategi dengan realitas lapangan, tidak sekadar menjadi penganut buta pencetus teori.

Jawaban atas penyebab vakumnya teori dan utopi berbarengan ambruknya model sosialisme negara bisa digali dalam (teori) sosialisme demokratis, anarkisme utopis, dan renungan Gandhi tentang ekonomi autarki. Bahwa semua itu adalah alternatif terhadap logika neoliberalistik, mestinya menjadi alasan optimistik. Sama dengan konsep ”disosiasi”, yang pernah agak mirip diajukan Soekarno berupa proteksi terhadap ekonomi global, tidak hanya berdampak negatif, tetapi pada sisi lain, hal itu membuka kesempatan bagi pembangunan yang mandiri, terbebas dari ”pemaksaan persyaratan perekonomian global”.

Dituding mengusung paham neoliberal, pasangan SBY-Boediono menampik dengan mengatakan ”ekonomi jalan tengah”. Semoga jalan tengah bukan berarti tiadanya keberpihakan kepada yang lemah mengingat pembangunan pertanian dan pedesaan serta program prorakyat adalah kata kunci dalam 15 janji SBY-Boediono. 

URL Source: http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/30/03134994/orientasi.pembangunan.


IVAN A HADAR Analis Ekonomi-Politik; Co-Pemred Jurnal SosDem

Quo Vadis Putusan MA?

Oleh: Pan Mohamad Faiz 

  
Atmosfer politik Indonesia akhir-akhir ini memanas. Dua gugatan terhadap Keputusan KPU tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Pilpres telah dilayangkan oleh pasangan calon presiden dan calon wakil presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

Mereka menengarai hasil penghitungan KPU tidak sah karena terlalu banyak pelanggaran dan kesalahan selama proses pemilihan presiden, baik secara prosedural maupun substansial. Sementara itu,minggu sebelumnya dunia perpolitikan kita lebih dahulu dikejutkan oleh keluarnya putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 15 P/HUM/2009 bertanggal 18 Juni 2009.

MA memutuskan tidak sah dan tidak berlaku untuk umum Pasal 22 huruf c dan Pasal 23 ayat (1) dan (3) Peraturan KPU No 15/2009 terkait cara penghitungan tahap kedua untuk kursi DPR. Memang dalam putusan tersebut MA tidak mengutak-atik perolehan kursi partai politik yang berhak duduk di Senayan,namun secara tidak langsung dipastikan akan memengaruhi perolehan kursi dari banyak partai politik papan menengah. 

Implikasinya,menurut CETRO, 66 kursi di DPR RI diperkirakan akan beralih partai! (Seputar Indonesia, 28/7) Karena putusan MA tersebut sangat berdampak pada konfigurasi politik nasional untuk lima tahun ke depan, tak ayal sensitivitas politiknya pun sangat tinggi. Akibatnya, ingar-bingar dan kemelut antara pihak yang diuntungkan dan dirugikan atas putusan tersebut kontan menghiasi berbagai media cetak dan elektronik.

Sayangnya, respons yang keluar dalam menanggapi putusan tersebut justru lebih banyak berhulu pada respons politik,bukan berangkat melalui respons hukum. Sejatinya,suatu produk hukum dan pengadilan harus pula ditanggapi dengan kajian yuridis,bukan justru dihadapkan sekadar dengan analisis dan bumbu politis. 

KPU pun kian menjadi sorotan tajam dan berada pada posisi yang dilematis serta terjepit dalam kondisi ini.Di satu sisi KPU wajib menjalankan putusan tersebut, di sisi lain apabila melaksanakan putusan tersebut dapat mengakibatkan guncangnya sendi-sendi sistem politik dan pemilu yang bermuara pada keterpilihan kursi yang telah ditetapkan sebelumnya. 

Titik Lemah Putusan 

Putusan MA memang sudah dibacakan, namun ruang untuk mengkritiknya dalam koridor hukum tetaplah terbuka lebar.Tetap dengan menghormatinya, paling sedikit terdapat empat titik kelemahan krusial dalam putusan tersebut. 

Pertama, permohonan sejenis untuk pengujian materi Pasal 23 ayat (1) Peraturan KPU No 15/2009 sebenarnya pernah diajukan dan diputus pada 2 Juni 2009 dengan amar putusan menolak permohonan untuk pemohon Hasto Kristyanto dan tidak dapat diterima untuk pemohon A Eddy Susetyo (vide Putusan Nomor 12 P/HUM/2009). 

Atas substansi permohonan yang sama dengan komposisi majelis yang sama pula, seyogianya permohonan yang diajukan oleh Zainal Ma’arif (vide Putusan Nomor 15 P/HUM/2009) tidak dapat diuji kembali (nebis in idem) atau setidak-tidaknya menyatakan amar putusan yang serupa, sebab apabila kita perbandingkan dalil dan materi permohonan, sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar dari keduanya. 

Kedua, menafsirkan Pasal 205 ayat (4) UU No 10/2008 dengan cara “Partai politik yang sudah memperoleh kursi pada tahap I karena mencapai BPP harus diikutkan kembali pada penghitungan perolehan kursi pada tahap II tanpa menggunakan sisa suara yang dimilikinya,tetapi secara utuh diperhitungkan semua suaranya,”( vide halaman 8) adalah tafsir yang terlalu dipaksakan. 

Dengan cara penghitungan demikian, maka akan terjadi “double counting” dalam penentuan kursi, yaitu dihitung dua kali di tahap pertama dan juga di tahap kedua, hal mana bertentangan dengan prinsip one person one vote.Tafsir ini pun tidak lagi kompatibel dengan sistem proporsional yang telah diterapkan sejak lama di Indonesia. 

Bila pun ada kelemahan karena dianggap tidak adil dalam mengonversi jumlah suara partai dengan jumlah suara kursi, maka hal ini memang sedari awal telah diakui secara sadar namun disepakati untuk tetap diberlakukan, mengingat tidak ada satu sistem pemilu pun yang hadir tanpa celah dan kelemahan masing-masing (Florian Bieber,2007) Ketiga,amar putusan a quo juga tidak konsisten dan sinkron antara satu dan yang lain. 

Angka kedua amar putusan justru memutuskan bahwa Pasal 22 huruf c dan Pasal 23 ayat (1) dan (3) Peraturan KPU No No 15/2009 “Pembentukannya bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dan lebih tinggi yaitu UU No 10/2008,” (vide halaman 16). Dengan kata lain, diputus dalam ranah uji formal,padahal permohonan berbicara pada ranah pengujian material yang tentu keduanya memiliki konskuensi putusan berbeda. 

Seandainya pun “pembentukannya: yang dianggap bertentangan, maka rujukan seharusnya adalah UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, bukan UU No 10/2008 mengenai Pemilu Legislatif. Keempat, amar yang memerintahkan KPU untuk merevisi dan menunda pelaksanaan Keputusan KPU No 259/Kpts/KPU/2009 merupakan perintah yang kebablasan (overheated).

Memutus permohonan tersebut tidak bisa serta-merta disandingkan dengan putusan yang dikeluarkan oleh MK terkait penerapan Pasal 205, sebab objek dan kewenangan yang sedang dijalankan berada pada ranahnya masing-masing yang berbeda. Lagipula, apabila kita telaah secara cermat, Keputusan KPU Nomor 259/Kpts/KPU/2009 yang diadili oleh MA tanggal 18 Juni 2009 telah dinyatakan batal demi hukum oleh MK sejak 11 Juni 2009, sedangkan putusan MA tersebut diputus kemudian pada 18 Juni 2009. 

Tentu masih banyak lagi aspek yang bisa diperdebatkan atas perkara yang diputus oleh MA tersebut. Misalnya berwenang atau tidaknya MA menguji peraturan KPU yang status dan kedudukannya memperoleh tempat khusus dalam peraturan perundang-undangan, atau terhadap keberlakuan surut-tidaknya suatu putusan judicial review. 

Upaya Hukum 

Tentu kita berharap, apabila terdapat ketidakpuasan atas putusan MA tersebut, para pihak juga dewasa menyikapinya dengan jalur hukum yang tersedia.Apabila diperlukan, kreativitas yudisial (judicial creativity) perlu ditempuh baik oleh KPU maupun para pihak yang merasa dirugikan dalam membuka jalur yang buntu.

Begitu pula dengan para hakim, dengan pertimbangan di atas seharusnya tidak perlu ragu melakukan aktivitas yudisial (judicial activism) seandainya bermaksud untuk meluruskan kembali putusan tersebut berdasarkan keadilan dan hati nuraninya (Kermit Roosevelt 2008). Upaya hukum peninjauan kembalike Mahkamah Agung atau menguji konstitusionalitas dan penafsiran Pasal 205 ayat (4) UU 10/2009 ke Mahkamah Konstitusi, mungkin saja menjadi alternatif jalur solusi hukum yang dapat diambil.

Hanya saja yang perlu dipahami adalah ketika jalur hukum yang tersedia telah habis (exhausted), maka para pihak, suka tidak suka, mau tidak mau,harus tunduk dan patuh serta menghormatipadaapapunputusannya nanti. Akhirnya KPU pun tidak perlu lagi merasa cemas atas putusan tersebut, sepanjang respons dan tindakan yang muncul adalah respons hukum,bukan sebaliknya,respons politik yang sering kali hanya berbicara untuk kepentingan sesaat.(*) 

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/258646/



Pan Mohamad Faiz 
Alumnus Hukum 
University of Delhi,

Jumat, 24 Juli 2009

Gawat, Banyak ABG Jatuh ke Pelukan PSK

MALANG, KOMPAS.com — Satpol PP akan menyisir pelajar yang keluyuran di lokalisasi. Ini peringatan bagi para orangtua agar selalu waspada dengan perilaku anak-anaknya. Data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Malang menyebut, saat ini terjadi kenaikan jumlah penderita HIV dan AIDS berusia 14-18 tahun yang ditengarai karena seringnya mereka mencoba seks bebas di lokalisasi.

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Malang dr Agus W Arifin menuturkan, kenderungan adanya kenaikan ‘konsumsi’ pekerja seks komersial (PSK) oleh pelajar ini terdeteksi dari peningkatan jumlah korban HIV dan AIDS. Meski relatif kecil, fakta menunjukkan demikian.

“Penyebabnya karena anak-anak yang harusnya menghabiskan waktunya untuk belajar itu sudah mulai menjajal seks bebas ke lokalisasi,” kata Agus di sela lokakarya penyusunan restra lima tahun (2009-2014) KPA Kabupaten Malang di Hotel Margosuko, Kamis (23/7).

Menghadapi masalah ini, Dinkes akan membentuk tim terpadu dan memberi kewenangan penuh pada Satpol PP agar menyisir para pelajar yang keluyuran di lokalisasi atau tempat-tempat lain saat jam sekolah. “Kami akan melibatkan satpol, dindik, dan dispora,” paparnya.

Ia berpendapat, pemerintah dan semua pihak terkait sebaiknya menggunakan pendekatan dengan bimbingan, bukan hukuman. Diharapkan, dengan metode ini, bisa memutus rantai atau meminimalisasi jumlah penderita HIV dan AIDS usia remaja. “Kami akan meminta pengelola wisma di lokalisasi serta PSK agar menolak melayani anak-anak sekolah,” katanya.

Agus menandaskan, bagaimana teknis ‘pencekalan’ pelajar masuk lokalisasi itu kini masih dibahas. Dan, sebelum itu diterapkan, sebaiknya sekolah dan orangtua benar-benar ketat mengawasi anaknya yang sembunyi-sembunyi mengunjungi lokalisasi.

Sesuai data KPA Kabupaten Malang, jumlah penderita HIV dan AIDS sejak 1991 hingga Juni 2009 mencapai 370 penderita dan dengan 98 orang di antaranya meninggal. Namun Dinkes meyakini, 370 ini baru data yang terpantau. Mereka memperkirakan masih ada 3.700 penderita yang tak terdeteksi.

Kabag Bina Mental dan Rohani Kabupaten Malang E Hafi Lutfi mengajak tokoh agama dan masyarakat membantu menyadarkan keluarga akan bahaya seks bebas bagi anak. Ia telah berkoordinasi dengan MUI dan Depag guna ikut menyebarkan informasi bahaya pergaulan bebas
Source:www.kompas.com //24 Juli 2009.
Apakah negara Indonesia telas sampai pada puncak konsumerisme??

Perambahan Ilegal Ancam Habitat Gajah Sumatra

BENGKULU--MI: Tindakan perambahan kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) fungsi khusus Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat, tidak hanya melanggar peraturan tetapi mengancam keberadaan satwa dilindungi gajah sumatra (Elephas maximus). 

Demikian ditegaskan Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu Andy Basrul, Kamis (23/7). Pembukaan kawasan tersebut mengancam keberadaan 60 ekor gajah liar saat ini masih hidup bebas di kawasan seluas 6.800 ha tersebut. 

"Perambahan menjadi salah satu dari sekian ancaman lain terhadap keberlanjutan gajah sumatra yang hidup di Bengkulu,"katanya. 

Lebih dari 50 persen kawasan PLG Seblat kata dia sudah dirambah atau tidak berbentuk hutan namun hanya sebagian kecil yang ditanami sawit oleh perambah. Hal itu karena kebun sawit milik perambah sering dirusak oleh gajah dan tanamannya dimakan. 

"Tapi perambah tetap nekat, makanya kami mengkhawatirkan perambahan ini tidak hanya melanggar peraturan tapi gajah-gajah ini juga terancam tersingkirkan,"katanya. 

Untuk melestarikan habitat gajah tersebut, BKSDA menggelar operasi terhadap perambah dengan menebang sawit yang ditanam di kawasan hutan. Selanjutnya kata Andy, BKSDA akan membangun menara pantau di kawasan tersebut untuk melindungi kawasan dari perambahan dan perburuan terhadap gajah dan satwa dilindungi lainnya. 

Koordinator PLG Seblat, Aswin Bangun mengatakan fragmentasi kawasan PLG Seblat membuat keberadaan gajah sumatra semakin terancam. Kondisi tersebut diperparah dengan perambahan yang semakin marak di kawasan HPT Lebong Kandis yang berbatasan dengan PLG Seblat yang merupakan hutan koridor yang menghubungkan PLG Seblat dengan Taman Nasional Kerinci Seblat. 

"Apalagi pembukaan jalan poros sepanjang 6,5 km di dalam PLG untuk angkutan sawit milik PT Alno sangat mengganggu habitat gajah," katanya. 

Jalan poros tersebut juga memperluas akses bagi aktivitas ilegal perburuan gajah sumatra. Aswin mengatakan saat ini terdapat 21 ekor gajah jinak yang dibina BKSDA dan 60 ekor lebih gajah liar

Source :www.mediaindonesia.com//24 Juli 2009.

Selasa, 21 Juli 2009

Membenahi pengelolaan energi primer

Terhadap permasalahan energi yang dalam beberapa tahun terakhir ini terjadi di Tanah Air, perhatian dari sebagian besar kita barangkali cenderung hanya terfokus pada apa yang tampak secara kasat mata. 

Misalnya adanya pemadaman listrik bergilir, terjadinya kelangkaan minyak tanah atau elpiji, dan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) atau tarif listrik. 

Apa yang sesungguhnya menjadi penyebab atau akar masalah dari semua itu? Tak banyak yang memberi perhatian lebih. Kalaupun kemudian mencoba untuk memahami mengapa semua itu terjadi, yang muncul justru kebingungan atau semacam perasaan 'tak habis pikir'. 

Bagaimana mungkin negara dengan sumber energi yang beraneka ragam dan cukup melimpah ini mengalami krisis energi, tak bisa memenuhi kebutuhan energi untuk rakyatnya sendiri? 

Sesungguhnya apa yang kita saksikan dan rasakan bersama seperti halnya kelangkaan energi itu adalah hanya merupakan bagian ujung akhir di dalam tahapan pengelolaan sektor energi nasional yang ada. 

Bagian hilir, yang sesungguhnya sangat terkait erat dengan bagian hulu dan sekaligus merupakan cerminan dari apa yang sebenarnya terjadi di sisi hulunya. 

Dengan kata lain, tampilan sektor energi nasional di sisi hilir yang memprihatinkan sebagaimana yang kita lihat dan rasakan bersama itu tak lain sejatinya adalah perwujudan dari 'sesuatu' yang buruk juga di sisi hulunya. 

'Sesuatu' yang dimaksudkan dalam konteks ini tak lain adalah pengelolaan sumber-sumber energi primer seperti halnya minyak bumi, gas alam, dan batu bara, yang sampai saat ini masih merupakan tiga yang utama di negeri ini. 

Pengelolaan hulu minyak bumi dan gas alam (migas), selama ini diselenggarakan melalui kontrak kerja sama (KKS) atau yang sebelumnya lebih dikenal dengan kontrak bagi hasil (production sharing contract, PSC). 

Di dalam kontrak-kontrak yang ada, hampir seluruhnya memberikan kebebasan bagi para kontraktornya untuk dapat menjual atau mengekspor hasil produksinya ke mana saja, tanpa pemerintah berhak untuk melarang ataupun mencegahnya. 

Sangat kecil 

Ada ketentuan mengenai domestic market obligation (DMO) di dalam kontraknya yang mengatur kewajiban untuk menjual sebagian hasil produksi untuk kebutuhan domestik, tetapi secara kuantitatif jumlahnya sangat kecil, yaitu rata-rata hanya berkisar 15%-25% dari produksi migas yang menjadi bagian dari kontraktor setelah dikurangi cost recovery. 

Jadi, bukan 15%-25% dari keseluruhan hasil produksi sebagaimana yang sering dipahami banyak kalangan selama ini. Kewajiban itu pun, atas nama insentif fiskal untuk menarik investasi, untuk jangka waktu setidaknya 5 tahun dari awal produksi, sebagian besar sudah ditiadakan, atau yang kita kenal dengan istilah DMO holiday. 

Atas nama insentif fiskal juga, untuk mendapatkan migas yang di-DMO-kan itu pun, kita ternyata juga tidak bisa mendapatkannya dengan gratis atau dengan harga lebih murah, karena yang diberlakukan adalah harga pasar. 

Inilah yang sesungguhnya yang menyebabkan mengapa kita sebagai negara pengekspor migas, juga pada saat yang sama harus menjadi pengimpornya. 

Kita secara de facto sesungguhnya tak punya kuasa untuk mencegah ekspor migas dilakukan karena sistem pengelolaan yang kita anut dan terapkan memang memberikan kebebasan bagi para produsennya untuk melakukan itu. 

Dan karena kita lebih sering mengimpornya kembali dengan harga yang lebih mahal, keseluruhan biaya pengadaan BBM dan elpiji di dalam negeri pun menjadi lebih tinggi daripada semestinya. 

Konsekuensinya, pada saat keuangan negara tak lagi cukup untuk menutupi biaya itu, karena harga komoditas tersebut di pasar internasional sedang tinggi misalnya, yang tersisa tinggallah pilihan-pilihan yang pahit bagi rakyat seperti harga BBM atau tarif listrik atau harga elpiji naik, atau listrik mati dan elpiji langka karena pasokan energi primernya tak memadai. 

Hal yang sama juga terjadi pada pengelolaan hulu batu bara. Sebagian besar dilakukan melalui sistem Perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B), di dalamnya hanya mewajibkan kontraktor untuk menyerahkan 13,5% dari hasil produksi batu baranya kepada pemerintah melalui BUMN yang berkontrak. 

Namun, hal itu tidak dalam bentuk barang (inkind) tetapi dalam uang dari hasil penjualan, sehingga secara fisik, keberadaan batu bara tersebut di Tanah Air tidak selalu benar-benar ada manakala ekspor sudah dilakukan oleh para kontraktor batu bara tersebut. 

Inilah yang selama ini terjadi sehingga dari keseluruhan produksi batu bara nasional yang mencapai 183 juta ton pada 2008, untuk mencukupi kebutuhan batu bara PLN yang mencapai 30 juta ton saja kita tak mampu memenuhi tanpa harus mengimpor lagi. 

Ketika harga batu bara di pasar internasional melonjak dan anggaran subsidi listrik PLN terbatas, kemudian yang terjadi adalah PLN tak mampu membeli batu bara tersebut sehingga pembangkit listrik berbahan bakar batu bara tak dapat dioperasikan secara optimal. Akibatnya, sudah sangat sering kita rasakan bersama, pemadaman listrik bergiliran. 

Becermin dari hal itu, maka pembenahan pengelolaan sumber energi primer melalui penerapan aturan DMO yang lebih tegas mutlak segera dilakukan. 

Dalam hal DMO migas, keberanian untuk menerapkannya kembali pada kontrak-kontrak baru dan bilamana perlu mengubah beberapa kontrak lama yang sudah berjalan semestinya menjadi suatu langkah konkret yang segera diimplementasikan. 

Dalam hal DMO batu bara, selain langkah tersebut, penerbitan peraturan pemerintah yang menetapkan besaran DMO yang lebih besar, di atas 30% misalnya, semestinya juga dapat dilakukan dengan segera mengingat urgensinya yang terkait dengan proyek listrik 10.000 megawatt. 

Kedua langkah ini jika diterapkan dengan segera tidak saja akan dapat lebih menjamin terpenuhinya pasokan energi primer bagi domestik secara lebih baik dan lebih murah, tetapi juga pada akhirnya akan menyelesaikan permasalahan hilir sektor energi yang ada secara lebih mendasar. 

Hal itu sesungguhnya tak lain adalah salah satu wujud dari pelaksanaan amanat konstitusi UUD 1945 yang secara jelas memang menyatakan bahwa bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus 'dikuasai oleh negara', dan bukan 'dikuasai oleh kontraktor', terlebih kontraktor asing. 

Semoga pemerintahan yang baru nantinya mampu melaksanakannya. 

URL Source: http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL

Tjatur Sapto Edy
Anggota Komisi VII FPAN DPR

Jumat, 17 Juli 2009

Tribut untuk Mahkamah Konstitusi

Oleh: Satjipto Rahardjo 

  
Merinding juga membaca laporan Kompas (8/7/2009) terkait reaksi Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD saat mendengar pemilu mungkin ditunda bahkan ada calon presiden siap mengundurkan diri.


”Waduh, kalau begini, situasi sudah menjadi gawat,” begitu pikiran Ketua MK sebagaimana dilaporkan Kompas. Maka, sang Ketua, yang saat itu sedang ada di Yogyakarta, segera terbang ke Jakarta. Mahfud segera mengumpulkan para hakim MK untuk mengadakan rapat darurat pada Senin (6/7) dimulai pukul 09.15.

Pertemuan yang berlangsung kurang dari 10 menit itu sepakat untuk membolehkan kartu tanda penduduk (KTP) dipakai untuk mencontreng. Pada hari itu juga MK mengeluarkan putusannya yang monumental tersebut (No 102/PUU-VII/2009).

 Laporan Kompas perlu dikutip agak rinci karena saya ingin menggambarkan bagaimana dramatisnya keadaan saat itu. Adnan Buyung Nasution tidak dapat tidur memikirkan perkembangan yang mendadak itu. ”Kita sungguh merasa malu terhadap bangsa-bangsa lain,” ujarnya.

Selamatkan bangsa

Gerakan MK dapat disebut ”usaha untuk menyelamatkan bangsa”. Saya berharap fakultas- fakultas hukum mengangkat kasus putusan MK itu sebagai topik kajian penting dalam sejarah negeri ini. Alasan-alasannya dipaparkan berikut ini.

Pertama, MK sudah memberi pelajaran yang amat berharga kepada bangsa ini tentang lika-liku penegakan hukum, atau lebih khusus tentang pengambilan putusan oleh pengadilan. Para hakim MK tidak mengikuti prosedur hukum formal atau business as usual. Mereka tergugah nasionalismenya dan mempraktikkan cara berhukum yang progresif.

Kedua, pembelajaran, bahwa hukum tidak berdiri secara otonom penuh, tetapi merupakan bagian integral dengan kehidupan bangsa dan dengan demikian suka-duka bangsanya. Hakim Agung Amerika Serikat, Oliver Wendell Holmes, yang legendaris itu, mengatakan, hukum suatu bangsa embodies the story of a nation’s development through many centuries. Hakim tidak berdiri di luar, tetapi benar-benar menjadi bagian bangsanya, ikut merasakan sekalian suka dan dukanya. Pengadilan itu bukan institut yang steril.

Ketiga, menurut MK, hakim atau pengadilan tidak hanya memutus berdasar teks undang-undang dan hanya menggunakan akal pikiran atau logika hukum, tetapi dengan seluruh kapasitas nuraninya, seperti empati, kejujuran, dan keberanian. Dengan bekal itu, maka sesekali, jika keadaan memaksa, ia akan melakukan rule breaking.

Mengangkat citra

Ketua MK yang melihat keadaan sudah gawat, kemudian berani mengambil putusan untuk menyelamatkan keadaan, sungguh amat pantas untuk diacungi jempol. Sekaligus Mahfud MD sedikit banyak sudah mengangkat kembali citra pengadilan yang selama ini kian merosot. Ia membuktikan secara konkret bahwa pengadilan Indonesia masih memiliki rasa-perasaan (conscience of the Court).

Kita sungguh bersalah manakala menyinggung putusan MK itu hanya disinggung secara sepintas. Mungkin kita perlu mendirikan monumen agar orang selalu mengingat bahwa pada suatu hari dalam sejarahnya, Indonesia pernah memiliki pengadilan yang bekerja dengan penuh kehormatan, turut merasakan penderitaan bangsanya dan menyelamatkan bangsa dari situasi yang gawat. 

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/07/14/03354673/tribut.untuk.mahkamah.


Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Undip, Semarang 
  Keterangan Artikel  


 

Lanjutkan (Membunuh) KPK

Oleh: Saldi Isra 

  
Komisi Pemberantasan Korupsi tengah berjuang menghadapi sakratulmaut. Bukan tidak mungkin, ”malaikat maut” segera mencabut nyawa KPK, lembaga yang ditakuti dan dibenci para koruptor.


Jamak diketahui, meski masih ada banyak catatan, KPK berhasil menyentuh hampir semua episentrum korupsi yang selama ini sulit dijangkau lembaga penegak hukum konvensional. Diakui atau tidak, sepanjang sejarah penegakan hukum di negeri ini, belum pernah ada capaian pemberantasan korupsi sebagaimana terjadi selama terbentuknya KPK.

Dengan sepak terjang KPK, banyak kalangan merasa gerah. Terlebih saat KPK masuk ke wilayah-wilayah yang selama ini mempunyai posisi politik amat kuat, termasuk penangkapan sejumlah anggota DPR yang terlibat kasus korupsi.

Dari catatan yang ada, sebenarnya kegerahan atas langkah KPK bukan hanya muncul belakangan. Resistensi sudah muncul sejak KPK menjamah kasus-kasus besar (skandal) korupsi. Karena resistensi lebih banyak datang dari mereka yang tersangkut kasus korupsi, isu corruptors fight back cukup untuk menghadapinya.

Namun, ketika kegerahan masuk wilayah para pengambil keputusan, eksistensi KPK benar-benar terancam. Misalnya, bagaimana proses seleksi calon pimpinan KPK generasi kedua menyingkirkan sebagian figur yang dikenal memiliki keberanian, integritas, dan kompetensi dalam proses fit and proper test di DPR. Atau dengan cara lain, melalui proses legislasi, hingga kini RUU Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) masih jauh dari selesai.

Upaya membunuh KPK

Terkuaknya dugaan keterlibatan Antasari Azhar dalam pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen memberi dampak luar biasa atas eksistensi KPK. Melihat gejala yang ada, skandal kematian Nasrudin potensial menjadi menjadi titik balik sekaligus menjadi serangan balik terhadap KPK. Sejak skandal itu, upaya membunuh KPK sepertinya berjalan secara sistematis.

Masih segar dalam ingatan kita, betapa bernafsunya sebagian anggota DPR untuk menghentikan semua upaya penegakan hukum yang akan dilakukan KPK. Argumentasi yang digunakan cukup sederhana, dengan nonaktifnya Antasari Azhar, pimpinan KPK tidak lagi memenuhi syarat kolektif sebagaimana diisyaratkan Pasal 21 UU KPK. Bagi mereka, kolektif harus berjumlah lima orang. Jika pimpinan kurang dari lima, KPK tidak dapat lagi menjalankan kewenangan untuk melakukan penyidikan atau penuntutan.

Beruntung, argumentasi itu dibantah sebagian anggota DPR yang lain. Karena itu, ibarat menepuk air di dulang, argumentasi kolektivitas yang digunakan sebagian anggota DPR itu akhirnya memercik ke muka sendiri. Argumentasi kolektif itu lebih banyak datang dari anggota DPR yang selama ini bersuara miring terhadap eksistensi KPK.

Tidak lazim

Belum usai keterperangahan publik menghadapi upaya pembunuhan KPK melalui argumentasi pimpinan kolektif, tiba-tiba BPKP melakukan langkah tidak lazim: berupaya mengaudit KPK. Padahal, sebagai auditor internal pemerintah, BPKP sama sekali tak berwenang mengaudit lembaga independen, termasuk KPK. Ketidaklaziman tindakan BPKP ini terasa kian aneh saat Kepala BPKP Didi Widayadi menyatakan rencana mengaudit KPK dilakukan atas perintah Presiden. Meskipun Yudhoyono membantah pernyataan itu, sulit dipercaya bahwa tindakan BPKP atas inisiatif sendiri.

Dari semua upaya yang ada, tindakan yang dilakukan kepolisian benar-benar masuk ke jantung pertahanan KPK. Pada akhir Juni lalu, Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah diperiksa sebagai saksi dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Hasil pemeriksaan itu belum tentu membuat kasus pembunuhan kian terang. Yang dirasakan publik, pemeriksaan Chandra Hamzah sepertinya sedang bergerak menuju pendulum berbeda.

Dalam hal ini, menarik menyimak pendapat Ketua Pengurus Masyarakat Transparansi Indonesia Hamid Chalid (Kompas, 2/7), polisi seolah bicara kasus Antasari, tetapi jangan-jangan semacam preemtive action. Kecurigaan Hamid bukan tanpa alasan karena polisi amat agresif mempersoalkan kewenangan penyadapan KPK. Yang paling meresahkan dan menakutkan, sedang dibangun upaya sistemik berupa kriminalisasi atas kewenangan penyadapan yang dilakukan KPK.

Lanjutkan KPK

Merujuk tenggat yang terjadi, hampir semua langkah untuk membunuh KPK terjadi dalam masa-masa menuju pemilihan umum presiden 8 Juli. Aneh sekaligus mengherankan, tidak ada calon presiden yang memberi dukungan (terbuka) bagi KPK. Jangankan dukungan, rasa prihatin saja tak keluar dari para calon presiden.

Selain itu, masalah-masalah krusial lain yang berhubungan erat dengan pemberantasan korupsi juga tidak mendapat solusi dan dukungan terbuka. Salah satunya, isu krusial dalam RUU Pengadilan Khusus Tipikor, yaitu komposisi hakim ad hoc. Sepanjang masa kampanye, tidak ada calon presiden yang berani secara nyata menyatakan mempertahankan komposisi hakim ad hoc yang ada saat ini.

Karena itu, secara jujur harus diakui, agenda pemberantasan korupsi yang ditawarkan calon presiden dalam masa kampanye lalu jauh tertinggal jika dibandingkan dengan tahun 2004. Padahal, ancaman korupsi tidak kalah seriusnya dibandingkan dengan lima tahun lalu. Masalahnya, jika dalam suasana menuju pemilihan presiden saja sulit meraih komitmen untuk meneruskan dan meningkatkan agenda pemberantasan korupsi (termasuk dukungan bagi KPK), pasca-8 Juli bisa menjadi semakin sulit.

Yang terasa, saat ini agenda pemberantasan korupsi sedang dalam masa sulit. Meski demikian, kita tidak boleh menyerah pada segala upaya yang bermuara pada melemahnya agenda memberantas korupsi. Karena itu, sebagai pasangan yang mendapat dukungan terbesar pada 8 Juli lalu, Yudhoyono-Boediono punya tanggung jawab besar dan tidak boleh surut dalam memberantas korupsi.

Diyakini, kepercayaan pemilih (terutama bagi Yudhoyono) untuk meneruskan pemerintahan pada periode kedua harus dibaca dan dimaknai sebagai perpanjangan amanat untuk melanjutkan agenda pemberantasan korupsi. Artinya, eksistensi KPK harus dilanjutkan dan jangan lanjutkan (lagi) segala macam upaya yang dapat membunuh KPK. 

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/07/14/03440594/lanjutkan.membunuh.kpk


Saldi Isra Dosen Hukum Tata Negara; Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Minggu, 12 Juli 2009

PM Turki: Cina Lakukan Holocaust di Xinjiang


Perdana Menteri Turki Recep Tayep Erdogan mengecam aksi kekerasan yang terjadi di wilayah Xinjiang yang dilakukan militer China terhadap penduduk wilayah itu yang mayoritas Muslim dan berasal dari etnik Tuskistan Timur atau Uighur. Erdogan bahkan menyebut aksi kekerasan tersebut sebagai pembantaian massal atau Holocaust. "Sebuah peristiwa pembantaian massal tengah terjadi di wilayah Xinjiang di barat laut China yang mayoritas penduduknya adalah Muslim," kata Erdogan.

Dalam sebuah wawancaranya pada Jum'at (10/7) kemarin di kanal televisi Turki NTV, Erdogan juga menyebut tak ada kata-kata lain untuk tindakan represif yang dilakukan keamanan Cina di Uighur kecuali hal tersebut adalah pembantaian etnis secara besar-besaran. Sebagaimana dilansir oleh beberapa media, menyusul demonstrasi yang dilakukan rakyat Uighur pada beberapa hari lalu yang berbuntut kerusuhan tersebut, pemerintahan Cina telah menculik lebih dari 1434 Muslim Uighur. Sementara itu, jumlah korban yang mati dalam peristiwa memilukan itu mencapai 156 jiwa, sementara 800 lainnya luka-luka.

Terkait kasus tersebut, Erdogan juga menyerukan pemerintahan Cina untuk ikut turun tangan menangani kasus tersebut agar tak lagi banyak korban yang menyusul berjatuhan. Turki memiliki sebuah kedekatan yang istimewa dengan etnik Uiguhur. Keduanya disatukan oleh kesamaan rumpun etnik (Turki modern berasal dari ras Turk begitu juga Uighur, mereka adalah ras Turkistan Timur), bahasa, dan kebudayaan.

Wilayah ras, bahasa, dan budaya Turki sendiri saat ini membentang mulai dari Turki (modern) di Asia Minor (Anatolia), Kaukasus, Asia Tengah (meliputi Turkmeneistan, Kazakhstan, Uzbekistan, Tajikistan, Kyrgistan) hingga Uighur di Xinjiang sebagai ujung batas wilayah timur. Maka, rakyat Uighur yang nota benenya adalah ras-bangsa Turki, jelas tidak memiliki keterkaitan apa pun dengan Cina yang mayoritas penduduknya adalah bangsa Han. Cina jelas-jelas menjajah Uighur.

Sebagai bentuk protes atas apa yang dilakukan Cina kepada ras serumpun Turki, menteri teknologi Turki pun memutuskan untuk memboikot semua produk Cina.

Beberapa hari yang lalu, pemerintahan Turki juga mengumumkan pihaknya akan memberikan visa kepada para pemimpin Uighur, khususnya Rabiah Kadir yang saat ini berada di Amerika. (L2/alm)

Kamis, 25 Juni 2009

Independensi dalam Konstitusi KAMMI.

Perdebatan soal independensi sudah lama terjadi di KAMMI. Namun menjadi
panas kembali, ketika kemarin Sdr Rahmantoha (Ketum KAMMI) dan Fikri
Azis (Sekjend KAMMI) periode 2008-2010 dimakzulkan dengan tuduhan
melanggar konstitusi karena tidak independen. Kehadiran Ketum pada
acara Deklarasi Mega-Pro yang sekaligus di daulat untuk memberikan orasi
tentang neo-liberalisme dalam dunia pendidikan di putuskan oleh MPP
sebagai kesalahan fatal dan karena itulah harus di-impeach.

Terlepas dari adanya "invisible hand" yang telah membajak
Rapimnas (yang seharusnya bisa menjadi forum tabayyun) menjadi MLB
Kuningan, dan bermain dalam proses dialektika organisasi KAMMI ini, saya
mengajak teman-teman untuk berdialektika melakukan obyektifikasi
terhadap independensi dalam konstitusi KAMMI.

Kata "Independen" dalam konstitusi KAMMI tersebut dalam Pasal 5
Anggaran Dasar, tentang Sifat Organisasi yakni "Organisasi ini
bersifat terbuka dan independen". Sementara maksud dari kata terbuka
dan independen tidak ada penjelasan lebih lanjut dalam AD. Namun didalam
konstitusi KAMMI yang lain yaitu GBHO, pada Bab III terdapat penjabaran
tentang Posisi KAMMI.

Pada pasal itu disebutkan dalam pasal 9 "Generasi muda adalah
generasi yang bersifat idealis dengan cita-cita terhadap bangsanya.
Generasi muda adalah generasi yang selalu kritis terhadap kondisi yang
stagnan (status quo). Maka KAMMI bekerjasama dengan seluruh elemen
gerakan mahasiswa dan gerakan kepemudaan dalam kesamaan prinsip komitmen
kebangsaan yang tulus, bukan karena kepentingan politik pragmatis".
Pasal selanjutnya tentang KAMMI dan Institusi Pendidikan Tinggi, KAMMI
dan Gerakan Islam, KAMMI dan Elemen Masyarakat, KAMMI dan Partai
Politik, KAMMI dan Pemerintahan.

Pasal yang relevan dengan bahasan independensi adalah pasal
14 tentang KAMMI dan Partai Politik, dijelaskan bahwa: "KAMMI
menyadari potensi politik KAMMI sebagai gerakan mahasiswa. Ekspresi
gerakan KAMMI adalah ekspresi moral yang berdimensi politik, dan
ekspresi politik yang berdasar pada prinsip moral dan intelektual.
Sebagai gerakan politik yang berbasis moral, KAMMI tidaklah berpolitik
pragmatis yang berorientasi kekuasaan baik bagi gerakan maupun kadernya.
Tetapi, konsistensi KAMMI terhadap prinsip tersebut tidak akan
menyebabkan KAMMI berjauhan dan antipati dengan Partai Politik yang
bekerja dalam ranah politik praktis. Dalam bingkai independensinya,
KAMMI akan siap bekerja sama dengan mereka yang menurut KAMMI masih
mengedepankan intelektualitas, nurani, dan kepeduliannya pada rakyat
dalam berpolitik.

Dan pada pasal 15, tentang KAMMI dan Pemerintah: KAMMI
meyakini prinsip kekuasaan sebagai amanah (tanggungjawab) dan khadimah
(pelayanan) teradap masyarakat. Maka kekuasaan yang tidak bertanggung
jawab dan tidak melayani adalah kedzaliman, dan itu adalah musuh KAMMI.
Oleh karena itu, KAMMI akan senantiasa memberikan kontrol dan evaluasi
atas mereka yang padanya Allah limpahkan amanah memerintah bangsa ini.
KAMMI akan mendukung (tha'at) setiap upaya perbaikan dan pembangunan
yang dilakukan bagi masyarakat selama tidak bertentangan dengan nurani
pada umumnya masyarakat, prinsip syari'ah Islam, dan logika
intelektual. Tetapi KAMMI akan siap melawan pemerintahan yang dijalankan
secara dzalim, tidak peka dengan realitas masyarakat, melanggar
prinsip-prinsip Ilahiyyah, dan tidak rasional. Keseluruhannya, akan
KAMMI lakukan semaksimal mungkin tetapi senantiasa dengan menghindari
cara-cara yang tidak bermoral, tidak berwawasan etis, dan membawa
madharat lebih lanjut.

Saya bukanlah mufassir konstitusi yang handal, seperti Sdr
Ramlan. Saya juga bukan mahasiswa hukum, yang mendapat mata kuliah
tentang legal drafting, apalagi sering menyusun naskah akademik. Dengan
keterbatasan itu, ijinkan saya menafsirkan secara kontekstual
pasal-pasal di atas pada konteks sekarang.

Semua mengetahui bahwa potensi politik KAMMI sangatlah
besar. Dapat dikatakan saat ini gerakan mahasiswa yang paling mampu
membuat gerakan yang massif di Indonesia salah satunya adalah KAMMI.
Sehingga sangat wajar jika setiap sikap langkah politik KAMMI akan
sangat diperhitungkan. Dan tentu semua mafhum, dalam politik setiap
sikap politik yang diambil pastilah memiliki implikasi. Dan konsekuensi
atasnya pasti ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan.

Sikap konsisten KAMMI tolak neo-lib sejak tahun 2002 setahu
saya tidak datang dari ruang hampa, atau bahkan by order. Sikap tersebut
diambil dari proses diskusi yang panjang dengan referensi intelektual
yang sangat memadai. Terlebih lagi itu didasari dari Prinsip Gerakan
yaitu "Kebatilan adalah musuh abadi KAMMI".

Sejarah mencatat bahwa KAMMI tidak hanya bergumul dalam
wacana saja dalam menghusung isu tolak neolib. KAMMI telah terlibat
aktif dalam gerakan tolak privatisasi BUMN, tolak utang baru, tolak IMF,
CGI, ADB, tolak kenaikan BBM, dll. Karena itu sudah semestinya bila
sampai hari ini KAMMI tetap istiqomah dengan sikap tersebut. Justru
menjadi lucu dan tidak bisa dipertanggungjawabk an kepada publik bila
tiba-tiba KAMMI berhenti menghusung itu.

Kembali soal independensi, memang sampai hari ini belum ada
ketegasan dan kata sepakat 100% tentang maksud independensi. Itulah yang
menyebabkan multi tafsirnya setiap sikap yang diambil KAMMI Pusat.
Contohnya, ketika sikap kita tolak Boediono yang neolib dan kebetulan
sama dengan PKS, dikritiklah KAMMI gak kreatif, mengekor dan ini agenda
pesanan/ order. Ketika PKS kembali dukung SBY-Boediono, dan KAMMI tetap
istiqomah dicurigailah KAMMI dibeli JK-Win. Ketika deklarasi dan orasi
tentang neo-lib dalam pendidikan di Mega-Pro, beralih lagi tuduhan bahwa
KAMMI dibayar Mega-Pro. Mengundang SBY di Muktamar juga diprotes keras,
Prabowo datang dihujat, wacana menghadirkan Megawati juga dikecam,
mengundang petinggi PKS...ah gak independen.

Karena itulah selalu ada multitafsir dan perspektif tentang
independensi. Bagi Ketum, hadir ke acara Mega-Pro adalah bentuk
komunikasi politik, menghadiri undangan, dan didasari kesamaan visi dan
agenda tolak neo-lib. Dan jelas-jelas dalam orasinya Ketum menegaskan
"ini bukan soal dukung mendukung,.. ..bila ternyata Pak Prabowo
ternyata neolib juga maka KAMMI akan menjadi yang terdepan
menolaknya". Sebagai bentuk komunikasi politik dan kewajiban
menghadiri undangan bila diundang JK-Win atau SBY-Boediono dan ada visi,
kesamaan prinsip komitmen kebangsaan dan agenda yang sama semisal
menghusung ekonomi kerakyatan, maka KAMMI juga akan datang. Karena
sesuai GBHO pasal 14 disana dijelaskan secara gamblang bahwa
"....konsistensi KAMMI terhadap prinsip tersebut tidak akan
menyebabkan KAMMI berjauhan dan antipati dengan Partai Politik yang
bekerja dalam ranah politik praktis. (justru) Dalam bingkai
independensinya, KAMMI akan siap bekerja sama dengan mereka yang menurut
KAMMI masih mengedepankan intelektualitas, nurani, dan kepeduliannya
pada rakyat dalam berpolitik".

Jadi dari pasal tersebut, saya menafsirkan tak ada larangan bagi KAMMI
untuk bermuamalah dengan partai politik manapun selama tidak melanggar
prinsip. Dalam kaidah muamalah, setiap hal yang tidak
dilarang/diharamkan maka hukumnya boleh. Jadi, dalam konteks komunikasi
politik menjadi sangat wajar bila KAMMI berkomunikasi dengan semua
capres dan semua partai. Berkomunikasi untuk sharing visi boleh,
mendorong visi bersama juga boleh. Bahkan menurunkan visi menjadi agenda
bersama juga tak dilarang. Asalkan menurut KAMMI itu masih mengedepankan
intelektualitas, nurani, dan kepeduliannya pada rakyat dalam berpolitik.

Tentu semua masih ingat penjelasan Akh Rijal ketika pada kepengurusan
Akh Taufik Amrullah KAMMI bersilaturahim dengan SBY. Bagi saya itu
biasa-biasa saja, namun bagi banyak kader itu tindakan yang salah.
Untung Akh Rijal segera menafsirkan Q.S Thaha 44 tentang perintah Allah
kepada Musa a.s dan Harun untuk menghadap dan berbicara kepada
Fir'aun. Bahwa kita tidaklah sehebat Musa dan SBY tidaklah sejahat
Fir'aun, karena itu bertemu SBY pun saat itu adalah bentuk
komunikasi politik yang wajar karena mengkomunikasikan gagasan
"muslim negarawan". Untuk itulah, bagi saya kondisi itu analog
dengan kehadiran Akh Amang ke Megapro yang sama-sama sevisi tentang
tolak neoliberalisme dalam pendidikan. Dan pun menjadi sama ketika
nantinya misal Akh Rijal datang dan berorasi tentang ekonomi kerakyatan/
ekonomi syariah pada acaranya JK-Win, ataupun SBY-Boediono.

Sebagai harokah amal am tentu KAMMI punya pertanggung- jawaban publik
sendiri. Sangat disayangkan apabila justifikasi tidak independen itu
baru datang setelah PKS kembali ke SBY, dan KAMMI tetap istiqomah dengan
isu tolak neolib. Saya salut dengan Akh Taufik yang serta merta
mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban moralnya ketika
"tertangkap basah" menjadi deklarator (tidak sekedar tamu
undangan) tim sukses SBY-Boediono. Saya juga salut pabila langkah ini
di ikuti oleh struktur KAMMI yang lain baik MPP maupun Ketua-Ketua
KAMMDA yang menjadi ketua, aleg, dan staff ahli partai tertentu dengan
sepenuh kesadaran. Itu adalah i'tikad baik untuk membangun tradisi
organisasi yang lebih sehat dan independen.

Mohon maaf, tulisan ini sekedar pembuka. Saya sangat berharap ada
antitesis agar dialektika independensi mendapatkan obyektivikasi. Saya
menerima bila dituduh sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kabinet/
kepengurusan PP KAMMI yang sekarang sehingga perspektif yang saya ajukan
mungkin dituduh sangat apologetik. Tapi saya yakin, kader KAMMI
mengamalkan kredo "Kami adalah orang-orang yang berpikir dan
berkendak merdeka. Tidak ada satu orang pun yang bisa memaksa kami
bertindak. Kami hanya bertindak atas dasar pemahaman, bukan taklid,
serta atas dasar keikhlasan, bukan mencari pujian atau kedudukan... Kami
adalah ilmuwan yang tajam analisisnya, dan pemuda yang kritis...dst. 
Karena itulah, saya meyakini kehadiran teman-teman dalam MLB kemarin
adalah pilihan sadar, berdasarkan pemahaman, pikiran merdeka, tidak atas
dasar paksaan dan tekanan siapapun. Teman-teman hadir dengan surat dan
sikap yang sama yaitu impeachment dan MLB, serta memiliki dasar yang
kuat tentang tuduhan independensi.

Tangan saya sudah terpotong sekarang. Saya tidak punya power and
authority. Saya bukan siapa-siapa lagi, hanya anggota biasa. Namun
inilah manifestasi keimanan yang bisa saya ekspresikan. Bagi yang masih
punya tangan, maka kepalkan tanganmu, bagi yang punya lisan, maka
kemukakan, dan bagi yang tidak berani, maka berteriaklah dengan
nuranimu. Katakan yang haq adalah haq, yang batil adalah bathil.

Wallahu a'lam bi al showab
Dikutip dari tulisan akh Supeno

Selasa, 23 Juni 2009

Celaka, Masyarakat Indonesia Ternyata Tidak Tahu Fungsi Hutan

JAYAPURA, KOMPAS.com — Budaya cinta lingkungan seperti menanam pohon dan membersihkan halaman harus ditanamkan kepada anak sejak usia dini agar dalam perkembangannya tidak menjadi hal yang mudah dilupakan. 

Hal itu dikatakan salah seorang staf pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (Stiper) Jayapura, Yunus Paelo, di Jayapura, Senin (22/6), menanggapi banyaknya kasus pembabatan hutan yang terjadi di Papua.

Ia menjelaskan, perkembangan sosial ekonomi yang saat ini terjadi membuat hutan menjadi terbabat habis sehingga untuk melestarikan kembali alam yang rusak itu perlu ditanamkan budaya menanam untuk generasi penerus sejak dini. 
"Hal ini harus menjadi perhatian serius semua pihak, di sini dituntut peran dan bimbingan dari para orangtua dan guru di sekolah untuk memberikan mereka pemahaman tentang pentingnya fungsi hutan bagi kehidupan," katanya. 

Yunus menambahkan, perubahan iklim global yang terjadi saat ini sudah menjadi suatu bukti konkret sebagai akibat dari rusaknya lahan dan hutan, di mana masyarakat hanya menebang pohon tanpa melakukan penanaman yang baru.

"Kalau sejak usia dini sudah berikan pemahaman dan pengetahuan seperti jika menebang pohon maka harus diimbangi dengan penanaman yang baru, ke depan diharapkan akan terwujud penghijuan," ujarnya. 

Pemerintah sudah seringkali memberikan imbauan dan larangan bagi warga, terutama yang bermukim sekitar hutan dan para perambah hutan liar, agar tidak mengeksploitasi hutan secara berlebihan, tetapi yang menjadi alasan adalah masalah ekonomi. 

"Di sinilah masalahnya, di mana belum ada kesadaran masyarakat Indonesia tentang fungsi hutan itu sendiri," paparnya. 

Ia menuturkan, dirinya memandang perlu adanya permasalahan lingkungan yang dimasukkan mata pelajaran, seperti muatan lokal pada semua tingkat pendidikan. 

"Kalau masalah ini tidak secara berkesinambungan dilaksanakan, maka dikhawatirkan hutan kita akan rusak total," tambahnya.