Kamis, 27 Agustus 2009

Tanaka: Indonesia (ITS) Harus Punya Jurusan Earthquake Engineering

Kobe, ITS Online - Pengalaman adalah guru terbaik. Walaupun itu adalah sebuah kata bijak yang dikenal luas di Indonesia, tapi agaknya, Jepang yang lebih banyak mengamalkannya. Salah satunya adalah peristiwa Gempa Kobe yang terjadi pada tanggal 17 Januari 1995 berkekuatan 7,3 Skala Richter. Korban meninggal dari gempa yang berlangsung selama 20 detik mencapai 6.434 orang. Gempa yang dikenal dengan Great Hanshin Earthquake ini adalah bencana yang paling besar sepanjang sejarah modern Jepang.

Prof Yasuo Tanaka memberikan cerita tentang gempa itu kepada tim Go-ITS, Selasa (25/8). Ia masih merasa tidak percaya terhadap bencana ini. “Kejadiannya sekitar pukul enam pagi. Sangat tidak terduga,” ujar guru besar Kobe University (KU) bidang Geoteknik ini.

Ia pun memperlihatkan bagaimana kondisi jalan layang Hanshin Ekspress Way yang tergeletak melintang di jalan utama yang berada di bawahnya. Padahal konstruksi jalan layang itu sudah memenuhi standar gempa saat itu. Kala itu, Kobe hancur lebur dan kerugian material mencapai 100 trilyun dollar. Tapi ia justru mengaku tidak begitu berkonsentrasi tentang berapa kerugian infrastruktur yang ditanggung Jepang. “Kunci utamanya bukanlah pada infrastruktur. Tapi pada sosial, pendidikan dan budaya,” tambah Chief of Research Center for Urban Safety and Security KU ini.

Tanaka pun menunjukkan gambar distribusi gempa bumi di dunia. Di sana ditunjukkan bahwa Indonesia dan Jepang adalah dua negara yang menjadi tempat bertemunya banyak lempengan besar. “Gempa Kobe terjadi akibat pergeseran lempeng Pasifik, Filipina, dan Eurasia,” ujarnya.

Ia pun menanyakan apakah ITS memiliki jurusan yang khusus berkonsentrasi tentang masalah gempa. Sebagian anggota tim Go-ITS menjawab sudah masuk dalam Teknik Sipil. Tapi menurut Tanaka, harus ada jurusan yang khusus berkonsentrasi di bidang itu mengingat Indonesia sangat rawan akan gempa. “Sepertinya ITS harus tambah jurusan baru yaitu Earthquake Engineering,” jelasnya.

Menurutnya, ada beberapa pelajaran yang diambil dari peristiwa ini. Ia membaginya dalam tiga bagian antara lain pelajaran dari sisi keilmuan, sosial, dan pendidikan. “Untuk menangani bencana, kita butuh semua elemen bukan hanya engineer,” ungkapnya.

Sesaat setelah kejadian, Jepang seperti tersentak. Mereka mempelajari mekanisme kerusakan yang ditimbulkan dari Gempa Kobe. Dari pengalaman inilah mereka membangun sebuah sistem yang sudah terkomputerisasi dan terintegrasi. Ketika mereka membangun gedung, mereka akan memiliki data yang lengkap tentang prediksi gerakan tanah di tempat itu. Bahkan bukan hanya pada daerah lokal, semua data di berbagai daerah dapat diakses dengan cepat. Mereka juga membangun pusat simulasi gempa. Dari sanalah data-data valid didapatkan. “Ini kemajuan dari gempa Hanshin, Kami dapat mengetahui jenis gempa apa yang terjadi nanti,” tambahnya.

Pelajaran lain yang bias didapat adalah tentang peraturan konstruksi bangunan di Jepang. Konstruksi bangunan dibedakan menjadi dua, level 1 dan level 2. Konstruksi bangunan level 1 harus tahan terhadap gempa dalam skala normal. Sementara bangunan level 2 harus tahan terhadap gempa dalam skala besar. Level 2 digunakan untuk bangunan tinggi agar tidak menimbulkan korban ketika ada gempa. Atau dalam kejadian lain, bisa jadi bangunan itu runtuh, tapi bongkahannya tidak membahayakan manusia. “Sama ketika kita membangun sekolah,” tutur Tanaka. Bangunan sekolah memang sangat beresiko. Selain bangunannya yang tinggi, disana juga berdiam banyak manusia.

Pelajaran kedua lebih bersifat sosial namun sangat penting. Segera setelah gempa Jepang sadar bahwa selama ini mereka tidak memiliki koordinasi yang baik antara pusat dan daerah. Lalu dikeluarkanlah peraturan tentang solidaritas bantuan keuangan terhadap korban bencana pada tahun 1998, dalam hal ini bantuan material untuk rekonstruksi bangunan. “Hubungan sosial meningkat ketika bencana ini (Gempa Kobe, Red). Bahkan 80 % korban selamat karena mendapat pertolongan segera dari keluarga dan tetangga mereka,” lanjutnya.

Terakhir, Tanaka merasa bahwa orang Jepang sangat membutuhkan pendidikan bencana. Tujuan utamanya untuk mencegah jatuhnya korban tewas. “Kami sudah menyebar panduan dalam bentuk buku atau CD kepada seluruh pelajar sekolah,” tutupnya. (bah/mtb)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar