Kamis, 27 Agustus 2009

Tanaka: Indonesia (ITS) Harus Punya Jurusan Earthquake Engineering

Kobe, ITS Online - Pengalaman adalah guru terbaik. Walaupun itu adalah sebuah kata bijak yang dikenal luas di Indonesia, tapi agaknya, Jepang yang lebih banyak mengamalkannya. Salah satunya adalah peristiwa Gempa Kobe yang terjadi pada tanggal 17 Januari 1995 berkekuatan 7,3 Skala Richter. Korban meninggal dari gempa yang berlangsung selama 20 detik mencapai 6.434 orang. Gempa yang dikenal dengan Great Hanshin Earthquake ini adalah bencana yang paling besar sepanjang sejarah modern Jepang.

Prof Yasuo Tanaka memberikan cerita tentang gempa itu kepada tim Go-ITS, Selasa (25/8). Ia masih merasa tidak percaya terhadap bencana ini. “Kejadiannya sekitar pukul enam pagi. Sangat tidak terduga,” ujar guru besar Kobe University (KU) bidang Geoteknik ini.

Ia pun memperlihatkan bagaimana kondisi jalan layang Hanshin Ekspress Way yang tergeletak melintang di jalan utama yang berada di bawahnya. Padahal konstruksi jalan layang itu sudah memenuhi standar gempa saat itu. Kala itu, Kobe hancur lebur dan kerugian material mencapai 100 trilyun dollar. Tapi ia justru mengaku tidak begitu berkonsentrasi tentang berapa kerugian infrastruktur yang ditanggung Jepang. “Kunci utamanya bukanlah pada infrastruktur. Tapi pada sosial, pendidikan dan budaya,” tambah Chief of Research Center for Urban Safety and Security KU ini.

Tanaka pun menunjukkan gambar distribusi gempa bumi di dunia. Di sana ditunjukkan bahwa Indonesia dan Jepang adalah dua negara yang menjadi tempat bertemunya banyak lempengan besar. “Gempa Kobe terjadi akibat pergeseran lempeng Pasifik, Filipina, dan Eurasia,” ujarnya.

Ia pun menanyakan apakah ITS memiliki jurusan yang khusus berkonsentrasi tentang masalah gempa. Sebagian anggota tim Go-ITS menjawab sudah masuk dalam Teknik Sipil. Tapi menurut Tanaka, harus ada jurusan yang khusus berkonsentrasi di bidang itu mengingat Indonesia sangat rawan akan gempa. “Sepertinya ITS harus tambah jurusan baru yaitu Earthquake Engineering,” jelasnya.

Menurutnya, ada beberapa pelajaran yang diambil dari peristiwa ini. Ia membaginya dalam tiga bagian antara lain pelajaran dari sisi keilmuan, sosial, dan pendidikan. “Untuk menangani bencana, kita butuh semua elemen bukan hanya engineer,” ungkapnya.

Sesaat setelah kejadian, Jepang seperti tersentak. Mereka mempelajari mekanisme kerusakan yang ditimbulkan dari Gempa Kobe. Dari pengalaman inilah mereka membangun sebuah sistem yang sudah terkomputerisasi dan terintegrasi. Ketika mereka membangun gedung, mereka akan memiliki data yang lengkap tentang prediksi gerakan tanah di tempat itu. Bahkan bukan hanya pada daerah lokal, semua data di berbagai daerah dapat diakses dengan cepat. Mereka juga membangun pusat simulasi gempa. Dari sanalah data-data valid didapatkan. “Ini kemajuan dari gempa Hanshin, Kami dapat mengetahui jenis gempa apa yang terjadi nanti,” tambahnya.

Pelajaran lain yang bias didapat adalah tentang peraturan konstruksi bangunan di Jepang. Konstruksi bangunan dibedakan menjadi dua, level 1 dan level 2. Konstruksi bangunan level 1 harus tahan terhadap gempa dalam skala normal. Sementara bangunan level 2 harus tahan terhadap gempa dalam skala besar. Level 2 digunakan untuk bangunan tinggi agar tidak menimbulkan korban ketika ada gempa. Atau dalam kejadian lain, bisa jadi bangunan itu runtuh, tapi bongkahannya tidak membahayakan manusia. “Sama ketika kita membangun sekolah,” tutur Tanaka. Bangunan sekolah memang sangat beresiko. Selain bangunannya yang tinggi, disana juga berdiam banyak manusia.

Pelajaran kedua lebih bersifat sosial namun sangat penting. Segera setelah gempa Jepang sadar bahwa selama ini mereka tidak memiliki koordinasi yang baik antara pusat dan daerah. Lalu dikeluarkanlah peraturan tentang solidaritas bantuan keuangan terhadap korban bencana pada tahun 1998, dalam hal ini bantuan material untuk rekonstruksi bangunan. “Hubungan sosial meningkat ketika bencana ini (Gempa Kobe, Red). Bahkan 80 % korban selamat karena mendapat pertolongan segera dari keluarga dan tetangga mereka,” lanjutnya.

Terakhir, Tanaka merasa bahwa orang Jepang sangat membutuhkan pendidikan bencana. Tujuan utamanya untuk mencegah jatuhnya korban tewas. “Kami sudah menyebar panduan dalam bentuk buku atau CD kepada seluruh pelajar sekolah,” tutupnya. (bah/mtb)

Rabu, 26 Agustus 2009

Mencintai dengan Sempurna

Kotasantri.com Penulis : agus triningsih


Malam menjelang tidur, kembali sebuah SMS dari seorang sahabat membuatku merenung.

"Kita hidup bukanlah mencari seseorang yang sempurna untuk kita cintai, namun kita belajar untuk mencintai orang yang tidak sempurna dengan sempurna."

Kalimat yang begitu sederhana, tapi tidak sesederhana maknanya. Ku eja setiap kata-katanya dengan perlahan, lalu ku coba untuk memahami maknanya. Dan, ada tetes-tetes yang tak terbendung dari tiap sudut mataku. Entah, oleh sebab apa aku harus menangis seketika itu.
Yang pasti, aku merasakan tamparan keras pada hatiku.

Hingga kini, aku tetap menyakini bahwa segala sesuatu terjadi pasti dengan izinNya, dan BUKAN tanpa maksud.

Kali ini Allah mengajariku satu hal melalui seorang teman, lewat SMS-nya tadi. Bukan tanpa sebab Allah menggerakkan jari ukhti-ku itu untuk mengirimkan SMS tersebut. Ia mengirim tanpa ada obrolan apa pun tentang tema itu sebelumnya. Tidak satu jam yang lalu, tidak satu hari yang lalu, tidak satu minggu yang lalu, tidak pula satu tahun yang lalu.

Ketika di tanya mengapa ia mengirimkannya untuk saya, hanya satu kalimat sederhana yang diungkapkan olehnya, ”Ketika saya membacanya dari sebuah web muslim, saya langsung teringat ukhti. Saya kutip dan saya simpan dalam draft SMS. Dan malam ini, saya SMS-kan hanya ke satu nomor tujuan.”

”Just it.”

Percayakah Anda?

Malam itu, sebelum menerima SMS darinya, saya sedang asyik dan serius membuat konsep rumah tangga yang ideal untuk saya di masa depan. Paling tidak, untuk 3 tahun pertama di kehidupan kami ke depan. Saya mencoba membuat planing-planing ke depan. Bagaimana saya, suami saya, keluarga besar kami, konsep pendidikan anak-anak, aktifitas saya berikutnya, dan bla.. bla.. bla.. Ya, saya sedang belajar bermimpi, dan lalu berikhtiar semaksimal mungkin untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu.

Saya merencanakannya sendiri, tanpa calon suami saya. Mengapa? Karena sampai kini ”dia” masih abstrak dan masih menjadi misteri bagi saya. Mungkin bagi Anda, saya melakukan hal yang sia-sia? Atau mungkin lucu? Atau hanya membuang waktu saja? Tapi bagi saya, tidak! Kehidupan sangat penting untuk direncanakan, jauh hari sebelumnya, karena perencanaan adalah bagian dari kesuksesan. Bukankah begitu? Dan malam itu, Allah langsung menegur saya lewat sebuah SMS.

Anda tahu kenapa?

Karena saya mengharapkan kesempurnaan atas segala sesuatunya. Termasuk atas seseorang yang akan saya cintai di kemudian hari. Saat itu, saya membuang jauh "ketidaksempurnaan". Meski saya sadar sepenuhnya, memang kita tidak akan menemukan mahlukNya yang sempurna.

Malam itu juga, Allah mengingatkan saya pada ketiga laki-laki shaleh yang luar biasa. Mereka TIDAK SEMPURNA secara fisik, tapi akhlak, keshalehan, dan perjuangan hidupnya membuat setiap orang berdecak kagum atasnya. Mereka adalah orang-orang yang dekat dengan saya. Teman sekaligus abang bagi saya. Saudara seiman yang sangat layak untuk ditauladani bagi saya dan siapa pun juga.

Bukankah mereka layak untuk mendapatkan istri yang sempurna? Jika kemudian satu dari sekian juta lelaki shaleh datang dan berniat untuk menggenapkan separuh agamanya. Tentu sangat tidak adil jika saya menolaknya hanya karena fisiknya yang TAK sempurna. Tapi menerimanya juga bukan perkara yang mudah. Butuh keberanian, butuh kesabaran, butuh kekuatan hati dan jiwa. Dan hanya wanita-wanita ”hebat ” yang sanggup dan Allah pilih khusus untuknya.

Dan Allah menegur saya untuk mulai belajar memahami, untuk bisa menyiapkan hati manakala kondisi itu dihadapkan pada saya. Saya juga harus berani membuat planing-planing alternatif sesuai kondisional dan kapabilitas mereka.

Saya yakin, setiap kita memahami bahwa Allah menilai kita bukan karena penampilan luarnya, tapi Allah menilai pada hati kita. Sekali lagi, tidak seharusnya fisik menjadi takaran bagi kita. Tapi setiap kita masih harus belajar ikhlas untuk menerima ketidaksempurnaan. Belajar! Ya, belajar.

Teringat salah seorang jama'ah pengajian Aa Gym. Jika tidak salah namanya ”Ato”. Beliau adalah seorang yang cacat fisik. Bahkan ia mengalami kesulitan berkomunikasi. Untuk pergi ke Daarut Tauhiid, beliau harus beberapa kali naik turun angkot dan tetap butuh gendongan orang lain. Tapi itu semua tak menyurutkan motivasinya untuk berburu majelis ilmu. Ikhlas menjalani hidup, begitulah sosoknya. Kini Ato telah mendapatkan bidadari dunianya. Seorang akhwat shalehah dan sempurna, kini selalu mendampinginya dalam suka dan duka, bersama mengarungi samudera kehidupan. Itulah anugerah yang Allah berikan untuknya.

Satu lagi. Pasti kita semua mengenalnya, Ucok Ali Baba. Seorang entertainer yang juga cacat secara fisik, tapi memiliki istri yang sempurna.

Istri Ato dan juga istri Ucok adalah wanita-wanita luar biasa yang mampu mencintai laki-laki yang tidak sempurna dengan cara yang sangat sempurna.

Belajar menerima dan memahami, mungkin hanya itu kata-kata yang terbaik untuk saya dan juga Anda saat ini. Belajar mencintai segala sesuatu yang tak sempurna dengan sempurna.

Tarif Dasar Listrik Bakal Naik

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah memberi lampu hijau kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk menambah margin usahanya di tahun depan. Untuk mewujudkan rencana tersebut, Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyetujui adanya kenaikkan tarif dasar listrik (TDL).

"Kenaikan TDL akan berlanjut hingga tarif PLN mencapai harga keekonomian," ujar Meneg BUMN, Sofyan Djalil sesuai buka puasa di kantor Kementrian Negara BUMN, Selasa (25/08) malam.

Sofyan mengatakan, kenaikan margin usaha itu untuk meningkatkan kemampuan PLN dalam berutang kepada pemerintah. Saat ini, kemampuan PLN untuk berutang kepada pemerintah masih rendah, sehingga harus ada kenaikan margin usaha.

Ia mencontohkan, biaya produksi PLN 100 kemudian dijual ke masyarakat dengan harga 80. Sedangkan pemerintah harus mensubsidi sebesar 20. Artinya PLN tidak mendapatkan keuntungan. Sehingga kemampuan meminjam PLN juga akan berkurang.

Sekretaris Meneg BUMN, Said Didu, mengamini komentar atasannya itu. Menurutnya, margin PLN harus dinaikkan. Namun tidak berarti margin PLN naik lantas keuntungan PLN bertambah. Margin itu hanya supaya PLN bisa berutang untuk menggantikan utang pemerintah yang diberikan kepada PLN.

Sofyan menambahkan, apabila harga dinaikkan maka subsidi terhadap PLN bisa dicabut. Karena selama harga belum dinaikkan, pemerintah harus tetap memberikan subsidi kepada PLN. Pemerintah berencana untuk menaikkan tarif listrik secara pelan-pelan. "TDL tidak pernah naik sejak 2004 lalu padahal biaya produksi naik. Akibatnya biaya produksi PLN naik terus," lanjut Sofyan.

Pemerintah menginginkan dalam rencana jangka panjangnya subsidi listrik hanya dinikmati oleh orang miskin. Kalau sekarang, kebanyakan subsidi listrik dinikmati oleh orang kaya. "Belum tau kapan realisasinya. Ini kan kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah sejak tahun 2004, tarif itu dibekukan dan tidak ada kenaikan karena pemerintah menyadari harga beli masyarakat," jelas Sofyan.

Dengan harga minyak dunia yang melambung tinggi, menurut Sofyan subsidi harus dikurangi karena akan membuat subsidi membengkak. Sofyan menjelaskan untuk membuat listrik 1 KWH menggunakan diesel membutuhkan biaya produksi Rp 3.100. Padahal PLN hanya menjual sebesar Rp 700. Sehingga setiap 1 KWH, pemerintah mensubsidi sebesar Rp 2.400.

Menurut Sofyan dengan kenaikan margin PLN maka akan ada pembiayaan dari pasar untuk pembangunan. PLN bisa mendapatkan pinjaman dari pasar termasuk obligasi. "Sehingga PLN bisa membangun kebutuhan listrik dalam negeri dengan pembiayaan dari pasar," tegas Sofyan.

Sementara itu wakil direktur PLN, Rudiantara menyatakan hingga semester pertama tahun ini konsumsi listrik naik 1 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Kebanyakan terjadi di segmen rumah tangga, jasa, dan bisnis.

Pertumbuhan 1 persen itu tidak mendongkrak kinerja keuangan PLN secara signifikan. "Apalagi tidak ada kebijakan harga yang drastis karena tidak ada kenaikan harga," ujar Rudiantara. (Fitri Nur Arifenie/Kontan)

Selasa, 11 Agustus 2009

Memudarnya Politik Aliran

Selama sekian dekade, peta politik di Indonesia sulit dilepaskan dari diskursus politik aliran. Inti dari politik aliran yang diteoritisasi Clifford Geertz pada 1950-an ini adalah adanya kesamaan ideologis yang ditransformasikan ke dalam pola integrasi sosial yang komprehensif.

Menurut asumsi politik aliran, kelompok abangan yang diidentifikasi sebagai penganut Muslim kurang taat cenderung memilih partai nasionalis. Sedangkan kelompok santri, dipercaya akan menyalurkan suaranya pada partai Islam. Partai Islam sendiri tidak monolitik. Pemilih NU, menurut teori ini, lebih nyaman memilih partai yang dekat dengan NU. Sebaliknya, pendukung Muhammadiyah dan organisasi modernis lain cenderung memilih partai yang berlatar belakang Islam modernis.

Pertanyaannya, apakah politik aliran masih relevan untuk menjelaskan pemilu pasca-Orde Baru?
Jika kita masih percaya politik aliran masih bekerja di tingkat grass root, seharusnya kita 'risau' terhadap fakta penurunan suara partai Islam pada Pemilu 1999, 2004, dan 2009 jika dibandingkan dengan Pemilu 1955. Gabungan partai Islam pada Pemilu 1955 sebesar 43.7 persen, sedangkan total suara partai-partai nasionalis sebanyak 51.7 persen.

Pada Pemilu 1999, total suara partai Islam (PKB, PPP, PAN, PK, PKNU) anjlok menjadi 36.8 persen. Pada Pemilu 2004 lalu, suara partai Islam naik menjadi 38.1 persen. Perlu dicatat, total suara ini masih memasukkan PAN dan PKB. Jika PAN dan PKB dikeluarkan dari partai Islam, suara partai Islam lebih sedikit. Pada Pileg 2009 yang baru lalu, agregat partai Islam anjlok lagi menjadi sekitar 25 persen.

Fakta anjloknya suara partai Islam menunjukkan makin kurang relevannya penjelasan politik aliran untuk melihat perilaku pemilih kita. Padahal, data longitudinal Lembaga Survei Indonesia (LSI) sejak 2003 sekarang, juga survei Mershon Ohio State University dan UI (1999) dan PPIM (2001-2002) menunjukkan meningkatnya ketaatan Muslim Indonesia.

Data kuantitatif ini melengkapi riset antropologis Woodward (1989) dan Pranowo (2001), yang menemukan runtuhnya politik aliran dan munculnya santrinisasi abangan. Poinnya, meningkatnya religiusitas kaum Muslim, termasuk kalangan abangan, tidak lantas diikuti dengan naiknya suara partai Islam. Padahal, kalau kita konsisten mengikuti politik aliran, meningkatnya ketaatan beragama tersebut seharusnya termanifestasi dalam pilihan mereka ke partai Islam.

Political centrism
Apa yang membuat pemilih Muslim yang makin taat itu untuk lebih memilih partai nasionalis, ketimbang partai Islam?
Ada tiga sebab: Pertama, partai-partai nasionalis sukses melakukan paradigm shift dari positioning partai yang awalnya dicap kurang ramah terhadap agenda politik Muslim, menjadi lebih reseptif terhadap aspirasi umat. Misalnya, dukungan Golkar dan Demokrat terhadap RUU Sisdiknas dan Pornografi merupakan 'investasi politik' yang berhasil menarik simpati pemilih Islam.

Secara umum, partai-partai Islam juga makin ke tengah (political centrism), mengambil ceruk pasar pemilih Muslim, tanpa menanggalkan captive market tradisional mereka. Porsi terbesar pemilih memang berdiam di 'tengah' sesuai dengan kurva normal yang biasa dikenal dalam statistik. Selain menyasar isu-isu yang 'Islami', Demokrat dan Golkar juga membentuk organ-organ sayap yang khusus menggarap pemilih Muslim. Bahkan, PDIP pun membentuk Baitul Muslimin Indonesia.

Kedua, pemilih Muslim kita juga makin rasional. Mereka sekarang lebih tertarik dengan isu-isu nonagama, terutama masalah ekonomi, ketimbang isu-isu keagamaan. Sebaliknya, partai Islam dianggap kurang peduli terhadap isu-isu ekonomi dan terlalu sibuk berdebat soal isu-isu simbolis.

Rekomendasi bagi partai Islam jika ingin meningkatkan supremasinya, tidak ada cara lain, kecuali menerapkan kaidah ushuliyah: muhafazhat ‘ala al-qadim al-shalih wa akhdz ‘ala al-jadid al-ashlah. Kaidah itu berarti partai Islam harus melakukan ijtihad politik untuk meraup captive market pemilih baru dengan menjual isu-isu nonagama, tapi tetap memelihara pangsa pasar tradisionalnya. Partai Islam harus lebih piawai memainkan isu-isu agama dan meningkatkan kompetensi dan kapasitasnya agar bisa dipercaya publik menangani problem-problem sosial ekonomi.

Ketiga, terjadinya krisis kepemimpinan umat. Di saat politik elektoral kita makin dipengaruhi tokohisme yang demikian kuat, partai Islam kurang mampu menjual pemimpin-pemimpin yang memiliki magnet yang cukup kuat untuk menarik pemilih. Pemilu 2009 diwarnai dominasi pemimpin nasionalis, seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati, sementara partai Islam gagal menawarkan pemimpin alternatif pasca 'menurunnya' pamor Amien Rais dan Abdurrahman Wahid.

Patronasi politik
Pilpres 2009 juga menunjukkan kurang bertuahnya 'tausiyah politik' pemimpin Islam dari jalur kultural. Dukungan terbuka maupun diam-diam dari elite-elite NU dan Muhammadiyah untuk capres tertentu, terbukti tidak diikuti oleh jamaah kedua ormas itu. Exit Poll LSI pada 8 Juli lalu menunjukkan 64 persen pemilih NU dan 58 persen pemilih Muhammadiyah memilih pasangan SBY-Boediono. Padahal, SBY dan Boediono tidak memiliki Islamic credential, berbeda dengan capres lain yang memiliki garis keturunan NU dan Muhammadiyah sekaligus.

Selain menunjukkan makin memudarnya pengaruh politik aliran, hasil pilpres menurut rekapitulasi KPU tersebut menunjukkan lunturnya patronasi keagamaan. Pemilih NU dan Muhammadiyah makin otonom dalam menentukan pilihan politiknya. Peran elite agama sebagai political broker (perantara politik) makin berkurang.

Dalam masyarakat yang sedang berubah dari masyarakat tradisional ke modern, dengan sendirinya peran dan fungsi ulama mengalami perubahan dari expansion ke contraction. Secara sosio-antropologis, perubahan peran ulama ini biasanya dilihat dari polimorfik ke arah monomorfik, atau dari yang multifungsional ke monofungsional. Ini disebabkan perubahan struktur sosial yang didorong oleh tuntutan spesialisasi dan diferensiasi dalam masyarakat. Atau, meminjam istilah Almond dan Powell: structural differentiation and cultural secularization. Dulu, galib ditemui ulama yang diserahi 'mandat' bukan saja pada masalah keagamaan saja, tapi juga pada bidang politik, pertanian, perdagangan, kesehatan, dan ketertiban masyarakat. Namun, kini peran ulama mengalami pembidangan, untuk tidak menyebut pereduksian. Ulama cenderung diposisikan menangani urusan agama saja.

Pada saat yang sama, umat di bawah langsung dapat mengakses informasi tanpa harus melalui proses seleksi sosial. Dulu, akses umat terhadap sumber informasi terbatas dan diperantarai oleh ulama. Dulu, ulama menjadi pemegang tafsir atas dunia luar. Kini, umat langsung bisa mengakses informasi dari luar dan menafsirkannya sesuai dengan pilihan otonomnya. Inilah konteks sosial yang menjadi sebab melunturnya pengaruh politik aliran dan patron-klien.

URL Source: http://www.republika.co.id/koran/24/67905/Memudarnya_Politik_Aliran

Burhanuddin Muhtadi
(Peneliti Lembaga Survei Indonesia)
Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga negara kembali menjadi topik pembicaraan pascaberedarnya testimoni Ketua nonaktif KPK Antasari Azhar.


Sejumlah pengamat berpendapat KPK sedang mengalami serangan dan pelemahan, terutama karena kedudukannya sebagai superbody atau lembaga super.

Mispersepsi

Banyak yang beranggapan bahwa KPK merupakan lembaga super karena tidak adanya mekanisme check and balances. Padahal, setiap lembaga negara tidak mungkin independen tanpa sistem check and balances.

Bila ditilik dari kelembagaan, KPK sebenarnya bukanlah lembaga super. Kalaupun dimispersepsikan sebagai lembaga super, hal itu lebih karena KPK memiliki kewenangan yang diemban polisi dan kejaksaan sekaligus. Kewenangan satu atap ini adalah kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Kewenangan KPK dalam konteks demikian tidaklah super bila dibandingkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU melebihi KPK karena bertindak sebagai investigator, penuntut, dan pemutus sekaligus.

Bahkan, apabila putusannya diajukan keberatan ke pengadilan negeri dan Mahkamah Agung, KPPU menjadi pihak dalam perkara. Sebagai pihak, KPPU akan leluasa melakukan pembelaan atas putusannya.

Di negeri ini lembaga yudikatif yang lebih rendah tak akan melakukan pembelaan sendiri terhadap putusan yang dibuatnya di hadapan lembaga yudikatif yang lebih tinggi.

Kewenangan demikian, dari kacamata hukum, merupakan super. Namun, kewenangan yang dimiliki KPPU tidak mendapat perhatian masyarakat karena perkara yang ditangani bukan perkara yang langsung bersentuhan dengan masyarakat dan sanksinya bukan sanksi pidana.

Sementara untuk KPK tetap ada mekanisme check and balances. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat meminta pertanggungjawaban KPK atas kegiatannya secara umum. Secara keuangan, KPK akuntabel terhadap Badan Pemeriksa Keuangan. Pengadilan pun dapat menggugurkan dakwaan jaksa penuntut umum KPK meski hingga saat ini belum pernah ada.

Bahkan, pers dan masyarakat dapat melakukan kontrol sosial terhadap KPK.

Para personel dari KPK pun tidak memiliki kekebalan hukum. Mereka yang diduga melakukan kejahatan dapat dilakukan proses hukum. Ketua KPK nonaktif Antasari adalah contoh nyata, selain seorang oknum polisi yang bekerja untuk KPK.

Faktor super

Kalaupun KPK disebut sebagai super, bisa jadi bersumber dari tiga faktor.

Pertama, kewenangan yang terkait dengan proses hukum. Kewenangan ini, antara lain, adalah kewenangannya untuk melakukan ”penjebakan”, melakukan penyadapan, dan tidak dapat mengeluarkan SP3.

Kewenangan demikian mengingatkan masyarakat pada kewenangan yang dimiliki Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan instansi yang terlibat dalam pemberantasan tindak pidana subversi pada masa lampau.

Meski demikian, KPK tentu berbeda dengan Kopkamtib. KPK tetap dapat dikontrol. Bahkan, pengadilan dapat menolak atau tidak mengabulkan apa yang menjadi keinginan KPK.

Kedua, kalaupun KPK dianggap super, hal itu karena personel yang mengisi komisi ini. Harus diakui, personel KPK—baik pimpinan maupun staf—direkrut dengan sistem berbeda dari instansi penegak hukum lainnya.

Polisi dan jaksa yang diperbantukan ke KPK adalah pilihan dan terbaik. Pimpinan KPK pun direkrut dengan sistem yang terbuka dan melalui proses yang panjang.

Perlu dipahami sumber daya manusia yang prima amat penting dalam penegakan hukum. Mereka harus pandai sehingga tidak terombang-ambing dalam menegakkan hukum. Inilah yang patut dicontoh dari KPK untuk kepolisian, kejaksaan, dan kekuasaan kehakiman.

Ketiga, dari segi kesejahteraan juga dapat dikatakan super bila dibandingkan kesejahteraan dari instansi hukum pada umumnya. Tanpa kesejahteraan yang super, sulit dibayangkan KPK dapat melakukan tugasnya memberantas korupsi secara efektif.

Integritas

Dalam penegakan hukum yang tegas, diperlukan manusia yang berintegritas. Integritas akan berkorelasi erat dengan kesejahteraan. Penegakan hukum bisa tumpul karena tidak adanya integritas.

Karena itu, pemberian kesejahteraan yang memadai pada instansi penegak hukum harus menjadi prioritas pemerintah. Sulit diterima logika sehat, aparat penegak hukum yang mendapatkan kesejahteraan minim dari negara bisa memiliki sejumlah kemewahan.

Masyarakat harus memahami bahwa berbagai faktor super yang dimiliki KPK diberikan karena untuk memberantas korupsi diperlukan lembaga yang memiliki kewenangan, personel, dan sistem penggajian yang tidak biasa.

Korupsi telah dianggap sebagai suatu kejahatan luar biasa sehingga penanganannya pun harus luar biasa.

KPK harus tetap eksis selama kebutuhan untuk itu masih ada. Meski demikian, harus diakui kewenangan super memang rentan untuk disalahgunakan dan disalahtafsirkan oleh mereka yang mengembannya. Di sinilah semua personel KPK harus betul- betul dapat memaknai tugasnya.

Kamis, 06 Agustus 2009

Hukum Nisfu Sya'ban

Nisfu Sya’ban berarti pertengahan bulan sya’ban. Adapun didalam sejarah kaum muslimin ada yang berpendapat bahwa pada saat itu terjadi pemindahan kiblat kaum muslimin dari baitul maqdis kearah masjidil haram, seperti yang diungkapkan Al Qurthubi didalam menafsirkan firman Allah swt :

سَيَقُولُ السُّفَهَاء مِنَ النَّاسِ مَا وَلاَّهُمْ عَن قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُواْ عَلَيْهَا قُل لِّلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَن يَشَاء إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ


Artinya : “Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka Telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus". (QS. Al Baqoroh : 142)

Al Qurthubi mengatakan bahwa telah terjadi perbedaan waktu tentang pemindahan kiblat setelah kedatangannya saw ke Madinah. Ada yang mengatakan bahwa pemindahan itu terjadi setelah 16 atau 17 bulan, sebagaimana disebutkan didalam (shahih) Bukhori. Sedangkan Daruquthni meriwayatkan dari al Barro yang mengatakan,”Kami melaksanakan shalat bersama Rasulullah saw setelah kedatangannya ke Madinah selama 16 bulan menghadap Baitul Maqdis, lalu Allah swt mengetahui keinginan nabi-Nya, maka turunlah firman-Nya,”Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit.”. Didalam riwayat ini disebutkan 16 bulan, tanpa ada keraguan tentangnya.

Imam Malik meriwayatkan dari Yahya bin Said dari Said bin al Musayyib bahwa pemindahan itu terjadi dua bulan sebelum peperangan badar. Ibrahim bin Ishaq mengatakan bahwa itu terjadi di bulan Rajab tahun ke-2 H.

Abu Hatim al Bistiy mengatakan bahwa kaum muslimin melaksanakan shalat menghadap Baitul Maqdis selama 17 bulan 3 hari. Kedatangan Rasul saw ke Madinah adalah pada hari senin, di malam ke 12 dari bulan Rabi’ul Awal. Lalu Allah swt memerintahkannya untuk menghadap ke arah ka’bah pada hari selasa di pertengahan bulan sya’ban. (Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an jilid I hal 554)

Kemudian apakah Nabi saw melakukan ibadah-ibadah tertentu didalam malam nisfu sya’ban ? terdapat riwayat bahwa Rasulullah saw banyak melakukan puasa didalam bulan sya’ban, seperti yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim dari Aisyah berkata,”Tidaklah aku melihat Rasulullah saw menyempurnakan puasa satu bulan kecuali bulan Ramadhan. Dan aku menyaksikan bulan yang paling banyak beliau saw berpuasa (selain ramadhan, pen) adalah sya’ban. Beliau saw berpuasa (selama) bulan sya’ban kecuali hanya sedikit (hari saja yang beliau tidak berpuasa, pen).”

Adapun shalat malam maka sessungguhnya Rasulullah saw banyak melakukannya pada setiap bulan. Shalat malamnya pada pertengahan bulan sama dengan shalat malamnya pada malam-malam lainnya. Hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah didalam Sunannya dengan sanad yang lemah,”Apabila malam nisfu sya’ban maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya.

Sesungguhnya Allah swt turun hingga langit dunia pada saat tenggelam matahari dan mengatakan,”Ketahuilah wahai orang yang memohon ampunan maka Aku telah mengampuninya. Ketahuilah wahai orang yang meminta rezeki Aku berikan rezeki, ketahuilah wahai orang yang sedang terkena musibah maka Aku selamatkan, ketahuilah ini ketahuilah itu hingga terbit fajar.”

Syeikh ‘Athiyah Saqar mengatakan,”Walaupun hadits-hadits itu lemah namun bisa dipakai dalam hal keutamaan amal.” Itu semua dilakukan dengan sendiri-sendiri dan tidak dilakukan secara berjama’ah (bersama-sama).

Al Qasthalani menyebutkan didalam kitabnya “al Mawahib Liddiniyah” juz II hal 259 bahwa para tabi’in dari ahli Syam, seperti Khalid bin Ma’dan dan Makhul bersungguh-sungguh dengan ibadah pada malam nisfu sya’ban. Manusia kemudian mengikuti mereka dalam mengagungkan malam itu. Disebutkan pula bahwa yang sampai kepada mereka adalah berita-berita israiliyat. Tatkala hal ini tersebar maka terjadilah perselisihan di masyarakat dan diantara mereka ada yang menerimanya.

Ada juga para ulama yang mengingkari, yaitu para ulama dari Hijaz, seperti Atho’, Ibnu Abi Malikah serta para fuqoha Ahli Madinah sebagaimana dinukil dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, ini adalah pendapat para ulama Maliki dan yang lainnya, mereka mengatakan bahwa hal itu adalah bid’ah.

Kemudian al Qasthalani mengatakan bahwa para ulama Syam telah berselisih tentang menghidupkan malam itu kedalam dua pendapat. Pertama : Dianjurkan untuk menghidupkan malam itu dengan berjama’ah di masjid. Khalid bin Ma’dan, Luqman bin ‘Amir dan yang lainnya mengenakan pakaian terbaiknya, menggunakan wangi-wangian dan menghidupkan malamnya di masjid. Hal ini disetujui oleh Ishaq bin Rohawaih. Dia mengatakan bahwa menghidupkan malam itu di masjid dengan cara berjama’ah tidaklah bid’ah, dinukil dari Harab al Karmaniy didalam kitab Masa’ilnya. Kedua : Dimakruhkan berkumpul di masjid untuk melaksanakan shalat, berdoa akan tetapi tidak dimakruhkan apabila seseorang melaksanakan shalat sendirian, ini adalah pendapat al Auza’i seorang imam dan orang faqih dari Ahli Syam.

Tidak diketahui pendapat Imam Ahmad tentang malam nisfu sya’ban ini, terdapat dua riwayat darinya tentang anjuran melakukan shalat pada malam itu. Dua riwayat itu adalah tentang melakukan shalat di dua malam hari raya. Satu riwayat tidak menganjurkan untuk melakukannya dengan berjama’ah. Hal itu dikarenakan tidaklah berasal dari Nabi saw maupun para sahabatnya. Dan satu riwayat yang menganjurkannya berdasarkan perbuatan Abdurrahman bin Zaid al Aswad dan dia dari kalangan tabi’in.

Demikian pula didalam melakukan shalat dimalam nisfu sya’ban tidaklah sedikit pun berasal dari Nabi saw maupun para sahabatnya. Perbuatan ini berasal dari sekelompok tabi’in khususnya para fuqaha Ahli Syam. (Fatawa al Azhar juz X hal 31)

Sementara itu al Hafizh ibnu Rajab mengatakan bahwa perkataan ini adalah aneh dan lemah karena segala sesuatu yang tidak berasal dari dalil-dalil syar’i yang menyatakan bahwa hal itu disyariatkan maka tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk menceritakannya didalam agama Allah baik dilakukan sendirian maupun berjama’ah, sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan berdasarkan keumuman sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang mengamalkan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak.” Juga dalil-dalil lain yang menunjukkan pelarangan bid’ah dan meminta agar waspada terhadapnya.

Didalam kitab “al Mausu’ah al Fiqhiyah” juz II hal 254 disebutkan bahwa jumhur ulama memakruhkan berkumpul untuk menghidupkan malam nisfu sya’ban, ini adalah pendapat para ulama Hanafi dan Maliki. Dan mereka menegaskan bahwa berkumpul untuk itu adalah sautu perbuatan bid’ah menurut para imam yang melarangnya, yaitu ‘Atho bin Abi Robah dan Ibnu Malikah.

Sementara itu al Auza’i berpendapat berkumpul di masjid-masjid untuk melaksanakan shalat (menghidupkan malam nisfu sya’ban, pen) adalah makruh karena menghidupkan malam itu tidaklah berasal dari Rasul saw dan tidak juga dilakukan oleh seorang pun dari sahabatnya.

Sementara itu Khalid bin Ma’dan dan Luqman bin ‘Amir serta Ishaq bin Rohawaih menganjurkan untuk menghidupkan malam itu dengan berjama’ah.”

Dengan demikian diperbolehkan bagi seorang muslim untuk menghidupkan malam nisfu sya’ban dengan berbagai bentuk ibadah seperti shalat, berdzikir maupun berdoa kepada Allah swt yang dilakukan secara sendiri-sendiri. Adapun apabila hal itu dilakukan dengan brjama’ah maka telah terjadi perselisihan dikalangan para ulama seperti penjelasan diatas.

Hendaklah ketika seseorang menghidupkan malam nisfu sya’ban dengan ibadah-ibadah diatas tetap semata-mata karena Allah dan tidak melakukannya dengan cara-cara yang tidak diperintahkan oleh Rasul-Nya saw. Janganlah seseorang melakukan shalat dimalam itu dengan niat panjang umur, bertambah rezeki dan yang lainnya karena hal ini tidak ada dasarnya akan tetapi niatkanlah semata-mata karena Allah dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Begitu pula dengan dzikir-dzikir dan doa-doa yang dipanjatkan hendaklah tidak bertentangan dengan dalil-dalil shahih didalam aqidah dan hukum.

Dan hendaklah setiap muslim menyikapi permasalahan ini dengan bijak tanpa harus menentang atau bahkan menyalahkan pendapat yang lainnya karena bagaimanapun permasalahan ini masih diperselisihkan oleh para ulama meskipun hanya dilakukan oleh para tabi’in.

Wallahu A’lam