Rabu, 28 Januari 2009

PENURUNAN HARGA BBM DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT*

*. Anggry Solihin (Menteri Kebijakan Publik BEM UB)

Ada hal menarik yang diungkapkan oleh seorang ekonom Inggris pada tahun 1973 dalam bukunya Small is beautiful bahwa tantangan paling besar yang akan dihadapi Negara-negara baru merdeka adalah migrasi massal ke kota dan pengangguran massal. Selain itu salah satu perkembangan yang tak sehat dan mengacau di hampir semua Negara berkembang adalah timbulnya”ekonomi rangkap” dalam bentuk yang makin menonjol. Di mana terdapat dua pola hidup yang dibatasi jurang pemisah yang lebar, seakan-akan dua dunia berlainan. Soalnya bukan pada ada orang kaya dan orang miskin dan keduanya masih disatukan dalam cara hidup yang sama tetapi bahwa ada dua cara hidup berbeda yang berdampingan sedemikian rupa sehingga orang yang tergolong rendah dalam cara hidup (santai) memeroleh penghasilan harian yag berlipat ganda besar daripada penghasilan yang diperoleh oleh rang yang paling keras bekerja. Ungkapan dari E.L Schumacher ini dapat kita lihat secara kasat mata di Negara Indonesia.
Reformasi yang telah bergulir selama 10 tahun dan juga pemerintahan Negara yang terpilih secara demokratis hingga saat ini masih belum memberikan suatu perubahan yang signifikan baik dari sisi kesejahteraan masyarakat, pendidikan dan juga perubahan sikap dan mental warga Negara yang masih tradisional. Dan sangat menarik apabila sebagai warga Negara kita dapat mencermati berbagai perubahan yang terjadi di Negara kita.

Permasalahan BBM dalam negeri
Melonjaknya harga minyak dunia akan berdampak pada anggaran pemerintah. Kenaikan harga minyak US$ 1 akan meningkatkan pendapatan Negara antara Rp 3,76 T – Rp. 4 T. Secara nasional Indonesia mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga minyak dunia namun disisi anggaran Pemerintah Pusat akan menimbulkan defisit akibat meningkatnya subsidi terhadap BBM (Freedom Institute, 2004). Hal ini diakibatkan karena konsumsi BBM dalam negeri sudah melampui produksi BBM dalam negeri sehingga Indonesia saat ini tidak lagi dikategorikan Negara pengekspor minyak lagi melainkan Negara net importer minyak. Dibawah ini adalah data perbandingan antara konsumsi dan produksi BBM Indonesia

















Selain itu permasalahan lain dalam konsumsi BBM dalam negeri adalah subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh orang kaya daripada dan mendorong penyelundupan. Studi LPEM UI tahun 2003 mengungkap untuk bensin orang non miskin mengkonsumsi 8,2 kali lebih banyak dari dibandingkan kelompok miskin dan untuk solar mengkonsumsi 99,4 kali lebih banyak. Namun untuk misnyak tanah, kelompok miskin mengkonsumsi 1,5 kali lebih banyak. Karena itu sejauh ini subsidi minyak tanah harus dipertahankan karena menyangkut hajat hidup kelompok miskin. Tetapi sangat naïf apabila mengatakan bahwa menaikkan harga BBM tidak berdampak pada penduduk miskin. Menurut studi LPEM UI menggunakan data SUSENAS 2003 menunjukkan kenaikan harga BBM dengan TDL sebesar 30 % akan meningkatkan penduduk miskin 1,1 % atau 2,3 juta sedangkan apabila kenaikan sebesar 50 % akan meningkatkan penduduk miskin menjadi 1,7 % atau 3,5 juta..
Tren Kenaikan Harga BBM di Indonesia.

Mengapa dikatakan trend, karena dari 6 orang Presiden RI, dalam pemerintahan 5 orang presiden selalu terjadi kenaikan harga BBM. Ringkasnya Pemerintahan Soeharto 2 kali menaikkan harga BBM, Habibie 1 kali, Megawati 4 kali dan terakhir SBY sampai dengan Juni 2008 3 kali.



















Memang dalam jangka panjang, kebijakan pengurangan subsidi BBM akan menyehatkan anggaran pemerintah, mendorong perilaku ekonomi yang produktif serta mengalokasikan sumber daya yang terbatas untuk sector yang lebih membutuhkan dan tepat guna seperti pos anggaran pendidikan, kesehatan dan pertanian. Namun itu semua hanya akan sia-sia apabila tidak diikuti dengan upaya-upaya lain oleh pemerintah untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan masyarakat. Dari sudut pandang mahasiswa, saya menilai SBY telah gagal dalam menyelesaikan persolaan BBM ditanah air.
Mengapa ?. Simak saja wacana pemerintah SBY-JK yang akan melaksanakan berbagai macam upaya dalam menghindari kenaikan harga BBM seperti peningkatan produksi minyak, penghematan energi, serta pengalihan penggunaan energi ke jenis energi alternatif yang lebih murah. Selain itu, pemerintah akan membangun puluhan pembangkit tenaga listrik berbahan bakar batu bara dan menggunakan energi alamiah, seperti angin dan ombak Namun apa yang terjadi saat ini?? Penghematan energi kembali menjadi sebuah imbauan kosong. Produksi minyak bukannya naik, malahan turun menjadi hanya 927.000 barrel per hari. Konversi ke batu bara gagal total. Konversi ke gas tidak berjalan mulus. Pembangunan pembangkit listrik tersendat oleh perebutan kue. Program energi alternatif seperti biofuel, angin, dan ombak ternyata hilang bersama angin.
Kalau seandainya langkah-langkah yang dijanjikan tersebut betul-betul terlaksana, hari ini kita tak usah lagi berdebat mengenai perlu tidaknya harga BBM dinaikkan. Penghematan dan konversi akan memastikan bahwa konsumsi BBM turun, yang pada gilirannya menurunkan volume BBM yang harus disubsidi. Biaya produksi listrik juga menjadi bisa lebih hemat sehingga nilai subsidinya menjadi berkurang (Sugema, 2008). Seharusnya tiga tahun adalah waktu yang cukup untuk melakukan itu semua. Namun, apa lacur, ternyata republik ini tak lebih dari republik wacana. Rencana bagus, tetapi tak pernah dilaksanakan.

Pengaruhnya Kenaikan Harga BBM Terhadap Kesejahteraan Masyarakat
Menurut hasil perhitungan LPEM-FEUI, pengurangan subsidi BBM dengan diiringi program kompensasi tertentu justru akan mengurangi jumlah kaum miskin. Menurut LPEM-FEUI, dampak kenaikan BBM dari jumlah penduduk miskin Indonesia kondisi awal adalah sejumlah 16,25%, dengan kenaikan BBM kurang lebih 29%, jumlah penduduk miskin Indonesia menjadi 16,43%. Dan sesudah kompensasi jumlah penduduk miskin menurut LPEM-FEUI akan turun menjadi 13,87%. Namun ternyata berdasarkan Berita Resmi Statistik No.47/IX/1 September 2006 mengenai Tingkat Kemiskinan di Indonesia Tahun 2005-2006, sangat berbeda dengan hasil perhitungan LPEM-FEUI sebelum kenaikan harga BBM pada tahun 2005 tersebut.
Jumlah penduduk miskin pada Februari 2005 berjumlah 35,10 juta atau sekitar 15,97% dan pada Maret 2006 meningkat menjadi 39,05 juta atau 17,75%. Sangat meleset dari perhitungan LPEM-FEUI yang mengatakan dengan diiringi kompensasi, kenaikan BBM akan menjadikan penurunan jumlah penduduk miskin hingga hanya 13,87%. Dalam Berita Resmi Statistik tersebut juga disebutkan bahwa peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan, seperti perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada bulan Maret 2006, sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan adalah sebesar 74,99%.
Padahal perlu diingat bahwa kenaikan harga BBM tentu akan memicu kenaikan harga bahan pokok, termasuk makanan. Dikatakan dalam Berita Resmi tersebut bahwa komoditi makanan yang banyak berpengaruh pada kemiskinan penduduk, sedangkan yang berpengaruh pada komoditi makanan adalah harga BBM. Ditambah lagi poin yang mencantumkan bahwa ada pengaruh cukup besar terhadap kemisikinan yang berasal dari biaya listrik, angkutan dan minyak tanah. Perlu diingat juga bahwa ketiga hal tersebut pun dipengaruhi langsung oleh kenaikan harga BBM. Dengan begitu, maka jika mengacu pada evaluasi sosial ekonomi penduduk Indonesia pada tahun 2005-2006 tersebut, dimana angka kemiskinan justru meningkat. Seharusnya komoditi yang dianggap berpengaruh besar terhadap peningkatan angka kemiskinan tersebut justru sekor energi minyak dan gas bumi. Dalam kasus ini adanya pengurangan subsidi BBM yang menyebabkan kenaikan harga BBM itu sendiri.
Dan sebagai kompensasi atas naiknya harga BBM tersebut, kembali dikeluarkan BLT (Bantuan Langsung Tunai). Namun ternyata malah mengulang kegagalan program pada tahun 2005. BLT yang dimaksudkan untuk bisa mengurangi angka kemiskinan Indonesia, justru kembali menambah angka kemiskinan ini. Seperti yang dinyatakan Tim Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Tim P2E-LIPI), diperkirakan warga miskin tahun 2008 ini akan bertambah menjadi 41,7 juta orang atau sekitar 21,92%. “Dengan kata lain tambahan penduduk miskin tahun ini naik 4,5 juta dibandingkan posisi 2007,” kata Peneliti Senior P2E-LIPI Wijaya Adi pada keterangan pers dampak sosial kenaikan harga BBM di Kantor Pusat LIPI, akhir Mei 2008.
Kondisi penduduk miskin tahun 2007 mencapai 37,2 juta atau sekitar 16,58%, dengan garis kemiskinan Rp 166.697 per orang per bulan. Dengan adanya kenaikan harga BBM, hingga bulan Desember 2008 diperkirakan kebutuhan hidup layak tiap Individu adalah sebesar Rp 195 ribu per orang per bulan. Penetapan garis kemiskinan ini pun diambil pad atitik yang terendah supaya statistik penduduk miskin tidak terlalu melonjak. Tentu saja dapat dilihat bahwa BLT sama sekali bukan sebuah solusi dari kenaikan harga BBM. Disamping sifatnya hanya sementara, pendistribusiannya pun kurang efektif. Ada petugas pembagian BLT yang malah saling debat dan berkelahi, ada rakyat yang tidak menerima BLT, dan kekurangjelasan informasi mengenai pihak yang berhak menerima Bantuan tersebut. Tampaknya BLT yang dimaksudkan untuk meringankan beban masyarakat ini malah menimbulkan berbagai masalah lain di Indonesia.
Saatnya Mengungkap Mafia Perminyakan (BBM) Indonesia
Dengan adanya peraturan dalam bentuk UU No.22 tahun 2001, yang meliberalisasi sektor migas bangsa, maka mulai banyak pihak asing berdatangan untuk melakukan kontrak-kontrak kerja sama. Dan bahkan sampai saat ini justru malah pihak asing tersebut yang mendominasi pada sektor migas Indonesia.
Di Indonesia, kurang lebih ada 60 kontraktor migas yang terkatagori ke dalam tiga kelompok,
1.Super Major
Terdiri dari ExxonMobile, Total Fine Elf, BP Amoco Arco, dan Texaco. Kelompok ini menguasai 70% cadangan minyak dan gas 80% cadangan gas Indonesia.
2.Major
Terdiri dari Conoco, Repsol, Unocoal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, dan Japex, yang telah menguasai sekitar 18% cadangan minyak dan 15% cadangan gas Indonesia.
3.Perusahaan Independen
Perusahaan-perusahaan Independen menguasai sekitar 12% cadangan minyak dan 5% cadangan gas Indonesia.
Maka dapat dilihat bahwa minyak dan gas bumi Indonesia telah dikuasai asing sampai 90%nya. Padahal mayoritas mereka adalah perusahaan-perusahaan multi nasioanal asing yang berwatak kapitaslis. Wajar jika Indonesia yang kaya akan minyak dan gas bumi terpaksa kewalahan saat adanya kenaikan harga minyak dan gas bumi dunia. (Sumber, Dr. Kurtubi The impact of oil industry liberalization on the efficiency of petroleum fuels supply for the domestic market in Indonesia,").
Sedangkan mengenai Cost Recovery, yaitu beban yang harus dibayarkan pemerintah untuk mengganti biaya yang sudah dikeluarkan oleh perusahaan migas dalam kegiatan eksplorasi dan produksi. Sehingga, jika cost recovery diperketat dan tidak membengkak, maka penerimaan negara dari sektor migas bisa lebih optimal. Namun kenyataannya ada kenaikan cost recovery seperti pada data berikut,

Data BP Migas 2007, termasuk cost recovery pertamina yang belum dikoreksi
Masalah cost recovery seharusnya diselesaikan antara kontraktor (yang mengusulkan) dan BP Migas (yang mengevalusi usulan). Untuk memperbaiki kualitas evaluasi diperlukan perbaikan kualitas personel kontraktor dan BP Migas baik dari profesionalitas maupun moral dan didukung dengan peraturan serta sistem komunikasi dan informasi yang baik pula. Banyak yang menanyakan kenapa cost recovery naik sedangkan produksi minyak turun. Perlu dicatat bahwa produksi gas kita naik dan harga minyak naik. Penaikan cost recovery ini disebabkan adanya ketidakjelasan item-item yang termasuk harus dibayarkan melalui cost recovery. Maka langkah terbaru yang dilakukan pemerintah adalah melalui Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral yang memiliki perangkat awal untuk memperketat cost recovery dituangkan danlam Peraturan Mentri ESDM No. 21 tahun 2008. Isinya, 17 item biaya atau negative list yang terlarang masuk cost recovery. Daftar inilah yang kemungkinan bakal ditambah, seperti yang dikatakan oleh Dirjen Migas Departemen ESDM, Evita H. Legowo pada 23 September lalu.
17 item yang tidak lagi termasuk cost recovery antara lain:
1.Personal Income Tax serta Rugi penjualan rumah dan mobil pribadi
2.Pemberian Long Term Incentive Plan
3.Penggunanaan ekspatriat tanpa RPTKA dan IKTA
4.Biaya konsultan hukum yang tidak terkait
5.Tax Consultant Fee
6.Biaya pemasaran migas bagi KKKS yang timbul karena kesalahan yang disengaja
7.Biaya Public Relation tanpa daftar terima penerima manfaat
8.Biaya Community Development
9.Dana Site Restoration
10.Technical training untuk expatriat
11.Biaya merger atau akuisisi
12.Biaya bunga atas pinjaman
13.PHH pihak ketiga
14.Pengadaan barang dan jasa lebih besar dari AFE (perhitungan ulangan BP Migas)
15.Surplus material yang berlebihan
16.Aset yang sudah PIS tapi tidak berfungsi
17.Transaksi dengan affiliates pasties yang merugikan negara

Rekomendasi
Akar segala permasalahan mengenai migas ini salah satunya adalah dari peraturan yang mengatur keseluruhan mengenai sektor migas, yaitu UU No. 22 tahun 2001. Selain itu perlu diingat bahwa dalam pembuatannya, UU tersebut ”dibantu” oleh pihak asing, dalam hal ini Amerika. Jadi perlu ditegaskan bahwa setiap negara mana pun berkedaulatan untuk menyusun undang-undangnya sendiri, dan Pemerintahan Indonesia seharusnya bisa tegas dalam hal ini. Dengan diperbaruinya UU Migas, tentunya segala kontrak-kontrak kerja yang selama ini dianggap merugikan negara akan berubah. Karena sudah cukup jauh Indonesia menyerahkan kekuasaan atas kekayaan alamnya sendiri kepada pihak asing, maka sudah saatnya mengambil kembali segala kekuasaan itu dan mengembalikan kedaulatan bangsa di bidang energi.
Seperti juga yang telah dilakukan Venezuela, yaitu menasionalisasikan sektor migas. DiVenezuela, nasionalisasi ini terbilang berhasil. Di bawah kepemimpinan Hugo Chavez, Venezuela telah mengambil kembali sebagian besar aset-aset bangsanya di bidang migas dari tangan perusahaan-perusahaan multinasional. Indonesia pun harus tegas mengambil kembali aset-aset strategis bangsa yang dikuasai asing. Bukan berarti tidak mau sama sekali bekerja sama dengan asing, bukan suatu yang bisa dipungkiri bahwa Indonesia dengan segala keterbatasannya masih membutuhkan bantuan dan kerja sama dengan pihak asing. Hanya saja bukan juga berarti menyerahkan sebagian besar kekuasaan tersebut kepada pihak asing.
Selain itu dibutuhkan Kebijakan Nasional Energi yang terarah. Telah dibahas sebelumnya, bahwa sebenarnya Indonesia memiliki banyak kebijakan nasional mengenai sektor energi. Namun kebijakan tersebut kurang terarah sehingga sering menjadi terbengkalai dan hanya direvisi sebagai wacana kebijakan tiap tahunnya. Kebijakan nasional seharusnya dibuat dengan terarah atas langkah-langkah atau tahapan-tahapan kelanjutan dari kebijakan tersebut. Sehingga kebijakan tidak hanya menjadi sebuah wacana, tapi menjadi sebuah acuan untuk memperbaiki sektor minyak dan gas bumi ini
Kebijakan nasional tidak akan optimal bila tidak ada dukungan dan kerja sama dari seluruh rakyat Indonesia. Maka harus ada sebuah itikad baik dalam penyampaian atau sosialisasi kebijakan nasional, sehingga akan timbul ras asaling percaya antara rakyat Indonesia dan pemerintah. Dengan kepercayaan tentunya akan saling mendukung terlaksananya secara optimal kebijakan-kebijajan tersebut, menuju kesejahteraan merata.
Lampiran-lampiran









.

Kajian UU BHP

Kajian UNDANG-UNDANG TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN (BHP)

Sistematika kajian:
1.Konsideran
2.Pasal-pasal yang dianggap Kotroversial (Kajian awal: Pasal 3,4,8,ketentuan Bab IV, 31, 33, 38 dan 49
3.Kajian terhadap aspek normatif berupa filosofis, yuridis, dan historis

KAJIAN PER RUMUSAN

A.Konsideran:
Konsideran sebagai dasar pembentukan suatu aturan perundang-undangan, seianya merupakan representasi dari urgensi pembentukan Undang-undang terkait. Dari draft UU BHP per bulan Desember sebagai bahan kajian, terdapat sebuah ketidak sinergitas antara urgensi pembentukan UU dengan dasar dalam konsideran. Secara substansial konsideran yang dimaktubkan dalam UU ini terkesan menafikan amanah konstitusi akan pendidikan.
Dari pasal menimbang, dari empat poin yang dijabarkan tidak satu pun yang menyentuh terhadap urgensi amanah konstitusi, bahwa pendidikan adalah hak. Hak untuk mendapatkan pendidikan layak dialih isukan kepada mendesaknya dibentuknya sebuah otonomi pendidikan, yang terindikasi dapat menjadi sebuah kelitan lepas tangan akan pendidikan oleh pemerintah.
Kemasan ketidak sinergisannya konsideran tersebut, kembali dipertontonkan oleh pasal mengingat yang tidak mencerminkan adanya sebuah aturan yang Legal Formalistic yang tepat yang memang mengimplikasikan harus dibentuknya UU ini. Di gunakannya ketentuan pasal 5 ayat (1) UUD NRI 1945 (kewenangan parlemen membentuk PerUUan) tak ubahnya meletekan dasar yang sangat general dan terkesan formalitas terhadap suatu UU yang implikasinya sangat meluas bagi kemaslahatan umat.
Masih dalam pasal mengingat, digunakannya peraturan dalam hirarkis yang sama dalam pembentukan suatu UU yang lain, merupakan satu hal yang sangat rentan terhadap keberlakuannya dalam masyarakat, hal itu tak lepas dari keberadaan tiga analisa efektifitas Hukum menurut Friedman di mana Substansi,struktur dan kultur hukum merupakan pilar keberaaan penerapan hukum dalam alam dus sein (alam kenyataan).
Terhadap ketimpangan-ketimpangan konsideran tersebut di mana, pengkajian terhadap aspek filosofis; di mana tidak dapat ditemuianya sebuah esensi pendidikan yang riil bagi masyarakat, aspek yuridis; di mana dasar peletakan UU tidak didasarkan pada sebuah aturan yuridis formalistik yang legal dalam pembentukannya dan aspek-aspek lain yang cukup kontradiktif mengingat pentingnya aspek yang diangkat dalam UU ini, terdapat sebuah alur legal dalam penghambat “misi tersebelubung” dalam UU ini. Ketika hembusan Judicial Review masih membutuhkan sebuah dampak riil dalam masyarakat, pemangkasan dapat dilakukan dengan pemangkasan lewat UU sebagai dasar pembentukan (UU Sisdiknas) tentunya dengan pengkajian lebih lanjut tentang rumusan terkait.

B.Pasal 3
Badan hukum pendidikan bertujuan memajukan pendidikan nasional dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi
Ketentuan pasal 3 merupakan rumusan general yang merupakan pijakan awal yang berimplikasi meluas terhadap keseluruhan UU ini, dasar filosifis yang bias ditunjukan dan banyak muatan secara filosofis yang saling betubrukan (fungsi memajukan pendidikan dengan semangat lepas tangan lewat hembusan otonomi) menambah keburaman dasar UU ini.
Dari pembahasaan istilah BHP, di mana tidak ada kejelasan terhadap bentuk dan forum yang di lekatkannya.
Redaksional terhadap BHP, di mana dalam rumusan pasal di tuliskan dalam huruf non kapital di tiap awal kalimat, terkesan menunjukan bahwa BHP tak ubahnya sebuah konsep dan bukan merupakan sebuah badan hukum yang legal.
Status BHP apabila dimisalkan sebagai sebuah badan hukum pun, memiliki sebuah ketidak jelasan, di mana ditangkalnya konsep badan hukum privat dalam kajian terhadap BHP dan ditambah tidak disebutkannya kejelasan mengenai status, sangat berpengaruh terhadap penerapan riil ketika UU ini disahkan.
Kejelasan status terhadap status tersebut sangat lah penting mengingat implikasi logis terhadap status suatu badan hukum terhadap pelaksanaan peran dan fungsi dari suatu badan hukum tersebut.

C.Pasal 4
(1)Pengelolaan dana secara mandiri oleh badan hukum pendidikan didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan badan hukum pendidikan, harus ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan.

Konsep Nirlaba yang disebutkan sangat rentan dengan proses pelaksanaan pendidikan dan fasilitas penunjang pendidikan apabila dikaitkan dengan konsep kemandirian dan otonomi mutlak dalam pelaksanaan proses pendidikan.
Konsep Nirlaba dangan relevansinya terhadap konsep sisi hasil usaha kembali memunculkan kontroversi. Di mana sisa hasil usaha tersebut di dasarkan dengan kemungkinan munculnya sebuah devisit dari pelaksanaan satuan pendidikan.
Ketentuan dalam rumusan pasal ini, kembali memunculkan keambiguan terhadap status badan hukum yang didasarkan pada BHP.
Semangat 20% APBN dari UU sisdiknas, juga dapat tereduksi secara sistematis terhadap rumusan ini, ketika hembusan kemadirian dan otonomi luas sangat deras, dan kemunculan unsur lain dari pasal-pasal selanjutnya yang akan dibahas dalam kajian ini.

D.Pasal 8

(1)Satuan pendidikan dasar dan menengah yang telah didirikan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dan telah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan berakreditasi A berbentuk badan hukum pendidikan.
(2)Satuan pendidikan tinggi yang telah didirikan oleh Pemerintah berbentuk badan hukum pendidikan.
(3)Yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang telah menyelenggarakan satuan pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan/atau pendidikan tinggi, diakui sebagai BHP Penyelenggara.

Dari beragam kontroversi dalam rumusan awal, legal drafter dari UU ini membungkus fungsi tersebut lewat pasal 8 ini.
Rumusan pasal ini dapat disebut sebagai upaya “Otomatisasi” bahkan pemaksaan kehendak terhaap ketentuan dalam pasal ini
Pemaksaan kehendak tersebut sangat tidak beralasan, mengingat pemerataan tersebut seakan tutup mata dengan realita keberadaan belum meratanya pembangunan peradaban diseluruh pelosok dan akses informasi pendidikan, pemaksaan tersebut dapat berimplikasi terhadap rusaknya tatanan keberadaan kearifan lokal yang telah tumbuh dalam pembentukan kesadaran pendidikan di daerah.

E.Ketentuan Bab IV
Ketentuan Bab IV tentang tata kelola, merupakan ketentuan bab yang memainkan isu sentral dalam rumusan UU ini. Ketentuan-ketentuan tersebut disatu sisi melahirkan sebuah kejanggalan-kejanggalan yang cukup sentral.
Diaturnya fungsi-fungsi BHP secara sistematis baik dari satuan pendidikan tinggi dan pendidikan dasar dalam pasal 14, sangat bertentangan apabila kita menilik dari ketentuan selanjutnya ketika dalam rumusan berikutnya, iatur bahwa kesekian fungsi bukan dijalankan oleh pelaksana pendidikan secra rill.
Ditemuinya konsep organ pemangku kepentingan, yang sangat dekat konsepnya dengan konsep steckholder, sangat memunculkan sebuah keambiguan, terlebih ketika pembagian pihak dalam organ tersebut tidak di ikuti dengan sebuah penjelesan yang lengkap dari UU ini.
Sentralnya peran dari organ pemangku kepentingan dalam ketentuan bab ini, terindikasi dapat mereduksi bahkan menutup dan melepas kewajiban pemerintah dalam pendidikan
Konsep organ pemangku kepentingan tersebut, kembali membiaskan konsep badan hukum dalam BHP, yang sejurus kemudian memberikan implikasi yang sangat buram terhadap kewenangan yang dapat digunakan oleh BHP secara institusi tersebut.
F.Pasal 42

(1) Badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat melakukan investasi dalam bentuk portofolio.

ketidak jelasan konsep BHB sebagai badan hukum, kembali mendapat sebuah pertentangan ketika dalam ketentuan pasal ini di amanah kan bahwa BHP dapat melakukan investasi dalam bentuk portofolio (saham)
hal tersebut pun dapat dikaji lebih dalamm, tentang keberadaan keambiguannya, ketika diwal rumusan ditemukan konsep nirlaba yang dilekatkan dengan BHP
sangat tidak rasional ketika kepentingan pendidikan disandarkan pada kepentingan pemegang saham, di mana mekanisme keberadaan pemegang saham tersebut tidak mungkin dapat diawasi dan di batasi hanya oleh person yang konsern secara positif terhadap pengembangan pendidikan
G.Pasal 57
Badan hukum pendidikan bubar karena putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan:
a.melanggar ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan,
b.dinyatakan pailit, dan/atau
c.asetnya tidak cukup untuk melunasi utang setelah pernyataan pailit dicabut.

Dalam ketentuan perihal pembubaran yang ada dalam UU BHP ini pun secara langsung berimplikasi terhadap ketidak jelasan dan terkesan memaksanya pembentukan ketentuan ini.
Dikenalnya aturan mengenai pailit dalam BHP, dan tidak ada kejelasan mengenai status badan hukum yang dianut oleh BHP semakin menunjukan ketidak singkronan aturan ini.
Dalam konsep dasar pailit, di mana yang dapat mengajukan kepailitan seseorang adalah:
a.debitor sendiri dengan alasan ketidak mampuan menjalankan fungsi
b.seseorang untuk beberapa kreditor
c.jaksa atas kepentingan umum
hal tersebut mengandung implikasi bahwa memungkinkan pelaksana pendidikan untuk melakukan tindakan-tindakan di luar peran pelaksanaan pendidikan riil dengan tujuan mencari keuntungan pribadi dan melepas tanggung jawab dengan konsep pailit ini.