Rabu, 28 Januari 2009

Kajian UU BHP

Kajian UNDANG-UNDANG TENTANG BADAN HUKUM PENDIDIKAN (BHP)

Sistematika kajian:
1.Konsideran
2.Pasal-pasal yang dianggap Kotroversial (Kajian awal: Pasal 3,4,8,ketentuan Bab IV, 31, 33, 38 dan 49
3.Kajian terhadap aspek normatif berupa filosofis, yuridis, dan historis

KAJIAN PER RUMUSAN

A.Konsideran:
Konsideran sebagai dasar pembentukan suatu aturan perundang-undangan, seianya merupakan representasi dari urgensi pembentukan Undang-undang terkait. Dari draft UU BHP per bulan Desember sebagai bahan kajian, terdapat sebuah ketidak sinergitas antara urgensi pembentukan UU dengan dasar dalam konsideran. Secara substansial konsideran yang dimaktubkan dalam UU ini terkesan menafikan amanah konstitusi akan pendidikan.
Dari pasal menimbang, dari empat poin yang dijabarkan tidak satu pun yang menyentuh terhadap urgensi amanah konstitusi, bahwa pendidikan adalah hak. Hak untuk mendapatkan pendidikan layak dialih isukan kepada mendesaknya dibentuknya sebuah otonomi pendidikan, yang terindikasi dapat menjadi sebuah kelitan lepas tangan akan pendidikan oleh pemerintah.
Kemasan ketidak sinergisannya konsideran tersebut, kembali dipertontonkan oleh pasal mengingat yang tidak mencerminkan adanya sebuah aturan yang Legal Formalistic yang tepat yang memang mengimplikasikan harus dibentuknya UU ini. Di gunakannya ketentuan pasal 5 ayat (1) UUD NRI 1945 (kewenangan parlemen membentuk PerUUan) tak ubahnya meletekan dasar yang sangat general dan terkesan formalitas terhadap suatu UU yang implikasinya sangat meluas bagi kemaslahatan umat.
Masih dalam pasal mengingat, digunakannya peraturan dalam hirarkis yang sama dalam pembentukan suatu UU yang lain, merupakan satu hal yang sangat rentan terhadap keberlakuannya dalam masyarakat, hal itu tak lepas dari keberadaan tiga analisa efektifitas Hukum menurut Friedman di mana Substansi,struktur dan kultur hukum merupakan pilar keberaaan penerapan hukum dalam alam dus sein (alam kenyataan).
Terhadap ketimpangan-ketimpangan konsideran tersebut di mana, pengkajian terhadap aspek filosofis; di mana tidak dapat ditemuianya sebuah esensi pendidikan yang riil bagi masyarakat, aspek yuridis; di mana dasar peletakan UU tidak didasarkan pada sebuah aturan yuridis formalistik yang legal dalam pembentukannya dan aspek-aspek lain yang cukup kontradiktif mengingat pentingnya aspek yang diangkat dalam UU ini, terdapat sebuah alur legal dalam penghambat “misi tersebelubung” dalam UU ini. Ketika hembusan Judicial Review masih membutuhkan sebuah dampak riil dalam masyarakat, pemangkasan dapat dilakukan dengan pemangkasan lewat UU sebagai dasar pembentukan (UU Sisdiknas) tentunya dengan pengkajian lebih lanjut tentang rumusan terkait.

B.Pasal 3
Badan hukum pendidikan bertujuan memajukan pendidikan nasional dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi
Ketentuan pasal 3 merupakan rumusan general yang merupakan pijakan awal yang berimplikasi meluas terhadap keseluruhan UU ini, dasar filosifis yang bias ditunjukan dan banyak muatan secara filosofis yang saling betubrukan (fungsi memajukan pendidikan dengan semangat lepas tangan lewat hembusan otonomi) menambah keburaman dasar UU ini.
Dari pembahasaan istilah BHP, di mana tidak ada kejelasan terhadap bentuk dan forum yang di lekatkannya.
Redaksional terhadap BHP, di mana dalam rumusan pasal di tuliskan dalam huruf non kapital di tiap awal kalimat, terkesan menunjukan bahwa BHP tak ubahnya sebuah konsep dan bukan merupakan sebuah badan hukum yang legal.
Status BHP apabila dimisalkan sebagai sebuah badan hukum pun, memiliki sebuah ketidak jelasan, di mana ditangkalnya konsep badan hukum privat dalam kajian terhadap BHP dan ditambah tidak disebutkannya kejelasan mengenai status, sangat berpengaruh terhadap penerapan riil ketika UU ini disahkan.
Kejelasan status terhadap status tersebut sangat lah penting mengingat implikasi logis terhadap status suatu badan hukum terhadap pelaksanaan peran dan fungsi dari suatu badan hukum tersebut.

C.Pasal 4
(1)Pengelolaan dana secara mandiri oleh badan hukum pendidikan didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan badan hukum pendidikan, harus ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan.

Konsep Nirlaba yang disebutkan sangat rentan dengan proses pelaksanaan pendidikan dan fasilitas penunjang pendidikan apabila dikaitkan dengan konsep kemandirian dan otonomi mutlak dalam pelaksanaan proses pendidikan.
Konsep Nirlaba dangan relevansinya terhadap konsep sisi hasil usaha kembali memunculkan kontroversi. Di mana sisa hasil usaha tersebut di dasarkan dengan kemungkinan munculnya sebuah devisit dari pelaksanaan satuan pendidikan.
Ketentuan dalam rumusan pasal ini, kembali memunculkan keambiguan terhadap status badan hukum yang didasarkan pada BHP.
Semangat 20% APBN dari UU sisdiknas, juga dapat tereduksi secara sistematis terhadap rumusan ini, ketika hembusan kemadirian dan otonomi luas sangat deras, dan kemunculan unsur lain dari pasal-pasal selanjutnya yang akan dibahas dalam kajian ini.

D.Pasal 8

(1)Satuan pendidikan dasar dan menengah yang telah didirikan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dan telah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan berakreditasi A berbentuk badan hukum pendidikan.
(2)Satuan pendidikan tinggi yang telah didirikan oleh Pemerintah berbentuk badan hukum pendidikan.
(3)Yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang telah menyelenggarakan satuan pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan/atau pendidikan tinggi, diakui sebagai BHP Penyelenggara.

Dari beragam kontroversi dalam rumusan awal, legal drafter dari UU ini membungkus fungsi tersebut lewat pasal 8 ini.
Rumusan pasal ini dapat disebut sebagai upaya “Otomatisasi” bahkan pemaksaan kehendak terhaap ketentuan dalam pasal ini
Pemaksaan kehendak tersebut sangat tidak beralasan, mengingat pemerataan tersebut seakan tutup mata dengan realita keberadaan belum meratanya pembangunan peradaban diseluruh pelosok dan akses informasi pendidikan, pemaksaan tersebut dapat berimplikasi terhadap rusaknya tatanan keberadaan kearifan lokal yang telah tumbuh dalam pembentukan kesadaran pendidikan di daerah.

E.Ketentuan Bab IV
Ketentuan Bab IV tentang tata kelola, merupakan ketentuan bab yang memainkan isu sentral dalam rumusan UU ini. Ketentuan-ketentuan tersebut disatu sisi melahirkan sebuah kejanggalan-kejanggalan yang cukup sentral.
Diaturnya fungsi-fungsi BHP secara sistematis baik dari satuan pendidikan tinggi dan pendidikan dasar dalam pasal 14, sangat bertentangan apabila kita menilik dari ketentuan selanjutnya ketika dalam rumusan berikutnya, iatur bahwa kesekian fungsi bukan dijalankan oleh pelaksana pendidikan secra rill.
Ditemuinya konsep organ pemangku kepentingan, yang sangat dekat konsepnya dengan konsep steckholder, sangat memunculkan sebuah keambiguan, terlebih ketika pembagian pihak dalam organ tersebut tidak di ikuti dengan sebuah penjelesan yang lengkap dari UU ini.
Sentralnya peran dari organ pemangku kepentingan dalam ketentuan bab ini, terindikasi dapat mereduksi bahkan menutup dan melepas kewajiban pemerintah dalam pendidikan
Konsep organ pemangku kepentingan tersebut, kembali membiaskan konsep badan hukum dalam BHP, yang sejurus kemudian memberikan implikasi yang sangat buram terhadap kewenangan yang dapat digunakan oleh BHP secara institusi tersebut.
F.Pasal 42

(1) Badan hukum pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat melakukan investasi dalam bentuk portofolio.

ketidak jelasan konsep BHB sebagai badan hukum, kembali mendapat sebuah pertentangan ketika dalam ketentuan pasal ini di amanah kan bahwa BHP dapat melakukan investasi dalam bentuk portofolio (saham)
hal tersebut pun dapat dikaji lebih dalamm, tentang keberadaan keambiguannya, ketika diwal rumusan ditemukan konsep nirlaba yang dilekatkan dengan BHP
sangat tidak rasional ketika kepentingan pendidikan disandarkan pada kepentingan pemegang saham, di mana mekanisme keberadaan pemegang saham tersebut tidak mungkin dapat diawasi dan di batasi hanya oleh person yang konsern secara positif terhadap pengembangan pendidikan
G.Pasal 57
Badan hukum pendidikan bubar karena putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan:
a.melanggar ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan,
b.dinyatakan pailit, dan/atau
c.asetnya tidak cukup untuk melunasi utang setelah pernyataan pailit dicabut.

Dalam ketentuan perihal pembubaran yang ada dalam UU BHP ini pun secara langsung berimplikasi terhadap ketidak jelasan dan terkesan memaksanya pembentukan ketentuan ini.
Dikenalnya aturan mengenai pailit dalam BHP, dan tidak ada kejelasan mengenai status badan hukum yang dianut oleh BHP semakin menunjukan ketidak singkronan aturan ini.
Dalam konsep dasar pailit, di mana yang dapat mengajukan kepailitan seseorang adalah:
a.debitor sendiri dengan alasan ketidak mampuan menjalankan fungsi
b.seseorang untuk beberapa kreditor
c.jaksa atas kepentingan umum
hal tersebut mengandung implikasi bahwa memungkinkan pelaksana pendidikan untuk melakukan tindakan-tindakan di luar peran pelaksanaan pendidikan riil dengan tujuan mencari keuntungan pribadi dan melepas tanggung jawab dengan konsep pailit ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar