Kamis, 30 Juli 2009

Ekonomi Berbasiskan Hasil

Oleh: Rhenald Kasali 

  
TAK lama setelah mengisi sesi inspirasi bagi sekitar 750 orang mahasiswa calon wirausaha di kota Manado yang digelar Bank Mandiri,seorang usahawan senior menyatakan kekagumannya terhadap kemajuan ekonomi di kota ini. 

Manado sudah kembali bersih dan tertib. Setelah sukses melaksanakan konferensi kelautan tingkat dunia, sebentar lagi akan dilaksanakan kegiatan Sail Bunaken. Jumlah hotel berbintang empat dan lima pun meningkat pesat. Kalau dulu cuma ada tiga sampai empat hotel berbintang, kini di mana-mana ditemui hotel berbintang yang ternyata selalu penuh. 

Manado telah berubah, merebut posisinya sebagai kota konferensi yang sejajar dengan Jakarta, Bali,Yogyakarta, dan Bandung. Meski harga tiket pesawat menuju kota ini masih mahal—karena jarak tempuhnya yang panjang— peminatnya tidak surut. 

Setiap kali kita menyaksikan ketertiban suatu kota dan kemajuan perekonomiannya, selalu kita bertanya siapa pemimpinnya? Siapa wali kotanya, dan siapa gubernurnya? Tetapi setiap kali kita hendak membanggakan mereka, kita selalu menemukan kegetiran karena salah satu dari mereka telah ditangkap karena perkara korupsi. Apa yang sebenarnya tengah terjadi di negara ini? 

Process-Based Economy 

Setiap negara yang baru memulai take-off selalu saja confused membedakan antara process-based economy dan result-based economy. Mereka yang merindukan ketertiban dan kepastian sudah pasti akan memilih yang pertama, sedangkan mereka yang merindukan prestasi (hasil) memilih yang kedua. 

Pertarungan antara kedua mazhab itu dalam ilmu manajemen sebenarnya sudah lama terjadi, namun bunyinya halus sekali. Maklumlah, di negara-negara maju dikotomi antara keduanya sudah tidak jadi masalah dalam kehidupan sehari-hari. Di negaranegara maju itu, konteks masyarakat dan hukumnya sudah sangat tertib dan transparan. Semua kegiatan jelas arahnya dan jelas hasilnya. 

Di lingkungan yang tertib itu segala sesuatu dapat diramalkan (predictable). Jarang terjadi keputusan-keputusan atau kejadian-kejadian yang mengejutkan dan banyak hal telah menjadi rutin.Mereka telah berhasil menggunting banyak benang kusut (red tapes) atau proses yang berlikuliku. Belenggu-belenggu telah dibebaskan dan pelaku-pelaku usaha merasakan manfaat dari kepatuhan. 

Demikian juga aparat birokrasinya. Mereka semua bekerja bersemangat dan senang karena semuanya jelas dan mudah ditelusuri. Maka bila semua proses itu diikuti dan prosesnya benar, hasilnya pun bagus, benar, dan sesuai yang diharapkan. 

Hal seperti itu tampaknya tidak terjadi di sini. Lagi-lagi kita copy-paste, menjiplak konsep, tetapi kita lupa bahwa prasyaratprasyaratnya berbeda sama sekali. Kita tentu tidak bisa melakukan copy-paste suatu program kalau operating system-nya tidak sama. 

Chaotic Society 

Setiap kali hendak menerapkan suatu konsep, penting bagi para pemimpin menerjemah kan konteksnya. Konteks itu adalah iklim yang menjelaskan prasyarat-prasyarat yang diperlukan agar konsep itu bisa berjalan dengan baik. Tanaman kopi yang tumbuh subur di dataran tinggi Takengon, Aceh, tidak secara otomatis dapat tumbuh subur di dataran rendah pesisir Ibu Kota. 

Demikian pula dengan konsep-konsep manajemen. Bagi para praktisi bisnis yang berpengalaman, Indonesia dengan jelas dapat dilihat sebagai komunitas yang nyaris tanpa keteraturan. Apalagi kalau Anda membandingkannya secara langsung dengan kondisi usaha di negara-negara yang mengembangkan konsep-konsep manajemen.Terasa sekali kontras keduanya.

Di negeri ini ada banyakhalyangsulitkitaduga, banyak surprise yang ditemui. Bahkan di jalan bebas hambatan (tol) yang secara rutin Anda lewati sekalipun, Anda tidak bisa menebak berapa lama jarak tempuh yang akan Anda lewati.Hari ini bisa ditempuh dalam temposetengahjam,besoktiba-tiba bisa menjadi 2 jam atau stuck sama sekali. 

Demikian pula dengan penerapan aturan,kebijakan atasan, pengangkatan pejabat, dan proses yang harus dilewati untuk mengikuti suatu ketentuan.Bahkan ada pendapat umum yang menyatakan bahwa hanya orang-orang bodoh yang taat peraturan.Atau dengarlah ungkapan ini, ”Kalau dia taat peraturan, hasilnya tidak akan sebaik ini.” 

Walau situasinya chaos, ada cukup banyak orang yang menikmatinya. Mereka yang menikmati situasi itu dapat memanfaatkan ketidakteraturan untuk bersembunyi dan membeli peraturan. Hukum dan ketentuan yang dipakai adalah hukum celah, yaitu mencari peluang dari ketentuan yang berbelit-belit atau prosedur yang tidak konsisten. 

Hal seperti ini tentu tidak dapat dibiarkan berlaku terus-menerus karena sangat menjebak. Anda mungkinsekarangmerasadiuntungkan, tapi sesungguhnya tidak karena tidak ada yang bisa dipegang. Sebaliknya,dalam dunia usaha, dalam jangka panjang kita memang akan diuntungkan karena memiliki pelaku-pelaku usaha yang lebih adaptif, lugas, fleksibel, dan tahan banting. 

Sekali mereka sukses di sini,mereka akan mudah hidup di mancanegara. Sebaliknya, potensi ini akan sangat menyulitkan usahawan dan profesional dari negara-negara yang tertib, stabil,predictable,dan rutin. Itulah dilema berwirausaha dan memimpindisuatu chaoticsociety,di satu pihak menjadi ketidakteraturan dan ketidaktertiban, di lain pihak desain perekonomiannya dirumuskan dengan model yang diterapkan di negara-negara yang mudah diatur dan tertib. 

Mengorbankan Hasil 

Mendebatkan proses dengan hasil ibarat mendebatkan prinsip dasar ekonomi di tingkat persiapan Fakultas Ekonomi, yaitu mendebatkan antara konsep efisiensi dan konsep efektivitas. Efisiensi sangat mengedepan kan penghematan (biaya), yaitu bagaimana mencapai hasil dengan biaya yang serendah-rendahnya. 

Sebaliknya, efektivitas mengedepankan hasil, yaitu bagaimana mencapai hasil yang sebesar-besarnya. Masalahnya, keduanya tidak bisa secara otomatis kita gabungkan menjadi kalimat seperti ini ”mencapai hasil yang sebesarbesarnya dengan biaya yang serendah- rendahnya.”

Demikian pulalah dengan dikotomi proses-hasil dalam chaotic society.Jarang sekali ditemui perekonomian berbasiskan proses yang berhasil mencapai hasil maksimum atau sebaliknya. Banyak kita temui birokrasi yang prosesnya bagus dengan kinerja yang buruk. Sebaliknya, mereka yang berkinerja bagus (seperti para wali kota dan gubernur), tapi mereka kini menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi atau kejaksaan tinggi. Atau minimal mempunyai banyak catatan merah di lembaga-lembaga pengawasan keuangan. 

Apakah yang perlu dilakukan? 

Kita jelas tak menginginkan proses yang baik namun hasilnya buruk atau sebaliknya. Ini jelas merupakan PR penting bagi para pembuat kebijakan, pemimpinpemimpin BUMN, dan pemerintahan daerah. Saya kira, hal mendesak yang perlu dilakukan saat ini adalah mendesain ulang semua proses kebijakan dan peraturan agar semua benang-benang kusut bisa dibuang dan para pemimpin bisa bekerja dengan tenang dan tertib.Kalau ini bisa kita kerjakan,langkah berikutnya baru kita desain bangunan baru organisasi usaha, yaitu struktur yang lebih organik,yang lebih hidup agar mampu bekerja dengan optimal.(*) 

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/258730/



RHENALD KASALI 
Ketua Program MM UI

Orientasi Pembangunan

Orientasi Pembangunan 
   
Oleh: Ivan A Hadar 

  
Selama kampanye, pasangan SBY-Boediono setidaknya melontarkan 15 janji. Kini pasangan ini sudah dinyatakan memenangi Pilpres 2009.


Janji-janji itu antara lain pertumbuhan ekonomi, penurunan angka kemiskinan dan pengangguran, perbaikan pendidikan, infrastruktur, kesehatan, dan ketersediaan energi. Juga ada janji swasembada pangan, pemeliharaan lingkungan, penguatan pertahanan dan keamanan, reformasi birokrasi, pemberantasan korupsi, penguatan otonomi daerah, penegakan HAM, dan peningkatan peran Indonesia di dunia internasional.

Selama masa kampanye, menguat pula perdebatan ideologi (ekonomi) yang diusung para capres-cawapres. Selain ”baru”, hal ini dirasa perlu untuk mencari kejelasan orientasi pembangunan lima tahun ke depan. Harus diakui, sejak Reformasi, pembangunan dibiarkan mengalir tanpa orientasi.

Krisis teori

Orientasi jangka pendek dan pragmatis elite era Reformasi juga mempersulit pencapaian konsensus bersama sebagai basis pencarian teoretis atas orientasi pembangunan. Sebenarnya, ”krisis teori” (Beck, 2000) disinyalir telah menjadi fenomena global sejak runtuhnya negara-negara komunis. Selain tiadanya alternatif bagi kapitalisme dan kini didominasi genre neoliberal, secara sederhana krisis teori juga disebabkan empat hal.

Pertama, sebagai teori, modernisasi ataupun dependensia tidak perlu menganalisis diferensiasi di ”Dunia Ketiga”. Padahal, perbedaan antara empat ”Macan Asia” dengan negara kapitalis penghasil minyak dan negara agraris di Afrika amat signifikan. Tidak mungkin memasukkan semua negara dalam kategori ”Dunia Ketiga”. Asumsi tentang kesamaan struktur sosial-ekonomi di periferi dan berbagai teori tentang prasyarat pembangunan dianggap usang dan tidak sesuai kenyataan.

Kedua, dalam perdebatan tentang negara industri baru, ditemukan hal berikut. Meski akhir-akhir ini sempat dilanda krisis, menanjaknya Korea Selatan dalam 30 tahun dan mampu bersaing dengan negara-negara industri maju tidak dapat diterangkan dengan teori yang ada. Menurut teori dependensia, pengintegrasian sebuah negara ke pasar dunia hanya ”memicu keterbelakangan”.

Ternyata, Korea Selatan menghasilkan aneka kemajuan. Fenomena yang tak bisa diterangkan teori modernisasi, yang semula menyebut ”Etika Konfusius” sebagai penyebab keterbelakangan, lalu—setelah mengamati keberhasilan Empat Macan Asia—berbalik menyebut etika itu sebagai prasyarat keberhasilan. Hal sama juga terjadi pada asumsi ekonomi pembangunan klasik: awalnya mempropagandakan bahwa reduksi peran negara berdampak positif bagi pembangunan, lalu menyebut intervensi negara sebagai prasyarat percepatan pertumbuhan ekonomi.

Ketiga, aneka tampilan krisis ekologi menunjukkan keterbatasan model pembangunan industrial, baik yang mengacu paham sosialisme dalam tradisi Marx dan Lenin maupun paham neoklasik menurut Smith dan Ricardo atau neo-Keynesian.

Keempat, kegagalan teori adalah kandasnya segala bentuk utopia dan model berbagai teori pembangunan. Teori pembangunan tidak hanya mencoba menerangkan (under) development, tetapi juga memberi rancangan sosial-politik serta strategi pembangunan. Namun, baik model sosialistis ala Kuba atau Nikaragua maupun model neoklasik ala Cile atau ”jalan alternatif” seperti Ujama di Tanzania, menurut pengkritik teori Ulrich Menzel (2001), tidak membawa perbaikan nyata bagi kebanyakan penduduk.

Selama ini, krisis teori memengaruhi diskusi kebijakan pembangunan. Dalam kaitan itu, perlu dibedakan dua level diskusi, level teori dan level politik praktis. Dalam level teori, ditandai hilangnya dogmatisme. Kini, selain ekonom neoklasik dengan kepercayaan butanya kepada pasar bebas yang diyakini mampu mengatur segalanya, tak seorang pun mengaku memegang kebenaran mutlak. Jika dulu semua terpaku dikotomi metropol-periferi, atau masyarakat modern-tradisional, kini dimungkinkan analisis lebih beragam. Kompleksitas (under) development hanya bisa digambarkan secara utuh setelah menelusuri sejarah kolonial sebuah negara, menganalisis dampak pasar global dan pengaruh aneka faktor lokal.

Pluralisme teori

Kini, studi dengan pendekatan pluralisme teori mulai banyak dipraktikkan, menghasilkan asumsi yang lebih mendekati kenyataan atau situasi masyarakat.

Emoh teori dan pluralisme teori mengandung bahaya. Semua yang berbau ideologi ditinggalkan sehingga tanpa sadar, kita tak mempunyai pegangan. Yang dilakukan sekadar mengibarkan bendera kecil di pusaran wind of change seusai Perang Dingin. Padahal, angin yang berembus berasal dari arah neoliberal. Dengan begitu, meski harus diakui ada banyak elemen yang mubazir dan salah dalam teori-teori itu, banyak pula yang berguna selain neoliberal.

Contoh konsep heterogenitas struktural. Dalam era globalisasi, hal ini masih penting dan diperlukan guna memahami fenomena keterbelakangan. Konsep ini bisa menerangkan, mengapa berbagai megapolitan negara berkembang sering lebih terkait pasar dunia ketimbang hinterland-nya. Juga konsep modernisasi yang mendiskusikan landreform sebagai persyaratan pembangunan mempunyai nilai pencerahan tinggi. Yang diperlukan adalah mencocokkan aneka teori dan strategi dengan realitas lapangan, tidak sekadar menjadi penganut buta pencetus teori.

Jawaban atas penyebab vakumnya teori dan utopi berbarengan ambruknya model sosialisme negara bisa digali dalam (teori) sosialisme demokratis, anarkisme utopis, dan renungan Gandhi tentang ekonomi autarki. Bahwa semua itu adalah alternatif terhadap logika neoliberalistik, mestinya menjadi alasan optimistik. Sama dengan konsep ”disosiasi”, yang pernah agak mirip diajukan Soekarno berupa proteksi terhadap ekonomi global, tidak hanya berdampak negatif, tetapi pada sisi lain, hal itu membuka kesempatan bagi pembangunan yang mandiri, terbebas dari ”pemaksaan persyaratan perekonomian global”.

Dituding mengusung paham neoliberal, pasangan SBY-Boediono menampik dengan mengatakan ”ekonomi jalan tengah”. Semoga jalan tengah bukan berarti tiadanya keberpihakan kepada yang lemah mengingat pembangunan pertanian dan pedesaan serta program prorakyat adalah kata kunci dalam 15 janji SBY-Boediono. 

URL Source: http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/30/03134994/orientasi.pembangunan.


IVAN A HADAR Analis Ekonomi-Politik; Co-Pemred Jurnal SosDem

Quo Vadis Putusan MA?

Oleh: Pan Mohamad Faiz 

  
Atmosfer politik Indonesia akhir-akhir ini memanas. Dua gugatan terhadap Keputusan KPU tentang Penetapan Hasil Rekapitulasi Pilpres telah dilayangkan oleh pasangan calon presiden dan calon wakil presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

Mereka menengarai hasil penghitungan KPU tidak sah karena terlalu banyak pelanggaran dan kesalahan selama proses pemilihan presiden, baik secara prosedural maupun substansial. Sementara itu,minggu sebelumnya dunia perpolitikan kita lebih dahulu dikejutkan oleh keluarnya putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 15 P/HUM/2009 bertanggal 18 Juni 2009.

MA memutuskan tidak sah dan tidak berlaku untuk umum Pasal 22 huruf c dan Pasal 23 ayat (1) dan (3) Peraturan KPU No 15/2009 terkait cara penghitungan tahap kedua untuk kursi DPR. Memang dalam putusan tersebut MA tidak mengutak-atik perolehan kursi partai politik yang berhak duduk di Senayan,namun secara tidak langsung dipastikan akan memengaruhi perolehan kursi dari banyak partai politik papan menengah. 

Implikasinya,menurut CETRO, 66 kursi di DPR RI diperkirakan akan beralih partai! (Seputar Indonesia, 28/7) Karena putusan MA tersebut sangat berdampak pada konfigurasi politik nasional untuk lima tahun ke depan, tak ayal sensitivitas politiknya pun sangat tinggi. Akibatnya, ingar-bingar dan kemelut antara pihak yang diuntungkan dan dirugikan atas putusan tersebut kontan menghiasi berbagai media cetak dan elektronik.

Sayangnya, respons yang keluar dalam menanggapi putusan tersebut justru lebih banyak berhulu pada respons politik,bukan berangkat melalui respons hukum. Sejatinya,suatu produk hukum dan pengadilan harus pula ditanggapi dengan kajian yuridis,bukan justru dihadapkan sekadar dengan analisis dan bumbu politis. 

KPU pun kian menjadi sorotan tajam dan berada pada posisi yang dilematis serta terjepit dalam kondisi ini.Di satu sisi KPU wajib menjalankan putusan tersebut, di sisi lain apabila melaksanakan putusan tersebut dapat mengakibatkan guncangnya sendi-sendi sistem politik dan pemilu yang bermuara pada keterpilihan kursi yang telah ditetapkan sebelumnya. 

Titik Lemah Putusan 

Putusan MA memang sudah dibacakan, namun ruang untuk mengkritiknya dalam koridor hukum tetaplah terbuka lebar.Tetap dengan menghormatinya, paling sedikit terdapat empat titik kelemahan krusial dalam putusan tersebut. 

Pertama, permohonan sejenis untuk pengujian materi Pasal 23 ayat (1) Peraturan KPU No 15/2009 sebenarnya pernah diajukan dan diputus pada 2 Juni 2009 dengan amar putusan menolak permohonan untuk pemohon Hasto Kristyanto dan tidak dapat diterima untuk pemohon A Eddy Susetyo (vide Putusan Nomor 12 P/HUM/2009). 

Atas substansi permohonan yang sama dengan komposisi majelis yang sama pula, seyogianya permohonan yang diajukan oleh Zainal Ma’arif (vide Putusan Nomor 15 P/HUM/2009) tidak dapat diuji kembali (nebis in idem) atau setidak-tidaknya menyatakan amar putusan yang serupa, sebab apabila kita perbandingkan dalil dan materi permohonan, sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar dari keduanya. 

Kedua, menafsirkan Pasal 205 ayat (4) UU No 10/2008 dengan cara “Partai politik yang sudah memperoleh kursi pada tahap I karena mencapai BPP harus diikutkan kembali pada penghitungan perolehan kursi pada tahap II tanpa menggunakan sisa suara yang dimilikinya,tetapi secara utuh diperhitungkan semua suaranya,”( vide halaman 8) adalah tafsir yang terlalu dipaksakan. 

Dengan cara penghitungan demikian, maka akan terjadi “double counting” dalam penentuan kursi, yaitu dihitung dua kali di tahap pertama dan juga di tahap kedua, hal mana bertentangan dengan prinsip one person one vote.Tafsir ini pun tidak lagi kompatibel dengan sistem proporsional yang telah diterapkan sejak lama di Indonesia. 

Bila pun ada kelemahan karena dianggap tidak adil dalam mengonversi jumlah suara partai dengan jumlah suara kursi, maka hal ini memang sedari awal telah diakui secara sadar namun disepakati untuk tetap diberlakukan, mengingat tidak ada satu sistem pemilu pun yang hadir tanpa celah dan kelemahan masing-masing (Florian Bieber,2007) Ketiga,amar putusan a quo juga tidak konsisten dan sinkron antara satu dan yang lain. 

Angka kedua amar putusan justru memutuskan bahwa Pasal 22 huruf c dan Pasal 23 ayat (1) dan (3) Peraturan KPU No No 15/2009 “Pembentukannya bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dan lebih tinggi yaitu UU No 10/2008,” (vide halaman 16). Dengan kata lain, diputus dalam ranah uji formal,padahal permohonan berbicara pada ranah pengujian material yang tentu keduanya memiliki konskuensi putusan berbeda. 

Seandainya pun “pembentukannya: yang dianggap bertentangan, maka rujukan seharusnya adalah UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, bukan UU No 10/2008 mengenai Pemilu Legislatif. Keempat, amar yang memerintahkan KPU untuk merevisi dan menunda pelaksanaan Keputusan KPU No 259/Kpts/KPU/2009 merupakan perintah yang kebablasan (overheated).

Memutus permohonan tersebut tidak bisa serta-merta disandingkan dengan putusan yang dikeluarkan oleh MK terkait penerapan Pasal 205, sebab objek dan kewenangan yang sedang dijalankan berada pada ranahnya masing-masing yang berbeda. Lagipula, apabila kita telaah secara cermat, Keputusan KPU Nomor 259/Kpts/KPU/2009 yang diadili oleh MA tanggal 18 Juni 2009 telah dinyatakan batal demi hukum oleh MK sejak 11 Juni 2009, sedangkan putusan MA tersebut diputus kemudian pada 18 Juni 2009. 

Tentu masih banyak lagi aspek yang bisa diperdebatkan atas perkara yang diputus oleh MA tersebut. Misalnya berwenang atau tidaknya MA menguji peraturan KPU yang status dan kedudukannya memperoleh tempat khusus dalam peraturan perundang-undangan, atau terhadap keberlakuan surut-tidaknya suatu putusan judicial review. 

Upaya Hukum 

Tentu kita berharap, apabila terdapat ketidakpuasan atas putusan MA tersebut, para pihak juga dewasa menyikapinya dengan jalur hukum yang tersedia.Apabila diperlukan, kreativitas yudisial (judicial creativity) perlu ditempuh baik oleh KPU maupun para pihak yang merasa dirugikan dalam membuka jalur yang buntu.

Begitu pula dengan para hakim, dengan pertimbangan di atas seharusnya tidak perlu ragu melakukan aktivitas yudisial (judicial activism) seandainya bermaksud untuk meluruskan kembali putusan tersebut berdasarkan keadilan dan hati nuraninya (Kermit Roosevelt 2008). Upaya hukum peninjauan kembalike Mahkamah Agung atau menguji konstitusionalitas dan penafsiran Pasal 205 ayat (4) UU 10/2009 ke Mahkamah Konstitusi, mungkin saja menjadi alternatif jalur solusi hukum yang dapat diambil.

Hanya saja yang perlu dipahami adalah ketika jalur hukum yang tersedia telah habis (exhausted), maka para pihak, suka tidak suka, mau tidak mau,harus tunduk dan patuh serta menghormatipadaapapunputusannya nanti. Akhirnya KPU pun tidak perlu lagi merasa cemas atas putusan tersebut, sepanjang respons dan tindakan yang muncul adalah respons hukum,bukan sebaliknya,respons politik yang sering kali hanya berbicara untuk kepentingan sesaat.(*) 

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/258646/



Pan Mohamad Faiz 
Alumnus Hukum 
University of Delhi,

Jumat, 24 Juli 2009

Gawat, Banyak ABG Jatuh ke Pelukan PSK

MALANG, KOMPAS.com — Satpol PP akan menyisir pelajar yang keluyuran di lokalisasi. Ini peringatan bagi para orangtua agar selalu waspada dengan perilaku anak-anaknya. Data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Malang menyebut, saat ini terjadi kenaikan jumlah penderita HIV dan AIDS berusia 14-18 tahun yang ditengarai karena seringnya mereka mencoba seks bebas di lokalisasi.

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Malang dr Agus W Arifin menuturkan, kenderungan adanya kenaikan ‘konsumsi’ pekerja seks komersial (PSK) oleh pelajar ini terdeteksi dari peningkatan jumlah korban HIV dan AIDS. Meski relatif kecil, fakta menunjukkan demikian.

“Penyebabnya karena anak-anak yang harusnya menghabiskan waktunya untuk belajar itu sudah mulai menjajal seks bebas ke lokalisasi,” kata Agus di sela lokakarya penyusunan restra lima tahun (2009-2014) KPA Kabupaten Malang di Hotel Margosuko, Kamis (23/7).

Menghadapi masalah ini, Dinkes akan membentuk tim terpadu dan memberi kewenangan penuh pada Satpol PP agar menyisir para pelajar yang keluyuran di lokalisasi atau tempat-tempat lain saat jam sekolah. “Kami akan melibatkan satpol, dindik, dan dispora,” paparnya.

Ia berpendapat, pemerintah dan semua pihak terkait sebaiknya menggunakan pendekatan dengan bimbingan, bukan hukuman. Diharapkan, dengan metode ini, bisa memutus rantai atau meminimalisasi jumlah penderita HIV dan AIDS usia remaja. “Kami akan meminta pengelola wisma di lokalisasi serta PSK agar menolak melayani anak-anak sekolah,” katanya.

Agus menandaskan, bagaimana teknis ‘pencekalan’ pelajar masuk lokalisasi itu kini masih dibahas. Dan, sebelum itu diterapkan, sebaiknya sekolah dan orangtua benar-benar ketat mengawasi anaknya yang sembunyi-sembunyi mengunjungi lokalisasi.

Sesuai data KPA Kabupaten Malang, jumlah penderita HIV dan AIDS sejak 1991 hingga Juni 2009 mencapai 370 penderita dan dengan 98 orang di antaranya meninggal. Namun Dinkes meyakini, 370 ini baru data yang terpantau. Mereka memperkirakan masih ada 3.700 penderita yang tak terdeteksi.

Kabag Bina Mental dan Rohani Kabupaten Malang E Hafi Lutfi mengajak tokoh agama dan masyarakat membantu menyadarkan keluarga akan bahaya seks bebas bagi anak. Ia telah berkoordinasi dengan MUI dan Depag guna ikut menyebarkan informasi bahaya pergaulan bebas
Source:www.kompas.com //24 Juli 2009.
Apakah negara Indonesia telas sampai pada puncak konsumerisme??

Perambahan Ilegal Ancam Habitat Gajah Sumatra

BENGKULU--MI: Tindakan perambahan kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) fungsi khusus Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat, tidak hanya melanggar peraturan tetapi mengancam keberadaan satwa dilindungi gajah sumatra (Elephas maximus). 

Demikian ditegaskan Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu Andy Basrul, Kamis (23/7). Pembukaan kawasan tersebut mengancam keberadaan 60 ekor gajah liar saat ini masih hidup bebas di kawasan seluas 6.800 ha tersebut. 

"Perambahan menjadi salah satu dari sekian ancaman lain terhadap keberlanjutan gajah sumatra yang hidup di Bengkulu,"katanya. 

Lebih dari 50 persen kawasan PLG Seblat kata dia sudah dirambah atau tidak berbentuk hutan namun hanya sebagian kecil yang ditanami sawit oleh perambah. Hal itu karena kebun sawit milik perambah sering dirusak oleh gajah dan tanamannya dimakan. 

"Tapi perambah tetap nekat, makanya kami mengkhawatirkan perambahan ini tidak hanya melanggar peraturan tapi gajah-gajah ini juga terancam tersingkirkan,"katanya. 

Untuk melestarikan habitat gajah tersebut, BKSDA menggelar operasi terhadap perambah dengan menebang sawit yang ditanam di kawasan hutan. Selanjutnya kata Andy, BKSDA akan membangun menara pantau di kawasan tersebut untuk melindungi kawasan dari perambahan dan perburuan terhadap gajah dan satwa dilindungi lainnya. 

Koordinator PLG Seblat, Aswin Bangun mengatakan fragmentasi kawasan PLG Seblat membuat keberadaan gajah sumatra semakin terancam. Kondisi tersebut diperparah dengan perambahan yang semakin marak di kawasan HPT Lebong Kandis yang berbatasan dengan PLG Seblat yang merupakan hutan koridor yang menghubungkan PLG Seblat dengan Taman Nasional Kerinci Seblat. 

"Apalagi pembukaan jalan poros sepanjang 6,5 km di dalam PLG untuk angkutan sawit milik PT Alno sangat mengganggu habitat gajah," katanya. 

Jalan poros tersebut juga memperluas akses bagi aktivitas ilegal perburuan gajah sumatra. Aswin mengatakan saat ini terdapat 21 ekor gajah jinak yang dibina BKSDA dan 60 ekor lebih gajah liar

Source :www.mediaindonesia.com//24 Juli 2009.

Selasa, 21 Juli 2009

Membenahi pengelolaan energi primer

Terhadap permasalahan energi yang dalam beberapa tahun terakhir ini terjadi di Tanah Air, perhatian dari sebagian besar kita barangkali cenderung hanya terfokus pada apa yang tampak secara kasat mata. 

Misalnya adanya pemadaman listrik bergilir, terjadinya kelangkaan minyak tanah atau elpiji, dan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) atau tarif listrik. 

Apa yang sesungguhnya menjadi penyebab atau akar masalah dari semua itu? Tak banyak yang memberi perhatian lebih. Kalaupun kemudian mencoba untuk memahami mengapa semua itu terjadi, yang muncul justru kebingungan atau semacam perasaan 'tak habis pikir'. 

Bagaimana mungkin negara dengan sumber energi yang beraneka ragam dan cukup melimpah ini mengalami krisis energi, tak bisa memenuhi kebutuhan energi untuk rakyatnya sendiri? 

Sesungguhnya apa yang kita saksikan dan rasakan bersama seperti halnya kelangkaan energi itu adalah hanya merupakan bagian ujung akhir di dalam tahapan pengelolaan sektor energi nasional yang ada. 

Bagian hilir, yang sesungguhnya sangat terkait erat dengan bagian hulu dan sekaligus merupakan cerminan dari apa yang sebenarnya terjadi di sisi hulunya. 

Dengan kata lain, tampilan sektor energi nasional di sisi hilir yang memprihatinkan sebagaimana yang kita lihat dan rasakan bersama itu tak lain sejatinya adalah perwujudan dari 'sesuatu' yang buruk juga di sisi hulunya. 

'Sesuatu' yang dimaksudkan dalam konteks ini tak lain adalah pengelolaan sumber-sumber energi primer seperti halnya minyak bumi, gas alam, dan batu bara, yang sampai saat ini masih merupakan tiga yang utama di negeri ini. 

Pengelolaan hulu minyak bumi dan gas alam (migas), selama ini diselenggarakan melalui kontrak kerja sama (KKS) atau yang sebelumnya lebih dikenal dengan kontrak bagi hasil (production sharing contract, PSC). 

Di dalam kontrak-kontrak yang ada, hampir seluruhnya memberikan kebebasan bagi para kontraktornya untuk dapat menjual atau mengekspor hasil produksinya ke mana saja, tanpa pemerintah berhak untuk melarang ataupun mencegahnya. 

Sangat kecil 

Ada ketentuan mengenai domestic market obligation (DMO) di dalam kontraknya yang mengatur kewajiban untuk menjual sebagian hasil produksi untuk kebutuhan domestik, tetapi secara kuantitatif jumlahnya sangat kecil, yaitu rata-rata hanya berkisar 15%-25% dari produksi migas yang menjadi bagian dari kontraktor setelah dikurangi cost recovery. 

Jadi, bukan 15%-25% dari keseluruhan hasil produksi sebagaimana yang sering dipahami banyak kalangan selama ini. Kewajiban itu pun, atas nama insentif fiskal untuk menarik investasi, untuk jangka waktu setidaknya 5 tahun dari awal produksi, sebagian besar sudah ditiadakan, atau yang kita kenal dengan istilah DMO holiday. 

Atas nama insentif fiskal juga, untuk mendapatkan migas yang di-DMO-kan itu pun, kita ternyata juga tidak bisa mendapatkannya dengan gratis atau dengan harga lebih murah, karena yang diberlakukan adalah harga pasar. 

Inilah yang sesungguhnya yang menyebabkan mengapa kita sebagai negara pengekspor migas, juga pada saat yang sama harus menjadi pengimpornya. 

Kita secara de facto sesungguhnya tak punya kuasa untuk mencegah ekspor migas dilakukan karena sistem pengelolaan yang kita anut dan terapkan memang memberikan kebebasan bagi para produsennya untuk melakukan itu. 

Dan karena kita lebih sering mengimpornya kembali dengan harga yang lebih mahal, keseluruhan biaya pengadaan BBM dan elpiji di dalam negeri pun menjadi lebih tinggi daripada semestinya. 

Konsekuensinya, pada saat keuangan negara tak lagi cukup untuk menutupi biaya itu, karena harga komoditas tersebut di pasar internasional sedang tinggi misalnya, yang tersisa tinggallah pilihan-pilihan yang pahit bagi rakyat seperti harga BBM atau tarif listrik atau harga elpiji naik, atau listrik mati dan elpiji langka karena pasokan energi primernya tak memadai. 

Hal yang sama juga terjadi pada pengelolaan hulu batu bara. Sebagian besar dilakukan melalui sistem Perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B), di dalamnya hanya mewajibkan kontraktor untuk menyerahkan 13,5% dari hasil produksi batu baranya kepada pemerintah melalui BUMN yang berkontrak. 

Namun, hal itu tidak dalam bentuk barang (inkind) tetapi dalam uang dari hasil penjualan, sehingga secara fisik, keberadaan batu bara tersebut di Tanah Air tidak selalu benar-benar ada manakala ekspor sudah dilakukan oleh para kontraktor batu bara tersebut. 

Inilah yang selama ini terjadi sehingga dari keseluruhan produksi batu bara nasional yang mencapai 183 juta ton pada 2008, untuk mencukupi kebutuhan batu bara PLN yang mencapai 30 juta ton saja kita tak mampu memenuhi tanpa harus mengimpor lagi. 

Ketika harga batu bara di pasar internasional melonjak dan anggaran subsidi listrik PLN terbatas, kemudian yang terjadi adalah PLN tak mampu membeli batu bara tersebut sehingga pembangkit listrik berbahan bakar batu bara tak dapat dioperasikan secara optimal. Akibatnya, sudah sangat sering kita rasakan bersama, pemadaman listrik bergiliran. 

Becermin dari hal itu, maka pembenahan pengelolaan sumber energi primer melalui penerapan aturan DMO yang lebih tegas mutlak segera dilakukan. 

Dalam hal DMO migas, keberanian untuk menerapkannya kembali pada kontrak-kontrak baru dan bilamana perlu mengubah beberapa kontrak lama yang sudah berjalan semestinya menjadi suatu langkah konkret yang segera diimplementasikan. 

Dalam hal DMO batu bara, selain langkah tersebut, penerbitan peraturan pemerintah yang menetapkan besaran DMO yang lebih besar, di atas 30% misalnya, semestinya juga dapat dilakukan dengan segera mengingat urgensinya yang terkait dengan proyek listrik 10.000 megawatt. 

Kedua langkah ini jika diterapkan dengan segera tidak saja akan dapat lebih menjamin terpenuhinya pasokan energi primer bagi domestik secara lebih baik dan lebih murah, tetapi juga pada akhirnya akan menyelesaikan permasalahan hilir sektor energi yang ada secara lebih mendasar. 

Hal itu sesungguhnya tak lain adalah salah satu wujud dari pelaksanaan amanat konstitusi UUD 1945 yang secara jelas memang menyatakan bahwa bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus 'dikuasai oleh negara', dan bukan 'dikuasai oleh kontraktor', terlebih kontraktor asing. 

Semoga pemerintahan yang baru nantinya mampu melaksanakannya. 

URL Source: http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL

Tjatur Sapto Edy
Anggota Komisi VII FPAN DPR

Jumat, 17 Juli 2009

Tribut untuk Mahkamah Konstitusi

Oleh: Satjipto Rahardjo 

  
Merinding juga membaca laporan Kompas (8/7/2009) terkait reaksi Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD saat mendengar pemilu mungkin ditunda bahkan ada calon presiden siap mengundurkan diri.


”Waduh, kalau begini, situasi sudah menjadi gawat,” begitu pikiran Ketua MK sebagaimana dilaporkan Kompas. Maka, sang Ketua, yang saat itu sedang ada di Yogyakarta, segera terbang ke Jakarta. Mahfud segera mengumpulkan para hakim MK untuk mengadakan rapat darurat pada Senin (6/7) dimulai pukul 09.15.

Pertemuan yang berlangsung kurang dari 10 menit itu sepakat untuk membolehkan kartu tanda penduduk (KTP) dipakai untuk mencontreng. Pada hari itu juga MK mengeluarkan putusannya yang monumental tersebut (No 102/PUU-VII/2009).

 Laporan Kompas perlu dikutip agak rinci karena saya ingin menggambarkan bagaimana dramatisnya keadaan saat itu. Adnan Buyung Nasution tidak dapat tidur memikirkan perkembangan yang mendadak itu. ”Kita sungguh merasa malu terhadap bangsa-bangsa lain,” ujarnya.

Selamatkan bangsa

Gerakan MK dapat disebut ”usaha untuk menyelamatkan bangsa”. Saya berharap fakultas- fakultas hukum mengangkat kasus putusan MK itu sebagai topik kajian penting dalam sejarah negeri ini. Alasan-alasannya dipaparkan berikut ini.

Pertama, MK sudah memberi pelajaran yang amat berharga kepada bangsa ini tentang lika-liku penegakan hukum, atau lebih khusus tentang pengambilan putusan oleh pengadilan. Para hakim MK tidak mengikuti prosedur hukum formal atau business as usual. Mereka tergugah nasionalismenya dan mempraktikkan cara berhukum yang progresif.

Kedua, pembelajaran, bahwa hukum tidak berdiri secara otonom penuh, tetapi merupakan bagian integral dengan kehidupan bangsa dan dengan demikian suka-duka bangsanya. Hakim Agung Amerika Serikat, Oliver Wendell Holmes, yang legendaris itu, mengatakan, hukum suatu bangsa embodies the story of a nation’s development through many centuries. Hakim tidak berdiri di luar, tetapi benar-benar menjadi bagian bangsanya, ikut merasakan sekalian suka dan dukanya. Pengadilan itu bukan institut yang steril.

Ketiga, menurut MK, hakim atau pengadilan tidak hanya memutus berdasar teks undang-undang dan hanya menggunakan akal pikiran atau logika hukum, tetapi dengan seluruh kapasitas nuraninya, seperti empati, kejujuran, dan keberanian. Dengan bekal itu, maka sesekali, jika keadaan memaksa, ia akan melakukan rule breaking.

Mengangkat citra

Ketua MK yang melihat keadaan sudah gawat, kemudian berani mengambil putusan untuk menyelamatkan keadaan, sungguh amat pantas untuk diacungi jempol. Sekaligus Mahfud MD sedikit banyak sudah mengangkat kembali citra pengadilan yang selama ini kian merosot. Ia membuktikan secara konkret bahwa pengadilan Indonesia masih memiliki rasa-perasaan (conscience of the Court).

Kita sungguh bersalah manakala menyinggung putusan MK itu hanya disinggung secara sepintas. Mungkin kita perlu mendirikan monumen agar orang selalu mengingat bahwa pada suatu hari dalam sejarahnya, Indonesia pernah memiliki pengadilan yang bekerja dengan penuh kehormatan, turut merasakan penderitaan bangsanya dan menyelamatkan bangsa dari situasi yang gawat. 

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/07/14/03354673/tribut.untuk.mahkamah.


Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Undip, Semarang 
  Keterangan Artikel  


 

Lanjutkan (Membunuh) KPK

Oleh: Saldi Isra 

  
Komisi Pemberantasan Korupsi tengah berjuang menghadapi sakratulmaut. Bukan tidak mungkin, ”malaikat maut” segera mencabut nyawa KPK, lembaga yang ditakuti dan dibenci para koruptor.


Jamak diketahui, meski masih ada banyak catatan, KPK berhasil menyentuh hampir semua episentrum korupsi yang selama ini sulit dijangkau lembaga penegak hukum konvensional. Diakui atau tidak, sepanjang sejarah penegakan hukum di negeri ini, belum pernah ada capaian pemberantasan korupsi sebagaimana terjadi selama terbentuknya KPK.

Dengan sepak terjang KPK, banyak kalangan merasa gerah. Terlebih saat KPK masuk ke wilayah-wilayah yang selama ini mempunyai posisi politik amat kuat, termasuk penangkapan sejumlah anggota DPR yang terlibat kasus korupsi.

Dari catatan yang ada, sebenarnya kegerahan atas langkah KPK bukan hanya muncul belakangan. Resistensi sudah muncul sejak KPK menjamah kasus-kasus besar (skandal) korupsi. Karena resistensi lebih banyak datang dari mereka yang tersangkut kasus korupsi, isu corruptors fight back cukup untuk menghadapinya.

Namun, ketika kegerahan masuk wilayah para pengambil keputusan, eksistensi KPK benar-benar terancam. Misalnya, bagaimana proses seleksi calon pimpinan KPK generasi kedua menyingkirkan sebagian figur yang dikenal memiliki keberanian, integritas, dan kompetensi dalam proses fit and proper test di DPR. Atau dengan cara lain, melalui proses legislasi, hingga kini RUU Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) masih jauh dari selesai.

Upaya membunuh KPK

Terkuaknya dugaan keterlibatan Antasari Azhar dalam pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen memberi dampak luar biasa atas eksistensi KPK. Melihat gejala yang ada, skandal kematian Nasrudin potensial menjadi menjadi titik balik sekaligus menjadi serangan balik terhadap KPK. Sejak skandal itu, upaya membunuh KPK sepertinya berjalan secara sistematis.

Masih segar dalam ingatan kita, betapa bernafsunya sebagian anggota DPR untuk menghentikan semua upaya penegakan hukum yang akan dilakukan KPK. Argumentasi yang digunakan cukup sederhana, dengan nonaktifnya Antasari Azhar, pimpinan KPK tidak lagi memenuhi syarat kolektif sebagaimana diisyaratkan Pasal 21 UU KPK. Bagi mereka, kolektif harus berjumlah lima orang. Jika pimpinan kurang dari lima, KPK tidak dapat lagi menjalankan kewenangan untuk melakukan penyidikan atau penuntutan.

Beruntung, argumentasi itu dibantah sebagian anggota DPR yang lain. Karena itu, ibarat menepuk air di dulang, argumentasi kolektivitas yang digunakan sebagian anggota DPR itu akhirnya memercik ke muka sendiri. Argumentasi kolektif itu lebih banyak datang dari anggota DPR yang selama ini bersuara miring terhadap eksistensi KPK.

Tidak lazim

Belum usai keterperangahan publik menghadapi upaya pembunuhan KPK melalui argumentasi pimpinan kolektif, tiba-tiba BPKP melakukan langkah tidak lazim: berupaya mengaudit KPK. Padahal, sebagai auditor internal pemerintah, BPKP sama sekali tak berwenang mengaudit lembaga independen, termasuk KPK. Ketidaklaziman tindakan BPKP ini terasa kian aneh saat Kepala BPKP Didi Widayadi menyatakan rencana mengaudit KPK dilakukan atas perintah Presiden. Meskipun Yudhoyono membantah pernyataan itu, sulit dipercaya bahwa tindakan BPKP atas inisiatif sendiri.

Dari semua upaya yang ada, tindakan yang dilakukan kepolisian benar-benar masuk ke jantung pertahanan KPK. Pada akhir Juni lalu, Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah diperiksa sebagai saksi dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Hasil pemeriksaan itu belum tentu membuat kasus pembunuhan kian terang. Yang dirasakan publik, pemeriksaan Chandra Hamzah sepertinya sedang bergerak menuju pendulum berbeda.

Dalam hal ini, menarik menyimak pendapat Ketua Pengurus Masyarakat Transparansi Indonesia Hamid Chalid (Kompas, 2/7), polisi seolah bicara kasus Antasari, tetapi jangan-jangan semacam preemtive action. Kecurigaan Hamid bukan tanpa alasan karena polisi amat agresif mempersoalkan kewenangan penyadapan KPK. Yang paling meresahkan dan menakutkan, sedang dibangun upaya sistemik berupa kriminalisasi atas kewenangan penyadapan yang dilakukan KPK.

Lanjutkan KPK

Merujuk tenggat yang terjadi, hampir semua langkah untuk membunuh KPK terjadi dalam masa-masa menuju pemilihan umum presiden 8 Juli. Aneh sekaligus mengherankan, tidak ada calon presiden yang memberi dukungan (terbuka) bagi KPK. Jangankan dukungan, rasa prihatin saja tak keluar dari para calon presiden.

Selain itu, masalah-masalah krusial lain yang berhubungan erat dengan pemberantasan korupsi juga tidak mendapat solusi dan dukungan terbuka. Salah satunya, isu krusial dalam RUU Pengadilan Khusus Tipikor, yaitu komposisi hakim ad hoc. Sepanjang masa kampanye, tidak ada calon presiden yang berani secara nyata menyatakan mempertahankan komposisi hakim ad hoc yang ada saat ini.

Karena itu, secara jujur harus diakui, agenda pemberantasan korupsi yang ditawarkan calon presiden dalam masa kampanye lalu jauh tertinggal jika dibandingkan dengan tahun 2004. Padahal, ancaman korupsi tidak kalah seriusnya dibandingkan dengan lima tahun lalu. Masalahnya, jika dalam suasana menuju pemilihan presiden saja sulit meraih komitmen untuk meneruskan dan meningkatkan agenda pemberantasan korupsi (termasuk dukungan bagi KPK), pasca-8 Juli bisa menjadi semakin sulit.

Yang terasa, saat ini agenda pemberantasan korupsi sedang dalam masa sulit. Meski demikian, kita tidak boleh menyerah pada segala upaya yang bermuara pada melemahnya agenda memberantas korupsi. Karena itu, sebagai pasangan yang mendapat dukungan terbesar pada 8 Juli lalu, Yudhoyono-Boediono punya tanggung jawab besar dan tidak boleh surut dalam memberantas korupsi.

Diyakini, kepercayaan pemilih (terutama bagi Yudhoyono) untuk meneruskan pemerintahan pada periode kedua harus dibaca dan dimaknai sebagai perpanjangan amanat untuk melanjutkan agenda pemberantasan korupsi. Artinya, eksistensi KPK harus dilanjutkan dan jangan lanjutkan (lagi) segala macam upaya yang dapat membunuh KPK. 

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/07/14/03440594/lanjutkan.membunuh.kpk


Saldi Isra Dosen Hukum Tata Negara; Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Minggu, 12 Juli 2009

PM Turki: Cina Lakukan Holocaust di Xinjiang


Perdana Menteri Turki Recep Tayep Erdogan mengecam aksi kekerasan yang terjadi di wilayah Xinjiang yang dilakukan militer China terhadap penduduk wilayah itu yang mayoritas Muslim dan berasal dari etnik Tuskistan Timur atau Uighur. Erdogan bahkan menyebut aksi kekerasan tersebut sebagai pembantaian massal atau Holocaust. "Sebuah peristiwa pembantaian massal tengah terjadi di wilayah Xinjiang di barat laut China yang mayoritas penduduknya adalah Muslim," kata Erdogan.

Dalam sebuah wawancaranya pada Jum'at (10/7) kemarin di kanal televisi Turki NTV, Erdogan juga menyebut tak ada kata-kata lain untuk tindakan represif yang dilakukan keamanan Cina di Uighur kecuali hal tersebut adalah pembantaian etnis secara besar-besaran. Sebagaimana dilansir oleh beberapa media, menyusul demonstrasi yang dilakukan rakyat Uighur pada beberapa hari lalu yang berbuntut kerusuhan tersebut, pemerintahan Cina telah menculik lebih dari 1434 Muslim Uighur. Sementara itu, jumlah korban yang mati dalam peristiwa memilukan itu mencapai 156 jiwa, sementara 800 lainnya luka-luka.

Terkait kasus tersebut, Erdogan juga menyerukan pemerintahan Cina untuk ikut turun tangan menangani kasus tersebut agar tak lagi banyak korban yang menyusul berjatuhan. Turki memiliki sebuah kedekatan yang istimewa dengan etnik Uiguhur. Keduanya disatukan oleh kesamaan rumpun etnik (Turki modern berasal dari ras Turk begitu juga Uighur, mereka adalah ras Turkistan Timur), bahasa, dan kebudayaan.

Wilayah ras, bahasa, dan budaya Turki sendiri saat ini membentang mulai dari Turki (modern) di Asia Minor (Anatolia), Kaukasus, Asia Tengah (meliputi Turkmeneistan, Kazakhstan, Uzbekistan, Tajikistan, Kyrgistan) hingga Uighur di Xinjiang sebagai ujung batas wilayah timur. Maka, rakyat Uighur yang nota benenya adalah ras-bangsa Turki, jelas tidak memiliki keterkaitan apa pun dengan Cina yang mayoritas penduduknya adalah bangsa Han. Cina jelas-jelas menjajah Uighur.

Sebagai bentuk protes atas apa yang dilakukan Cina kepada ras serumpun Turki, menteri teknologi Turki pun memutuskan untuk memboikot semua produk Cina.

Beberapa hari yang lalu, pemerintahan Turki juga mengumumkan pihaknya akan memberikan visa kepada para pemimpin Uighur, khususnya Rabiah Kadir yang saat ini berada di Amerika. (L2/alm)