Kamis, 30 Juli 2009

Ekonomi Berbasiskan Hasil

Oleh: Rhenald Kasali 

  
TAK lama setelah mengisi sesi inspirasi bagi sekitar 750 orang mahasiswa calon wirausaha di kota Manado yang digelar Bank Mandiri,seorang usahawan senior menyatakan kekagumannya terhadap kemajuan ekonomi di kota ini. 

Manado sudah kembali bersih dan tertib. Setelah sukses melaksanakan konferensi kelautan tingkat dunia, sebentar lagi akan dilaksanakan kegiatan Sail Bunaken. Jumlah hotel berbintang empat dan lima pun meningkat pesat. Kalau dulu cuma ada tiga sampai empat hotel berbintang, kini di mana-mana ditemui hotel berbintang yang ternyata selalu penuh. 

Manado telah berubah, merebut posisinya sebagai kota konferensi yang sejajar dengan Jakarta, Bali,Yogyakarta, dan Bandung. Meski harga tiket pesawat menuju kota ini masih mahal—karena jarak tempuhnya yang panjang— peminatnya tidak surut. 

Setiap kali kita menyaksikan ketertiban suatu kota dan kemajuan perekonomiannya, selalu kita bertanya siapa pemimpinnya? Siapa wali kotanya, dan siapa gubernurnya? Tetapi setiap kali kita hendak membanggakan mereka, kita selalu menemukan kegetiran karena salah satu dari mereka telah ditangkap karena perkara korupsi. Apa yang sebenarnya tengah terjadi di negara ini? 

Process-Based Economy 

Setiap negara yang baru memulai take-off selalu saja confused membedakan antara process-based economy dan result-based economy. Mereka yang merindukan ketertiban dan kepastian sudah pasti akan memilih yang pertama, sedangkan mereka yang merindukan prestasi (hasil) memilih yang kedua. 

Pertarungan antara kedua mazhab itu dalam ilmu manajemen sebenarnya sudah lama terjadi, namun bunyinya halus sekali. Maklumlah, di negara-negara maju dikotomi antara keduanya sudah tidak jadi masalah dalam kehidupan sehari-hari. Di negaranegara maju itu, konteks masyarakat dan hukumnya sudah sangat tertib dan transparan. Semua kegiatan jelas arahnya dan jelas hasilnya. 

Di lingkungan yang tertib itu segala sesuatu dapat diramalkan (predictable). Jarang terjadi keputusan-keputusan atau kejadian-kejadian yang mengejutkan dan banyak hal telah menjadi rutin.Mereka telah berhasil menggunting banyak benang kusut (red tapes) atau proses yang berlikuliku. Belenggu-belenggu telah dibebaskan dan pelaku-pelaku usaha merasakan manfaat dari kepatuhan. 

Demikian juga aparat birokrasinya. Mereka semua bekerja bersemangat dan senang karena semuanya jelas dan mudah ditelusuri. Maka bila semua proses itu diikuti dan prosesnya benar, hasilnya pun bagus, benar, dan sesuai yang diharapkan. 

Hal seperti itu tampaknya tidak terjadi di sini. Lagi-lagi kita copy-paste, menjiplak konsep, tetapi kita lupa bahwa prasyaratprasyaratnya berbeda sama sekali. Kita tentu tidak bisa melakukan copy-paste suatu program kalau operating system-nya tidak sama. 

Chaotic Society 

Setiap kali hendak menerapkan suatu konsep, penting bagi para pemimpin menerjemah kan konteksnya. Konteks itu adalah iklim yang menjelaskan prasyarat-prasyarat yang diperlukan agar konsep itu bisa berjalan dengan baik. Tanaman kopi yang tumbuh subur di dataran tinggi Takengon, Aceh, tidak secara otomatis dapat tumbuh subur di dataran rendah pesisir Ibu Kota. 

Demikian pula dengan konsep-konsep manajemen. Bagi para praktisi bisnis yang berpengalaman, Indonesia dengan jelas dapat dilihat sebagai komunitas yang nyaris tanpa keteraturan. Apalagi kalau Anda membandingkannya secara langsung dengan kondisi usaha di negara-negara yang mengembangkan konsep-konsep manajemen.Terasa sekali kontras keduanya.

Di negeri ini ada banyakhalyangsulitkitaduga, banyak surprise yang ditemui. Bahkan di jalan bebas hambatan (tol) yang secara rutin Anda lewati sekalipun, Anda tidak bisa menebak berapa lama jarak tempuh yang akan Anda lewati.Hari ini bisa ditempuh dalam temposetengahjam,besoktiba-tiba bisa menjadi 2 jam atau stuck sama sekali. 

Demikian pula dengan penerapan aturan,kebijakan atasan, pengangkatan pejabat, dan proses yang harus dilewati untuk mengikuti suatu ketentuan.Bahkan ada pendapat umum yang menyatakan bahwa hanya orang-orang bodoh yang taat peraturan.Atau dengarlah ungkapan ini, ”Kalau dia taat peraturan, hasilnya tidak akan sebaik ini.” 

Walau situasinya chaos, ada cukup banyak orang yang menikmatinya. Mereka yang menikmati situasi itu dapat memanfaatkan ketidakteraturan untuk bersembunyi dan membeli peraturan. Hukum dan ketentuan yang dipakai adalah hukum celah, yaitu mencari peluang dari ketentuan yang berbelit-belit atau prosedur yang tidak konsisten. 

Hal seperti ini tentu tidak dapat dibiarkan berlaku terus-menerus karena sangat menjebak. Anda mungkinsekarangmerasadiuntungkan, tapi sesungguhnya tidak karena tidak ada yang bisa dipegang. Sebaliknya,dalam dunia usaha, dalam jangka panjang kita memang akan diuntungkan karena memiliki pelaku-pelaku usaha yang lebih adaptif, lugas, fleksibel, dan tahan banting. 

Sekali mereka sukses di sini,mereka akan mudah hidup di mancanegara. Sebaliknya, potensi ini akan sangat menyulitkan usahawan dan profesional dari negara-negara yang tertib, stabil,predictable,dan rutin. Itulah dilema berwirausaha dan memimpindisuatu chaoticsociety,di satu pihak menjadi ketidakteraturan dan ketidaktertiban, di lain pihak desain perekonomiannya dirumuskan dengan model yang diterapkan di negara-negara yang mudah diatur dan tertib. 

Mengorbankan Hasil 

Mendebatkan proses dengan hasil ibarat mendebatkan prinsip dasar ekonomi di tingkat persiapan Fakultas Ekonomi, yaitu mendebatkan antara konsep efisiensi dan konsep efektivitas. Efisiensi sangat mengedepan kan penghematan (biaya), yaitu bagaimana mencapai hasil dengan biaya yang serendah-rendahnya. 

Sebaliknya, efektivitas mengedepankan hasil, yaitu bagaimana mencapai hasil yang sebesar-besarnya. Masalahnya, keduanya tidak bisa secara otomatis kita gabungkan menjadi kalimat seperti ini ”mencapai hasil yang sebesarbesarnya dengan biaya yang serendah- rendahnya.”

Demikian pulalah dengan dikotomi proses-hasil dalam chaotic society.Jarang sekali ditemui perekonomian berbasiskan proses yang berhasil mencapai hasil maksimum atau sebaliknya. Banyak kita temui birokrasi yang prosesnya bagus dengan kinerja yang buruk. Sebaliknya, mereka yang berkinerja bagus (seperti para wali kota dan gubernur), tapi mereka kini menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi atau kejaksaan tinggi. Atau minimal mempunyai banyak catatan merah di lembaga-lembaga pengawasan keuangan. 

Apakah yang perlu dilakukan? 

Kita jelas tak menginginkan proses yang baik namun hasilnya buruk atau sebaliknya. Ini jelas merupakan PR penting bagi para pembuat kebijakan, pemimpinpemimpin BUMN, dan pemerintahan daerah. Saya kira, hal mendesak yang perlu dilakukan saat ini adalah mendesain ulang semua proses kebijakan dan peraturan agar semua benang-benang kusut bisa dibuang dan para pemimpin bisa bekerja dengan tenang dan tertib.Kalau ini bisa kita kerjakan,langkah berikutnya baru kita desain bangunan baru organisasi usaha, yaitu struktur yang lebih organik,yang lebih hidup agar mampu bekerja dengan optimal.(*) 

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/258730/



RHENALD KASALI 
Ketua Program MM UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar