Jumat, 17 Juli 2009

Tribut untuk Mahkamah Konstitusi

Oleh: Satjipto Rahardjo 

  
Merinding juga membaca laporan Kompas (8/7/2009) terkait reaksi Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD saat mendengar pemilu mungkin ditunda bahkan ada calon presiden siap mengundurkan diri.


”Waduh, kalau begini, situasi sudah menjadi gawat,” begitu pikiran Ketua MK sebagaimana dilaporkan Kompas. Maka, sang Ketua, yang saat itu sedang ada di Yogyakarta, segera terbang ke Jakarta. Mahfud segera mengumpulkan para hakim MK untuk mengadakan rapat darurat pada Senin (6/7) dimulai pukul 09.15.

Pertemuan yang berlangsung kurang dari 10 menit itu sepakat untuk membolehkan kartu tanda penduduk (KTP) dipakai untuk mencontreng. Pada hari itu juga MK mengeluarkan putusannya yang monumental tersebut (No 102/PUU-VII/2009).

 Laporan Kompas perlu dikutip agak rinci karena saya ingin menggambarkan bagaimana dramatisnya keadaan saat itu. Adnan Buyung Nasution tidak dapat tidur memikirkan perkembangan yang mendadak itu. ”Kita sungguh merasa malu terhadap bangsa-bangsa lain,” ujarnya.

Selamatkan bangsa

Gerakan MK dapat disebut ”usaha untuk menyelamatkan bangsa”. Saya berharap fakultas- fakultas hukum mengangkat kasus putusan MK itu sebagai topik kajian penting dalam sejarah negeri ini. Alasan-alasannya dipaparkan berikut ini.

Pertama, MK sudah memberi pelajaran yang amat berharga kepada bangsa ini tentang lika-liku penegakan hukum, atau lebih khusus tentang pengambilan putusan oleh pengadilan. Para hakim MK tidak mengikuti prosedur hukum formal atau business as usual. Mereka tergugah nasionalismenya dan mempraktikkan cara berhukum yang progresif.

Kedua, pembelajaran, bahwa hukum tidak berdiri secara otonom penuh, tetapi merupakan bagian integral dengan kehidupan bangsa dan dengan demikian suka-duka bangsanya. Hakim Agung Amerika Serikat, Oliver Wendell Holmes, yang legendaris itu, mengatakan, hukum suatu bangsa embodies the story of a nation’s development through many centuries. Hakim tidak berdiri di luar, tetapi benar-benar menjadi bagian bangsanya, ikut merasakan sekalian suka dan dukanya. Pengadilan itu bukan institut yang steril.

Ketiga, menurut MK, hakim atau pengadilan tidak hanya memutus berdasar teks undang-undang dan hanya menggunakan akal pikiran atau logika hukum, tetapi dengan seluruh kapasitas nuraninya, seperti empati, kejujuran, dan keberanian. Dengan bekal itu, maka sesekali, jika keadaan memaksa, ia akan melakukan rule breaking.

Mengangkat citra

Ketua MK yang melihat keadaan sudah gawat, kemudian berani mengambil putusan untuk menyelamatkan keadaan, sungguh amat pantas untuk diacungi jempol. Sekaligus Mahfud MD sedikit banyak sudah mengangkat kembali citra pengadilan yang selama ini kian merosot. Ia membuktikan secara konkret bahwa pengadilan Indonesia masih memiliki rasa-perasaan (conscience of the Court).

Kita sungguh bersalah manakala menyinggung putusan MK itu hanya disinggung secara sepintas. Mungkin kita perlu mendirikan monumen agar orang selalu mengingat bahwa pada suatu hari dalam sejarahnya, Indonesia pernah memiliki pengadilan yang bekerja dengan penuh kehormatan, turut merasakan penderitaan bangsanya dan menyelamatkan bangsa dari situasi yang gawat. 

URL Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/07/14/03354673/tribut.untuk.mahkamah.


Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Undip, Semarang 
  Keterangan Artikel  


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar