Kamis, 30 Juli 2009

Orientasi Pembangunan

Orientasi Pembangunan 
   
Oleh: Ivan A Hadar 

  
Selama kampanye, pasangan SBY-Boediono setidaknya melontarkan 15 janji. Kini pasangan ini sudah dinyatakan memenangi Pilpres 2009.


Janji-janji itu antara lain pertumbuhan ekonomi, penurunan angka kemiskinan dan pengangguran, perbaikan pendidikan, infrastruktur, kesehatan, dan ketersediaan energi. Juga ada janji swasembada pangan, pemeliharaan lingkungan, penguatan pertahanan dan keamanan, reformasi birokrasi, pemberantasan korupsi, penguatan otonomi daerah, penegakan HAM, dan peningkatan peran Indonesia di dunia internasional.

Selama masa kampanye, menguat pula perdebatan ideologi (ekonomi) yang diusung para capres-cawapres. Selain ”baru”, hal ini dirasa perlu untuk mencari kejelasan orientasi pembangunan lima tahun ke depan. Harus diakui, sejak Reformasi, pembangunan dibiarkan mengalir tanpa orientasi.

Krisis teori

Orientasi jangka pendek dan pragmatis elite era Reformasi juga mempersulit pencapaian konsensus bersama sebagai basis pencarian teoretis atas orientasi pembangunan. Sebenarnya, ”krisis teori” (Beck, 2000) disinyalir telah menjadi fenomena global sejak runtuhnya negara-negara komunis. Selain tiadanya alternatif bagi kapitalisme dan kini didominasi genre neoliberal, secara sederhana krisis teori juga disebabkan empat hal.

Pertama, sebagai teori, modernisasi ataupun dependensia tidak perlu menganalisis diferensiasi di ”Dunia Ketiga”. Padahal, perbedaan antara empat ”Macan Asia” dengan negara kapitalis penghasil minyak dan negara agraris di Afrika amat signifikan. Tidak mungkin memasukkan semua negara dalam kategori ”Dunia Ketiga”. Asumsi tentang kesamaan struktur sosial-ekonomi di periferi dan berbagai teori tentang prasyarat pembangunan dianggap usang dan tidak sesuai kenyataan.

Kedua, dalam perdebatan tentang negara industri baru, ditemukan hal berikut. Meski akhir-akhir ini sempat dilanda krisis, menanjaknya Korea Selatan dalam 30 tahun dan mampu bersaing dengan negara-negara industri maju tidak dapat diterangkan dengan teori yang ada. Menurut teori dependensia, pengintegrasian sebuah negara ke pasar dunia hanya ”memicu keterbelakangan”.

Ternyata, Korea Selatan menghasilkan aneka kemajuan. Fenomena yang tak bisa diterangkan teori modernisasi, yang semula menyebut ”Etika Konfusius” sebagai penyebab keterbelakangan, lalu—setelah mengamati keberhasilan Empat Macan Asia—berbalik menyebut etika itu sebagai prasyarat keberhasilan. Hal sama juga terjadi pada asumsi ekonomi pembangunan klasik: awalnya mempropagandakan bahwa reduksi peran negara berdampak positif bagi pembangunan, lalu menyebut intervensi negara sebagai prasyarat percepatan pertumbuhan ekonomi.

Ketiga, aneka tampilan krisis ekologi menunjukkan keterbatasan model pembangunan industrial, baik yang mengacu paham sosialisme dalam tradisi Marx dan Lenin maupun paham neoklasik menurut Smith dan Ricardo atau neo-Keynesian.

Keempat, kegagalan teori adalah kandasnya segala bentuk utopia dan model berbagai teori pembangunan. Teori pembangunan tidak hanya mencoba menerangkan (under) development, tetapi juga memberi rancangan sosial-politik serta strategi pembangunan. Namun, baik model sosialistis ala Kuba atau Nikaragua maupun model neoklasik ala Cile atau ”jalan alternatif” seperti Ujama di Tanzania, menurut pengkritik teori Ulrich Menzel (2001), tidak membawa perbaikan nyata bagi kebanyakan penduduk.

Selama ini, krisis teori memengaruhi diskusi kebijakan pembangunan. Dalam kaitan itu, perlu dibedakan dua level diskusi, level teori dan level politik praktis. Dalam level teori, ditandai hilangnya dogmatisme. Kini, selain ekonom neoklasik dengan kepercayaan butanya kepada pasar bebas yang diyakini mampu mengatur segalanya, tak seorang pun mengaku memegang kebenaran mutlak. Jika dulu semua terpaku dikotomi metropol-periferi, atau masyarakat modern-tradisional, kini dimungkinkan analisis lebih beragam. Kompleksitas (under) development hanya bisa digambarkan secara utuh setelah menelusuri sejarah kolonial sebuah negara, menganalisis dampak pasar global dan pengaruh aneka faktor lokal.

Pluralisme teori

Kini, studi dengan pendekatan pluralisme teori mulai banyak dipraktikkan, menghasilkan asumsi yang lebih mendekati kenyataan atau situasi masyarakat.

Emoh teori dan pluralisme teori mengandung bahaya. Semua yang berbau ideologi ditinggalkan sehingga tanpa sadar, kita tak mempunyai pegangan. Yang dilakukan sekadar mengibarkan bendera kecil di pusaran wind of change seusai Perang Dingin. Padahal, angin yang berembus berasal dari arah neoliberal. Dengan begitu, meski harus diakui ada banyak elemen yang mubazir dan salah dalam teori-teori itu, banyak pula yang berguna selain neoliberal.

Contoh konsep heterogenitas struktural. Dalam era globalisasi, hal ini masih penting dan diperlukan guna memahami fenomena keterbelakangan. Konsep ini bisa menerangkan, mengapa berbagai megapolitan negara berkembang sering lebih terkait pasar dunia ketimbang hinterland-nya. Juga konsep modernisasi yang mendiskusikan landreform sebagai persyaratan pembangunan mempunyai nilai pencerahan tinggi. Yang diperlukan adalah mencocokkan aneka teori dan strategi dengan realitas lapangan, tidak sekadar menjadi penganut buta pencetus teori.

Jawaban atas penyebab vakumnya teori dan utopi berbarengan ambruknya model sosialisme negara bisa digali dalam (teori) sosialisme demokratis, anarkisme utopis, dan renungan Gandhi tentang ekonomi autarki. Bahwa semua itu adalah alternatif terhadap logika neoliberalistik, mestinya menjadi alasan optimistik. Sama dengan konsep ”disosiasi”, yang pernah agak mirip diajukan Soekarno berupa proteksi terhadap ekonomi global, tidak hanya berdampak negatif, tetapi pada sisi lain, hal itu membuka kesempatan bagi pembangunan yang mandiri, terbebas dari ”pemaksaan persyaratan perekonomian global”.

Dituding mengusung paham neoliberal, pasangan SBY-Boediono menampik dengan mengatakan ”ekonomi jalan tengah”. Semoga jalan tengah bukan berarti tiadanya keberpihakan kepada yang lemah mengingat pembangunan pertanian dan pedesaan serta program prorakyat adalah kata kunci dalam 15 janji SBY-Boediono. 

URL Source: http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/30/03134994/orientasi.pembangunan.


IVAN A HADAR Analis Ekonomi-Politik; Co-Pemred Jurnal SosDem

Tidak ada komentar:

Posting Komentar