Selasa, 21 Juli 2009

Membenahi pengelolaan energi primer

Terhadap permasalahan energi yang dalam beberapa tahun terakhir ini terjadi di Tanah Air, perhatian dari sebagian besar kita barangkali cenderung hanya terfokus pada apa yang tampak secara kasat mata. 

Misalnya adanya pemadaman listrik bergilir, terjadinya kelangkaan minyak tanah atau elpiji, dan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) atau tarif listrik. 

Apa yang sesungguhnya menjadi penyebab atau akar masalah dari semua itu? Tak banyak yang memberi perhatian lebih. Kalaupun kemudian mencoba untuk memahami mengapa semua itu terjadi, yang muncul justru kebingungan atau semacam perasaan 'tak habis pikir'. 

Bagaimana mungkin negara dengan sumber energi yang beraneka ragam dan cukup melimpah ini mengalami krisis energi, tak bisa memenuhi kebutuhan energi untuk rakyatnya sendiri? 

Sesungguhnya apa yang kita saksikan dan rasakan bersama seperti halnya kelangkaan energi itu adalah hanya merupakan bagian ujung akhir di dalam tahapan pengelolaan sektor energi nasional yang ada. 

Bagian hilir, yang sesungguhnya sangat terkait erat dengan bagian hulu dan sekaligus merupakan cerminan dari apa yang sebenarnya terjadi di sisi hulunya. 

Dengan kata lain, tampilan sektor energi nasional di sisi hilir yang memprihatinkan sebagaimana yang kita lihat dan rasakan bersama itu tak lain sejatinya adalah perwujudan dari 'sesuatu' yang buruk juga di sisi hulunya. 

'Sesuatu' yang dimaksudkan dalam konteks ini tak lain adalah pengelolaan sumber-sumber energi primer seperti halnya minyak bumi, gas alam, dan batu bara, yang sampai saat ini masih merupakan tiga yang utama di negeri ini. 

Pengelolaan hulu minyak bumi dan gas alam (migas), selama ini diselenggarakan melalui kontrak kerja sama (KKS) atau yang sebelumnya lebih dikenal dengan kontrak bagi hasil (production sharing contract, PSC). 

Di dalam kontrak-kontrak yang ada, hampir seluruhnya memberikan kebebasan bagi para kontraktornya untuk dapat menjual atau mengekspor hasil produksinya ke mana saja, tanpa pemerintah berhak untuk melarang ataupun mencegahnya. 

Sangat kecil 

Ada ketentuan mengenai domestic market obligation (DMO) di dalam kontraknya yang mengatur kewajiban untuk menjual sebagian hasil produksi untuk kebutuhan domestik, tetapi secara kuantitatif jumlahnya sangat kecil, yaitu rata-rata hanya berkisar 15%-25% dari produksi migas yang menjadi bagian dari kontraktor setelah dikurangi cost recovery. 

Jadi, bukan 15%-25% dari keseluruhan hasil produksi sebagaimana yang sering dipahami banyak kalangan selama ini. Kewajiban itu pun, atas nama insentif fiskal untuk menarik investasi, untuk jangka waktu setidaknya 5 tahun dari awal produksi, sebagian besar sudah ditiadakan, atau yang kita kenal dengan istilah DMO holiday. 

Atas nama insentif fiskal juga, untuk mendapatkan migas yang di-DMO-kan itu pun, kita ternyata juga tidak bisa mendapatkannya dengan gratis atau dengan harga lebih murah, karena yang diberlakukan adalah harga pasar. 

Inilah yang sesungguhnya yang menyebabkan mengapa kita sebagai negara pengekspor migas, juga pada saat yang sama harus menjadi pengimpornya. 

Kita secara de facto sesungguhnya tak punya kuasa untuk mencegah ekspor migas dilakukan karena sistem pengelolaan yang kita anut dan terapkan memang memberikan kebebasan bagi para produsennya untuk melakukan itu. 

Dan karena kita lebih sering mengimpornya kembali dengan harga yang lebih mahal, keseluruhan biaya pengadaan BBM dan elpiji di dalam negeri pun menjadi lebih tinggi daripada semestinya. 

Konsekuensinya, pada saat keuangan negara tak lagi cukup untuk menutupi biaya itu, karena harga komoditas tersebut di pasar internasional sedang tinggi misalnya, yang tersisa tinggallah pilihan-pilihan yang pahit bagi rakyat seperti harga BBM atau tarif listrik atau harga elpiji naik, atau listrik mati dan elpiji langka karena pasokan energi primernya tak memadai. 

Hal yang sama juga terjadi pada pengelolaan hulu batu bara. Sebagian besar dilakukan melalui sistem Perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B), di dalamnya hanya mewajibkan kontraktor untuk menyerahkan 13,5% dari hasil produksi batu baranya kepada pemerintah melalui BUMN yang berkontrak. 

Namun, hal itu tidak dalam bentuk barang (inkind) tetapi dalam uang dari hasil penjualan, sehingga secara fisik, keberadaan batu bara tersebut di Tanah Air tidak selalu benar-benar ada manakala ekspor sudah dilakukan oleh para kontraktor batu bara tersebut. 

Inilah yang selama ini terjadi sehingga dari keseluruhan produksi batu bara nasional yang mencapai 183 juta ton pada 2008, untuk mencukupi kebutuhan batu bara PLN yang mencapai 30 juta ton saja kita tak mampu memenuhi tanpa harus mengimpor lagi. 

Ketika harga batu bara di pasar internasional melonjak dan anggaran subsidi listrik PLN terbatas, kemudian yang terjadi adalah PLN tak mampu membeli batu bara tersebut sehingga pembangkit listrik berbahan bakar batu bara tak dapat dioperasikan secara optimal. Akibatnya, sudah sangat sering kita rasakan bersama, pemadaman listrik bergiliran. 

Becermin dari hal itu, maka pembenahan pengelolaan sumber energi primer melalui penerapan aturan DMO yang lebih tegas mutlak segera dilakukan. 

Dalam hal DMO migas, keberanian untuk menerapkannya kembali pada kontrak-kontrak baru dan bilamana perlu mengubah beberapa kontrak lama yang sudah berjalan semestinya menjadi suatu langkah konkret yang segera diimplementasikan. 

Dalam hal DMO batu bara, selain langkah tersebut, penerbitan peraturan pemerintah yang menetapkan besaran DMO yang lebih besar, di atas 30% misalnya, semestinya juga dapat dilakukan dengan segera mengingat urgensinya yang terkait dengan proyek listrik 10.000 megawatt. 

Kedua langkah ini jika diterapkan dengan segera tidak saja akan dapat lebih menjamin terpenuhinya pasokan energi primer bagi domestik secara lebih baik dan lebih murah, tetapi juga pada akhirnya akan menyelesaikan permasalahan hilir sektor energi yang ada secara lebih mendasar. 

Hal itu sesungguhnya tak lain adalah salah satu wujud dari pelaksanaan amanat konstitusi UUD 1945 yang secara jelas memang menyatakan bahwa bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus 'dikuasai oleh negara', dan bukan 'dikuasai oleh kontraktor', terlebih kontraktor asing. 

Semoga pemerintahan yang baru nantinya mampu melaksanakannya. 

URL Source: http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL

Tjatur Sapto Edy
Anggota Komisi VII FPAN DPR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar