Sabtu, 09 Februari 2013

Penyakit Kuning pada Cabai dan Vektornya



 
PENYAKIT KUNING PADA CABAI DAN VEKTORNYA 

Oleh : Anggry Solihin

 Dalam usaha tani, factor pembatas produksi tanaman pada umumnya dipengaruhi oleh serangan organisme penganggu tanaman (OPT). OPT merupakan mahluk hidup yang dalam populasi dan waktu tertentu mengaikbatkan kerugian ekonomi pada tanaman budidaya. Yang digolongkan sebagai OPT diantaranya serangga herbivore, pathogen, gulma, hewan mamalia dan lain sebagainya. Untuk menghindari kerugian ekonomis yang ditimbulkan serangan OPT,  manusia selalu berusaha melakukan tindakan pengendalian agar produksi tanaman optimal. 
            Serangga herbivore dan pathogen tumbuhan diketahui merupakan kelompok OPT yang menyebabkan kerugian ekonomis paling besar pada kegiatan budidaya pertanaman. Keduanya dapat menyerang tanaman baik secara terpisah maupun bersama-sama. Pada beberapa jenis penyakit tanaman, pathogen tanaman berhubungan erat dengan serangga baik itu serangga herbivore maupun serangga penyerbuk. Dalam perkembangan penyakit tanaman, serangga dapat berperan antara lain : 1) sebagai pembawa pathogen dari tanaman yang sakit ke tanaman yang sehat melalui aktivitas berjalan, terbang, maupun merangkak, 2) memberikan jalan masuk bagi pathogen pada tanaman dengan meninggalkan luka pada jaringan tanaman pada saat proses makan maupun peletakan telur, 3) Menurunkan ketahanan tanaman yang mengakibatkan tanaman mudah diinfeksi oleh pathogen dan 4) berperan sebagai penularan dan penyebar serangga (vector) (Agrios, 2005). Disamping itu, serangga herbivore juga berperan sebagai tempat bertahan hidup pathogen (reservoir) selama tidak tersedia inang (Matthews, ).

Virus Gemini
            Salah satu patogen tanaman yang memiliki interaksi erat dengan serangga vector adalah virus gemini. Virus Gemini merupakan termasuk dalam genus Begomovirus, Family Geminiviridae (Hogenhout et al., 2008). Di Indonesia, virus gemini pertama kali ditemukan menyerang tanaman tembakau di Bojonegoro dengan kerugian mencapai 30 % (Poerbokoesomo dalam Sudiono et al., 2005). Serangan virus gemini pada tembakau diketahui menyebabkan penyakit krupuk sehingga daun tembakau tidak dapat digunakan sebagai bungkus cerutu (Rusli et al., 1999).
Virus gemini merupakan golongan virus yang memiliki genom berupa asam deoksiribonukleat untai tunggal (ssDNA), berbentuk isometric dan selalu berpasangan (Harisson, 1985; Lazarowitz, 1987 dalam Adiawati et al., 2001).
Virus gemini dibedakan menjadi tiga kelompok berdasarkan tanaman inangnya, jenis vector dan struktur genom (Matthews  dalam Sudiono et al., 2005). Kelompok I adalah virus gemini yang menginfeksi tanaman monokotil, ditularkan oleh serangga wereng daun dan memiliki struktur genom monopartit. Kelompok II adalah virus Gemini yang menginfeksi tanaman dikotol, ditularkan oleh wereng daun dan struktur genomnya monopartit. Kelompok ke III adalah virus Gemini yang menginfeksi tanaman dikotil, ditularkan oleh kutu kebul dan struktur genomnya monopartit. Di daerah tropis dan sub tropis, penyebaran virus Gemini kelompok 3 sangat luas karena serangga vektornya (kutu kebul) dapat berkembang dengan baik.

Penyakit kuning pada Cabai
            Serangan virus gemini diketahui memiliki kerugian ekonomis yang cukup besar pada berbagai komoditas tanaman. Di Meksiko, Venezuela, Brazil, Amerika Serikat (Florida) dan di beberapa negara di Amerika Tengah serta Karibia serangan virus gemini mengakibatkan hancurnya industri tomat (Polston dan Anderson dalam Sudiono et al., ). Pada tahun 2004, luas serangan virus gemini di Indonesia mencapai 984,6 hektar dengan total kerugian mencapai Rp. 7.031.000.000 (Gunaeni et al., 2008).
            Salah satu penyakit penting yang disebabkan serangan virus dari genus Begomovirus di Indonesia adalah penyakit kuning pada tanaman cabai dan tomat. Penyakit ini ditimbulkan oleh serangan tomato yellow leaf curl virus yang menyerang tanaman tomat dan pepper yellow leaf curl virus yang menyerang tanaman cabai. Gejala serangan penyakit kuning pada tanaman cabai yaitu bercak kuning pada daun muda di sekitar tulang daun, kemudian tulang daun berwarna kuning, daung cekung, mengkerut dengan mosaic kuning pada daun (Gunaeni et al., 2008). Disamping itu, variasi gejala penyakit kuning pada cabai dapat ditemui dengan daun berwana hijau dengan jaringan berwarna kuning, daun kuning dengan tulang daun tebal, daun hijau dengan tepi daun melengkung keatas, nekrotik kuning dan sebagainya (Sulandari dalam Sudiono et al., 2005).

Hubungan Serangga Vektor dalam Penyebaran Penyakit Kuning
            Virus Gemini merupakan salah satu patogen penting tanaman yang ditransmisikan oleh serangga kutu kebul Bemisia tabaci (Hemiptera: Aleyroridae). Pada daerah tropis dan subtropis proses penularan dan perkembangan penyakit kuning pada tanaman dipengaruhi secara langsung oleh kehadiran B. tabaci. Penyakit kuning pada tanaman cabai ditularkan secara persisten (non propagative) oleh B. tabaci dengan waktu minimum akusisi antara 15 hingga 60 menit dan dengan waktu akses inokulasi berkisar antara 15 hingga 30 menit (Cohen dan Harpaz dalam Czosneck et al., 2001). Kemampuan virus bertahan di tubuh B. tabaci diketahui hingga 12 hari setelah akuisisi virus pertama kali (Czosneck et al., 2001). B, tabaci tidak dapat menularkan segera setalah akuisisi virus gemini. Virus membutuhkan peritode laten untuk menyebar ke seluruh tubuh serangga sebelum ditransmisikan. Periode laten virus Gemini di dalam B. tabaci pada umumnya berkisar antara 20-24 jam setelah akuisisi (Czosneck et al., 2001). Alur masuk virus gemini di tubuh vector meliputi : partikel virus bersama cairan tanaman masuk ke dalam stylet melalui saluran makanan, kemudian menuju esophagus dan filter chamber. Segera sesudahnya, partikel virus ditransmisikan menuju hemocoel melalui usus tengah. Selanjutnya partikel virus dari hemoceol ditransportasikan menuju kelenjar saliva (Czosneck et al., 2001).
            Efesiensi akuisisi dan transmisi virus gemini dipengaruhi oleh jenis kelamin dan umur dari B. tabaci. B. tabaci betina dewasa yang berumur 1 minggu diketahui dapat menginfeksi tanaman tomat sebesar 100 %  48 jam setelah inokulasi, sedangkan pada B. tabaci dengan umur yang sama hanya dapat menginfeksi 20 % tanaman tomat (Czosneck et al., 2001). Semakin tua B.tabaci, kemampuan untuk menginfeksi tanaman semakin menurun. Berdasarkan penelitian diketahui pengaruh B. tabaci yang berasosiasi dengan virus Gemini dalam waktu yang lama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap lama hidup dan kepiridian dari B. tabaci (Rubinstein dan Czosnek dalam Czosneck et al., 2001).


DAFTAR PUSTAKA


Aidawati N, Yusriadi, SH Hidayat. 2001. Kisaran inang virus gemini asal tanaman cabai dari Guntung Payung, Kalimantan Selatan. Prosiding Kongres dan Seminar Nasional XVI Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Bogor

Czosneck H, M Ghanim, S Morin, G Rubinstein, V Fridman, M Zeidan. 2001. Whiteflies: Vectors, And Victims Of Geminiviruses. Advance in Virus Research


Gunaeni N, W Setiawati, R Murtiningsih, T Rubiati. 2008. Penyakit virus kuning dan vektornya serta cara pengendaliannya pada tanaman sayuran. Balai Penelitian Sayuran. Lembang

Sudiono, N asiin, SH Hidayat, P hidayat. 2005. Penyebaran dan Deteksi Molekuler Virus Gemini Penyebab Penyakit Kuning pada Tanaman Cabai Di Sumatera


Jumat, 01 Februari 2013

KENDALA DALAM PENERAPAN 
PENGELOLAAN HAMA TERPADU (PHT) DI NEGARA BERKEMBANG

Oleh : Anggry Solihin

Pola pertanian subsisten
    Pada umumnya, karakteristik pertanian di negara berkembang adalah pertanian subsisten. Pertanian subsisten dicirikan dengan kegiatan pertanian yang berorientasi pemenuhan kebutuhan konsumsi sehari-hari dan luas pemilikan lahan yang sempit. Pada pertanian subsisten, praktek budidaya yang dilakukan petani dilakukan seadanya dan minim masukan teknologi (Untung, 2006). Disamping itu, motivasi petani untuk meningkatkan produktivitas tanaman dan nilai tambah tanaman yang dibudidayakan rendah. Pada situasi yang demikian, penerapan pengendalian hama terpadu sulit untuk dilakukan. 
    
Rendahnya tingkat pendidikan petani
    Berdasarkan data statistik Departemen Pertanian, mayoritas petani di Indonesia (75%) hanya memperoleh pendidikan sekolah dasar dan telah berusia tua (Irianto, 2010). Pada umumnya petani dengan tingkat pendidikan rendah dan berusia lanjut sulit mengadopsi teknologi PHT karena terlanjur percaya dengan dogma pestisida adalah “obat” bagi tanaman. Oleh karenanya, petani dengan karakteristik seperti ini akan berusaha sekuat tenaga untuk selalu menyemprot pestisida pada tanamannya tanpa mempertimbangkan dampak negatif yang ditimbulkan. 

Minimnya sinergitas dan koordinasi lembaga pelaksana program PHT
    Salah satu hambatan yang dihadapi dalam penerapan program PHT di Indonesia adalah kurangnya sinergitas dan koordinasi antara lembaga-lembaga yang bertanggung jawab mengelola program PHT. Kurangnya sinergitas ini seringkali disebabkan adanya ego sektoral antar departemen/direktorat di tingkat pusat maupun pada dinas di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota. Hal ini menyebabkan program PHT yang disusun tidak sesuai dengan sasaran yang dituju, tidak cocok dengan kondisi daerah atau tidak sesuai dengan kebutuhan petani setempat.

Luas lahan yang sempit
    Pada umumnya, luas kepemilikan lahan petani di Indonesia sempit. Di pulau Jawa, luas lahan petani < 0,5 hektar dan di luar Jawa < 1 hektar. Di sisi lain, jumlah petani yang tidak memiliki lahan (buruh tani & petani penyewa tanah) juga tidak sedikit. Petani dengan karakteristik demikian biasanya disebut sebagai petani gurem. Petani dengan luas kepemilikan lahan yang sempit, buruh tani maupun petani penyewa pada umumnya tidak mau mengalami resiko kegagalan panen karena satu-satunya jalan untuk tetap bertahan hidup adalah hasil panen dari lahan yang diusahkan. Hal ini menyebabkan petani merasa selalu terancam apabila menemukan hama dan penyakit di lahan pertaniannya. Oleh karena itu, petani kecil/petani penyewa selalu melakukan penyemprotan pestisida secara terjadwal sebagai tindakan pencegahan/preventif dari serangan hama dan penyakit. Pada kondisi yang demikian penerapan PHT sulit dilakukan.
  
Kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia penyuluh yang tidak memadai
    Penyuluh pertanian merupakan salah satu elemen penting dalam penyebarluasan dan transfer teknologi PHT kepada petani. Di Negara berkembang seperti Indonesia, kualitas dan kuantitas penyuluh pertanian kurang begitu memadai. Dari segi kualitas, penyuluh pertanian pada umumnya tidak mendapatkan bimbingan teknis dan pengetahuan yang memadai untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi petani baik dari sisi agronomis, hama dan penyakit maupun pengelolaan pasca panen. Hal ini mungkin disebabkan sebagian besar penyuluh pertanian di Indonesia adalah lulusan SPMA (saat ini SMK Pertanian) yang masih erat muatan pengetahuannya dengan konsep panca usaha tani yang tidak lagi sesuai dengan kondisi yang dihadapi petani saat ini.

    Dari segi kuantitas, jumlah penyuluh pertanian di Indonesia masih minim. Hal ini menyebabkan tidak optimalnya transfer informasi dan teknologi dari penyuluh pertanian kepada petani. Di Pulau Jawa rata-rata setiap penyuluh pertanian wilayah kerjanya meliputi 1 kecamatan, sedangkan di luar pulau Jawa yang wilayahnya lebih luas rata-rata setiap penyuluh pertanian wilayah kerjanya biasanya lebih dari 1 kecamatan.  Disamping itu, proses penyuluhan kepada petani yang terkesan selalu menggurui tanpa ada proses dialog dan pembelajaran bersama menyebabkan keengganan petani ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan oleh penyuluh pertanian.

Minimnya posisi tawar petani
    Minimnya akses informasi petani terhadap harga jual di pasar menyebabkan ketidakberdayaan petani dalam menentukan harga komoditas pertanian. Disamping itu, kurangnya dukungan modal, akses kepada konsumen, minimnya infrastruktur transportasi dan pola hubungan patron-client antara petani dan pengepul/pedagang besar mengakibatkan sulitnya petani untuk memasarkan sendiri hasil pertaniannya (Geertz, 19.  Pola hubungan patron-client biasanya tercermin pada praktik ijon atau sistem tebas pada jual beli hasil pertanian yang dialami petani yang terlilit hutang kepada rentenir/pengepul . Kondisi ini seperti lingkaran setan yang tidak pernah putus dalam kehidupan petani di Indonesia. Posisi tawar petani yang selalu inferior mengakibatkan kesejahteraan petani rendah sehingga motivasi untuk menerapkan PHT dan praktek budidaya yang ramah lingkungan tidak ada.

Otonomi daerah dan intervensi politik
       Disamping minimnya sinergitas antara instansi pemerintah yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan PHT, permasalahan otonomi daerah dan intervensi politik merupakan salah satu penghambat penerapan PHT di Indonesia. Di era otonomi daerah yang ditandai dengan adanya pelimpahan sebagian besar kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah mengakibatkan penerapan program PHT seringkali terabaikan baik itu oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Hal ini disebabkan perbedaan cara pandang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tentang pihak mana yang bertanggung jawab terhadap program PHT. Disamping itu, intervensi politik dari oknum pemerintah pusat, oknum pemerintah daerah maupun oknum anggota DPR menyebabkan penerapan program PHT seringkali tidak tepat sasaran.  

Lemahnya aturan dan pengawasan terhadap peredaran pestsida
      Kendala lain yang dihadapi dalam penerapan PHT di Indonesia adalah lemahnya aturan dan pengawasan terhadap peredaran Pestisida. Yang dimaksud dengan lemahnya aturan adalah mudahnya persyaratan badan usaha/perorangan dalam mengajukan izin beredar suatu pestisida baru. Di dalam peraturan menteri pertanian (PERMENTAN) nomor 7 tahun 2007 diketahui persyaratan untuk pengajuan izin pestsida baru hanya membutuhkan akta pendirian usaha, surat izin usaha perdagangan (SIUP), nomor pokok wajib pajak (NPWP), kartu tanda penduduk (KTP) serta hasil uji efikasi dan toksisitas yang dilakukan laboratorium terakreditasi maupun lembaga yang ditunjuk oleh komisi pestisida. Hal ini menyebabkan jumlah pestsida yang beredar di Indonesia semakin banyak. Dampaknya adalah mudahnya petani mendapatkan pestisida yang umumnya diikuti dengan meningkatnya penggunaan pestisida oleh petani. Untung (2004, dalam Martono, 2009) mengungkapkan bahwa produksi pestisida antara tahun 1990 hingga tahun 2002 secara bertahap meningkat. Hal ini menyebabkan pestisida yang beredar antara tahun 1990 hingga 2002 jumlahnya hampir sama dengan sebelum terbitnya INPRES nomor 3 tahun 1986.    
      Disamping itu, adanya “celah hukum” berupa kemudahan dalam pengalihan kepemilikan formulasi pestisida menyebabkan adanya praktik jual beli izin formulasi pestisida oleh badan usaha atau perorangan (Martono, 2012). Hal ini menyebabkan peredaran pestisida tidak terkendali, sulitnya pengawasan terhadap penggunaan pestisida dan meningkatnya resiko penyalahgunaan perdagangan pestisida oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. 
 
                                                               DAFTAR PUSTAKA

Geertz C. 1983. Involusi Pertanian ; Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Yayasan Obor. Jakarta. 178 hlm

Irianto G. 2010. Sudahkah Petani Merdeka. Diunduh dari : http://idsaham.com/news-saham-Sudahkah-Petani-Merdeka-120803.html

Martono E. 2009. Evolutionary Revolution : Implementing and Disseminating IPM in Indonesia in Intregated Pest Management : Dissemination and Impact Volume 2 edited by Peshin R and AK Dhawan. Springer.

Martono E. 2012. Bahan Kuliah Pengelolaan Hama Lanjut. Program Pascasarjana Ilmu Hama Tumbuhan UGM. Yogyakarta.

Untung K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu (Edisi kedua). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 348 hlm.