Senin, 22 Juni 2009

SOS, Bosscha

Nun jauh di kaki Gunung Tangkuban Perahu, bangunan itu berdiri kukuh. Arsitekturnya berbentuk kubah putih mirip sosok robot Artoo Detoo (R2 D2) dalam film sains legendaris Star Wars. Itulah Observatorium Bosscha di Lembang, Jawa Barat, 15 kilometer di utara Bandung.

Berdiri di atas tanah seluas 6 hektare dan berada pada ketinggian 1.310 meter di atas permukaan laut, Observatoriun Bosscha dibangun oleh Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV) atau Perhimpunan Bintang Hindia Belanda pada 1923-1928. Stasiun pengamat bintang itu berada di atas tanah bekas perkebunan teh Malabar milik Karel Alfred Rudolf Bosscha. Bosscha pulalah donatur utama pembangunan peneropong bintang tersebut. Sebagai penghargaan atas jasanya, nama Bosscha pun diabadikan sebagai nama observatorium.

Sebagai homebase bagi penelitian astronomi, Bosscha memiliki delapan teropong terpasang. Teropong yang menjadi kebanggaan Bosscha adalah teleskop refraktor ganda Zeiss. Teleskop ini memiliki dua lensa dengan diameter 60 sentimeter. Observatorium ini juga memiliki teleskop Schmidt Bima Sakti yang bergaris tengah 70 sentimeter, untuk mempelajari struktur galaksi Bima Sakti, asteroid, dan supernova. Lalu ada teropong refraktor Bambergh yang dilengkapi fotoelektrik-fotometer, berfungsi mendapatkan skala terang bintang dari intensitas cahaya listrik yang ditimbulkan lewat lensa bergaris tengah 37 sentimeter. Untuk pengamatan hilal, para astronom Bosscha memakai teleskop refraktor Unitron.

Memasuki usianya yang ke-81, pada 2009 ini Bosscha ikut berpesta merayakan Tahun Astronomi Internasional. Agenda ini ditetapkan pada Januari lalu oleh para astronom dunia yang tergabung dalam International Astronomical Union di Paris untuk mengenang empat ratus tahun astronomi modern, yang ditandai ketika ilmuwan Italia Galileo Galilei melakukan observasi ke angkasa dengan teleskop untuk pertama kalinya pada 1609.

Di tengah gemerlap acara akbar itu, nasib Bosscha justru di ujung tanduk. la terancam kehilangan fungsi sebagai stasiun peneropong bintang gara-gara polusi cahaya dan debu yang menyiram langit Lembang setiap hari, selama bertahun-tahun, dan kian parah akhir-akhir ini. Cahaya yang menyorot ke atas membuat langit tak lagi hitam pekat, kondisi yang sangat dibutuhkan untuk pengamatan bintang. Semburan asap knalpot kendaraan, cerobong pabrik, dan debu jalan yang membentuk kabut tipis kehitaman, membuat pandangan teleskop terhalang. "Ini sudah berlangsung tiga puluh tahun, dan terus memburuk," kata Taufiq Hidayat, Direktur Bosscha.

Mohammad Irfan, peneliti Bosscha yang saban malam mengamati pergerakan bintang ganda sejak lima belas tahun silam, paham benar apa dampak pencemaran cahaya bagi proyek penelitiannya. Penelitian Irfan merupakan warisan para pendahulunya: catatan dua ribuan bintang ganda di langit selatan. "Banyak penelitian yang tak bisa diteruskan lagi karena bintangnya sudah tak bisa diamati," kata sarjana astronomi Institut Teknologi Bandung itu.

Irfan membandingkan kondisi pengamatan di masa sekarang dan di era para pendahulunya yang sudah bertugas di observatorium itu sebelum 1970-an. "Dulu satu lensa bisa dipadati seribuan bintang, tapi sekarang cuma lima puluhan," katanya. Tingkat magnitude (skala penampakan) bintangnya pun sudah berkurang karena tersaingi cahaya dari daratan dan terhalang debu yang melayang di langit. Jadi, jangan berharap bakal ada penemuan bintang baru dari Bosscha.

Cepatnya pertumbuhan penduduk dan meluasnya kawasan permukiman juga membuat Lembang yang dulu merupakan daerah senyap di kaki gunung menjadi kota satelit Bandung yang sesak. Padahal dulu, di era 1970, hampir tak ada bangunan di sekitar pagar Bosscha hingga Jalan Raya Setiabudi-Lembang, kecuali kampung Bosscha, yang menempel dengan rumah para pegawai observatorium. Memasuki 1980-an, kawasan Bosscha mulai dikepung permukiman. Di kiri-kanan Jalan Peneropongan Bintang, sepanjang satu kilometer yang menghubungkan Bosscha dengan jalan raya, yang awalnya cuma kebun dan pepohonan, kini dipadati perumahan warga dan vila. Polusi cahaya dan debu pun tambah menjadi-jadi.

Nasib Bosscha kian terancam seandainya rencana PT Bintang Mentari Perkasa membangun kawasan wisata terpadu yang berbatasan langsung dengan observatorium itu disetujui pemerintah Kabupaten Bandung Barat. Perusahaan itu, menurut Taufiq Hidayat, akan membangun cottage, real estate, dan hotel dengan kapasitas 125 kamar. Kawasan wisata yang direncanakan bernama Puri Lembang Mas berdiri di atas dua blok lahan di Desa Lembang dan Gudang Kahuripan seluas masing-masing 30 dan 34 hektare. Merujuk peta pada dokumen analisis dampak lingkungan, lahan ini membentang dari Jalan Raya Lembang, menyusuri Jalan Peneropongan Bintang, hingga pintu masuk observatorium.

Sadar akan ancaman itu, Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman pun mengkritik kelanjutan proyek taman wisata yang sudah memasuki tahap pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). "Proses analisis akan kami cegat," kata mantan Rektor ITB itu, saat berkunjung ke Bandung tiga pekan lalu. la mengatakan, Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Departemen Pendidikan Nasional sepakat menolak rencana pembangunan tersebut.

Daripada repot-repot melanjutkan proses amdal dan pada akhirnya bakal dijegal, Kusmayanto menyarankan Bupati Bandung Barat, Abu Bakar, menghentikan rencana pembangunan itu. Lima tahun lalu, Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan juga pernah menyurati Bupati Bandung sebelum Bandung Barat dibentuk agar tak mengizinkan pembangunan di radius dua kilometer dari Bosscha.

Meski para menteri bakal menjegal rencana pembangunan kawasan wisata, Bupati Abu Bakar tetap memberikan lampu hijau kepada pengembang. "Kalau pengembang bisa meyakinkan mereka mampu mengendalikan gangguan cahaya dan debu, kenapa izin tidak keluar?" katanya.

Menurut Abu Bakar, walau amdal kelak disetujui, masih banyak proses perizinan yang harus dilalui pengembang. "Karena pembangunan di kawasan Bandung Utara diatur oleh Provinsi Jawa Barat, untuk melindungi Bosscha.

Kepala Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung Barat, Anugrah, mengatakan tidak ada peraturan daerah provinsi yang melarang pembangunan proyek di sekitar Bosscha. "Yang ada pembatasan dan tata kelola cahaya," katanya. Tapi dia tidak menjelaskan bagaimana mobil yang masuk kawasan wisata itu tak akan mengepulkan asap dari knalpot dan debu jalanan yang akan mengganggu pengamatan bintang. Pemimpin Bintang Mentari Perkasa, Bambang W, pun menolak menjelaskan proyeknya.

Anugrah berkilah amdal merupakan warisan pemerintahan induk, yaitu Kabupaten Bandung. Rencana ini sebenarnya telah diusulkan pada 2004, tapi berhenti karena ditentang keras oleh Rektor ITB (waktu itu) Kusmayanto Kadiman, serta Menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gde Ardika, pada akhir pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Setelah Bandung Barat dibentuk pada 2007 dan pada pertengahan 2008 ditunjuk pejabat bupati, rencana kawasan wisata itu kembali muncul dan diproses.

Jauh sebelum rencana pembangunan kawasan wisata terpadu, Kepala Observatorium Bosscha periode 1968-1999, Bambang Hidayat, pernah menjegal rencana Pertamina membangun Hotel Patra Jasa pada 1976. Hotel itu rencananya akan dibangun 400 meter dari kawasan Bosscha, tapi batal setelah Bambang memberikan masukan kepada Presiden Soeharto. Toh, di kemudian hari, Bambang dan para penerusnya tak kuasa membendung pembangunan yang dilakukan penduduk dan pengembang swasta.

Kekhawatiran Bambang bahwa Bosscha akan terancam polusi cahaya dan debu pernah ia sampaikan lewat surat kepada koleganya sesama kepala observatorium di berbagai negara. Balasan dari "curhat" Bambang berisi imbauan kepada pemerintah Indonesia untuk membuat aturan khusus yang melindungi Bosscha, dan membatasi pembangunan di sekitarnya. Pemerintah merespons dengan memasukkan Bosscha sebagai cagar budaya pada 1992. Tapi pembangunan permukiman di sekitarnya tak bisa dihentikan.

Bila ancaman itu dibiarkan, bukan tidak mungkin Bosscha hanya menjadi museum astronomi. Bagi Kusmayanto, lenyapnya Bosscha dari peta perbintangan dunia bagaikan hilangnya azimat astronomi nasional. "Bosscha merupakan satu-satunya observatorium terbesar di Asia Tenggara yang melahirkan peneliti bereputasi internasional," katanya.

Bosscha adalah pionir pengamatan bintang di wilayah selatan khatulistiwa, yang di seluruh dunia cuma ada empat buah.Tiga lainnya ada di Afrika Selatan, Cile, dan Australia. Taufiq Hidayat bercerita, Thailand sedang membangun observatorium yang akan menyaingi Bosscha. Observatorium Negeri Gajah Putih itu dilengkapi teropong bergaris tengah empat meter. "Harga teropongnya saja sekitar Rp 100 miliar,"katanya.

Karena itu, katanya, Bosscha merupakan aset nasional yang harus dijaga fungsinya agar menghasilkan penelitian yang bermutu. Salah satu bagian terpenting yang mesti dirawat adalah teleskop. Perangkat utama penelitian astronomi ini harus dijauhkan dari cahaya dan debu dari daratan. "Kalau obyeknya sulit dijangkau, say goodbye saja," kata Mohammad Irfan.

Dicari, Tempat Sepi dan Kering
Serbuan polusi udara dan debu membuat Lembang tak lagi ideal untuk meneropong bintang. Kondisi ini sudah berlangsung sejak tiga dasawarsa silam, ketika wilayah permukiman kian mendekat pagar kompleks Observatorium Bosscha, dan jaringan listrik menerangi seluruh pelosok desa. Direktur Bosscha, Taufiq Hidayat, mengatakan bahwa Indonesia perlu memiliki observatorium baru khusus untuk penelitian. "Tapi keberadaan Bosscha di Lembang harus tetap dipertahankan”, katanya.

Sebagai cagar budaya yang ditetapkan pemerintah pada 1992, Bosscha memang tidak boleh diusik apa lagi dipindahkan. Observatorium yang sudah berusia 81 tahun ini memiliki nilai sejarah penting bagi Indonesia, khususnya di bidang perbintangan. Menurut Taufiq, Bosscha tetap diperlukan sebagai tempat pembinaan sumber daya manusia, para calon astronom, dan pendidikan bagi masyarakat. "Karena tempat ini mudah dikunjungi," kata dosen astronomi Institut Teknologi Bandung itu.

Wacana tentang perlunya membangun observatorium baru telah dimulai pada pertengahan dekade lalu. Taufiq mengatakan sudah ada tim yang mengkaji wilayah mana saja yang ideal untuk dijadikan markas peneropongan benda langit itu.

Salah satu calon lokasi observasi baru, menurut Taufiq, adalah Nusa Tenggara Timur. Kawasan ini paling ideal karena curah hujan dan kelembapannya rendah, serta minim tutupan awan. Menurut Taufiq, jika dibangun kelak, observatorium itu berada 120 kilometer di luar Kupang.

Selain Nusa Tenggara Timur, daerah yang sempat diincar untuk dijadikan tempat peneropongan adalah kawasan sekitar garis khatulistiwa, seperti Sumatera Barat dan Riau. Tapi dua daerah itu kerap tertutup awan, sehingga urung dipilih. Tim pengkaji juga sempat menunjuk dataran tinggi di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara, tapi tingkat kelembapan akan merepotkan peneropong karena bisa mengurangi gemerlap bintang. Partikel air dalam udara yang lembap juga memantulkan cahaya ke teropong.

Bambang Hidayat, Kepala Observatorium Bosscha periode 1968-1999, mengatakan perlu riset panjang sebelum membangun sebuah observatorium. la mencontohkan sejumlah observatorium di berbagai belahan dunia yang dibangun setelah dilakukan survei lokasi selama lima hingga enam tahun. "Bahkan survei pembangunan Kitt Peak National Observatory di Hawaii, dan International Facilities di Cile, memakan waktu sepuluh tahun," kata mantan Wakil Presiden International Astronomical Union ini.

Menurut Bambang, yang tak kalah penting sebagai bahan pertimbangan pemilihan sebuah lokasi observatorium adalah turbulensi alami. Turbulensi adalah pertukaran aliran panas dan dingin yang terjadi saat perubahan siang ke malam. Turbulensi membuat bintang yang diamati tampak bergetar. Lembang selama ini dinilai ideal buat tempat sebuah observatorium karena turbulensi alami hanya seperempat jam. Di sejumlah observatorium lain, turbulensi berlangsung lebih dari satu jam.

Toh, semua survei tak akan ada artinya bila tidak ada aturan yang melindungi fungsi observatorium. Taufik Hidayat mengatakan, untuk mengamankan fungsi itu. kawasan observatorium harus bersih dari permukiman dalam radius 50 kilometer. "Makanya banyak observatorium yang letaknya di taman nasional, yang di dalamnya hampir tidak ada kegiatan manusia," katanya. Selain itu, harus dibatasi pula kunjungan umum ke observatorium, sehingga penelitian dapat berlangsung dengan tenang.

Tenggelam dalam Terang
Bagi para pengamat bintang, cahaya selain dari obyek langit adalah musuh. Cahaya yang menghambur dari daratan akan dipantulkan oleh partikel debu yang menggelayut di langit dan membuat astronom tak dapat melakukan penelitian. Bintang yang seharusnya tampak jelas menjadi berkedip atau hilang sama sekali. Di Bosscha, kondisi ini mengakibatkan sejumlah penelitian yang sudah dilakukan sejak observatorium itu dirikan, delapan dekade silam, tak dapat diteruskan. Bintang-bintang yang dicatat, hilang dari pengamatan. Bila cahaya dan polusi debu terus berlanjut, Bosscha terancam menjadi "museum" astronomi. (Majalah Tempo, 15 Juni 2009 / humasristek)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar